Islam Rahmatan lil Alamin

Walaupun tidak dikenal memeluk suatu agama, si Fulan adalah orang yang dikenal rajin bekerja, hidup bersih dan jujur, suka menolong yang menderita. Beberapa warga miskin di banyak kawasan dunia yang tak jelas paham keagamaanya memperoleh santunan sosial dari pajak yang dengan tertib dibayar warga yang berkemampuan. Berbagai kota besar di dunia dikenal karena bersih, rapi, aman, dan Indah.Warganya mematuhi aturan yang berlaku, hampir tak terdengar pencurian atau perampokan. Banyak pihak menyatakan, itulah model kehidupan Islami, walaupun tidak mudah untuk bisa disebut sebagai warga muslim.

Karena itu, perlu klarifikasi mana yang lebih utama, perilaku Islami atau formal Islam, bagaimana dan kapan seseorang atau masyarakat bisa disebut saleh dan muslim. Hal ini lebih penting lagi dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial, ekonomi, dan politik yang melibatkan sentimen keagamaan. Selama ini yang disebut muslim adalah yang bersyahadat, shalat, puasa, membayar zakat, dan pergi haji. Mereka yang hidup dan tindakannya sesuai dengan sunatullah, posisinya menjadi tidak jelas: apakah saleh atau fasid.

Hukum Tuhan dan ajaran Islam lebih dipahami hanya dari Al-Quran dan sunah yang disusun ulama dalam ilmu syariah, tafsir,dan tauhid, 10 abad lalu. Sementara ajaran Tuhan terangkum dalam dua model wahyu, seluruh alam dan peristiwa sejarah adalah ayat-ayat-Nya. Wahyu yang dibacakan disebut Al-Quran, dan yang diciptakan sebagai sunatullah. Dari sunatullah lahir berbagai ilmu kealaman, sosial, dan humaniora. Kaum sufi lebih mengutamakan etika kesalehan sosial dan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup empiriknya dibandingkan dengan ritual syariah. Banyak filsuf muslim dan ulama menyatakan sunatullah sebagai hukum besar Tuhan yang mesti mencocoki Al-Quran.

Dalam hubungan itu, penting diklarifikasi wilayah ajaran Islam dan posisi pemahaman dari dua model wahyu Tuhan, serta siapa yang dituju wahyu Tuhan itu. Jika Al-Quran adalah petunjuk bagi umat manusia, tentu semuanya berhak dan boleh memahami Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Menyatakan Al-Quran hanya boleh ditafsir oleh yang memahami seluruh tradisi dan bahasa Arab adalah benar jika yang dimaksud ahli ilmu tafsir.

Secara akademik, seorang bukan muslim bisa menjadi ahli ilmu tafsir sama dengan ahli ilmu fisika tanpa menjadi sekuler atau ateis. Dari sini perlu disadari, Islam bukan semata ilmu, melainkan juga tradisi yang berlaku di dalam sebuah masyarakat atau kehidupan seseorang tanpa ilmu formal dengan segala sistem, metode, dan persyaratannya.

Karena itulah, pernyataan bahwa hanya orang Islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Quran bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Quran dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Quran hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elite yang Arabis. Soalnya, apa Islam sesempit itu, bagaimana ayat 4 surat Ibrahim: “wa ma-arsalna-min rasu-lin illa-bilisa- ni qaumihi liyubayyina lahum”, yang ditafsir Imam Maraghi sebagai kemestian risalah Muhammad SAW sesuai dengan budaya umat? Demikian pula dengan ajaran: “kha-tibin na-s bi qadri ‘uqulihim”; bicaralah kepada umat sesuai dengan akal mereka.

Seorang muslim, pemeluk agama lain, atau ateis pun terbuka untuk mengapresiasi, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsir ayat-ayat Al-Quran dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua. Berbeda jika ingin menjadi dan disebut ulama, atau ahli ilmu tafsir. Beberapa penelitian justru menunjukkan, komitmen kaum proletar pada ajaran agama jauh lebih hebat dibandingkan dengan kelas elite yang ahli ilmu tafsir pun. Imam Al-Ghazali pernah mengecam ahli ilmu ini.

Masalah yang perlu disadari adalah, apakah Al-Quran itu hanya penting ditafsir ahli ilmu tafsir, atau ajarannya berfungsi memecahkan sebagian atau seluruh problem kehidupan empirik komunitas muslim ataupun dunia global. Pemahaman ahli ilmu tafsir dan keislaman ternyata beragam, bahkan bisa bertentangan. Tidak pernah dan takkan pernah ada tafsir tunggal tentang Islam, Al-Quran, atau sunah. Justru perbedaannya mengandung rahmat bagi umat. Masalahnya ialah kesediaan setiap pihak untuk berdialog, bukan dengan klaim-klaim sepihak seperti selama ini.

Tak ada kelebihan kearaban dari selainnya, kecuali ketakwaan dan kesalehannya. Sayang, hal ini lebih dipahami sebagai konstruksi formal, bukan produk sosial, sehingga kesalehan ritual lebih diutamakan dibandingkan dengan kesalehan sosial. Ketakwaan dan kesalehan menyempit hanya bagi yang formal menyatakan memeluk Islam. Merekalah yang disebut “ahlulbait” yang selalu ditempatkan “lebih baik”, “lebih takwa dan saleh”, walaupun tidak bebas kesalahan sosial.
Hanya dengan memberi ruang terbuka seluas mungkin bagi pemahaman, Islam akan bermanfaat bagi semua orang dan diapresiasi masyarakat luas, atau Islam makin terasing bahkan dari umat yang menyatakan memeluk Islam itu sendiri?

[Abdul Munir Mulkhan, Doktor sosiologi agama, pengamat sosial keagamaan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Over View

PERTUMBUHAN ILMU-ILMU ISLAM DI MADRASAH

(Nana Masrur) Kompetensi Dasar : Mampu Menguraikan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam di Madrasah Indikator : Madrasah dan Perkemb...