DEPARTEMEN AGAMA DI NEGARA YANG TIDAK BERDASARKAN AGAMA

بسم الله الرحمن الرحيم

Prof. Dr. Kyai Haji* Georgerius Agung Nugroho, S.Hum., M.A. 

ANEH

Bukan karena masalah pergantiannya. Juga, bukan karena masalah orangnya. Tetapi, ini adalah masalah keberadaannya. Saya berpendapat bahwa keberadaan departemen agama, -- termasuk didalamnya menteri agama, di sebuah negara yang tidak berdasarkan agama adalah sebuah fenomena yang aneh.

Indonesia, -- sebagaimana negara-negara lain yang tidak berdasarkan agama, adalah negara yang berdasarkan atas hukum positif. Ada mekanisme demokrasi didalamnya. Ada lembaga legislatif yang bertugas membuat hukum, peraturan, dan perundang-undangan.

Jelas, melalui mekanisme demokrasi, maka hukum, peraturan, dan perundang-undangan yang dihasilkan bukanlah hukum, peraturan, dan perundang-undangan yang berdasarkan agama. Tetapi, -- berdasarkan humanisme, yaitu manusia menjadi ukuran atas segala sesuatu (man is the measure of all things).

Dengan azaz itulah, maka demokrasi berdiri. Demokrasi dan humanisme adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lahir dari semangat sekulerisme di Eropa sebagai anti-tesa dari negara agama (raja naik tahta setelah mendapatkan legitimasi dari agamawan rohaniawan gereja Katolik Roma atau paus sebagai wakil Tuhan di muka bumi) yang berdiri sepanjang zaman agama (age of religion) atau zaman pertengahan (middle age). 

Berangkat dari benua Eropa, -- tempat dimana demokrasi dilahirkan, secara umum negara-negara di benua Eropa tidak mempunyai departemen agama. Negara-negara di benua Eropa terlihat lebih konsisten dengan azaznya yang memang diterapkan untuk mengeliminasi peran agama (Tuhan) dari kehidupan umum (publik), mengeliminasi peran agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk kemudian, melokalisasi peran agama hanya sebatas terlibat dalam kehidupan pribadi (privat) atau individu, terkait dengan masalah spiritual, rohani, ritual, dan upacara seremonial mistikal. Khusus berhubungan dengan roh, lelembut, alam gaib, hal-hal yang bersifat supranatural, dan metafisik semata.

Negara-negara barat non-muslim (Christendom) terlihat jelas warnanya. Mereka mengambil batas yang sangat jelas. Warna dan batas tersebut menjadi identitas yang membedakan antara barat dan non-barat.

TIDAK COCOK

Negara-negara di luar benua Eropa, Amerika, dan Australia, -- yaitu meliputi seluruh negara-negara yang terletak di benua Asia dan Afrika, adalah non-Kristen (non-christendom) dan bukanlah negara asal demokrasi. Mereka adalah negara-negara yang menjadi pengikut negara-negara barat. Mereka mengikuti barat sebagai sebuah bentuk kekalahan peradaban lama oleh peradaban yang sama-sama lama, -- yang dihidupkan kembali melalui proses kebangkitan kembali sepanjang zaman renaisans humanisme (age of renaissance humanism).

Ada pemaksaan proses sejarah agar peradaban barat bisa diterapkan di negara-negara non-barat. Padahal, mereka tidak pernah mengalami proses sejarah sebagaimana yang telah terjadi di Barat sepanjang zaman agama atau zaman pertengahan. Padahal, mereka tidak pernah mengalami konflik sebagaimana konflik yang telah terjadi di barat. Dan, padahal, mereka tidak pernah mengalami apa yang telah dialami oleh barat. Lantas, mengapa mereka harus mengikuti jalan tengah (kompromi)?. Apa yang harus dijalan-tengahkan?. Siapa yang telah berkonflik?. Filsuf, cendekiawan, intelektual, dan ilmuwan yang mana?. Agamawan, rohaniawan, dan biarawan yang mana?. Raja dan bangsawan yang mana?. Tidak ada!.

Jika demikian halnya, maka demokrasi tidak tepat diterapkan di negara-negara non-barat. Tidak perlu ada sekulerisme. Tidak butuh jalan tengah.

Justeru, -- sebaliknya, biarlah negara-negara non-barat hidup sesuai dengan proses sejarahnya sendiri. Biarlah peradaban barat untuk barat dan peradaban non-barat untuk non-barat.

Tidak perlu hidup dalam ketidak-jelasan seperti saat ini. Tidak perlu ada departemen agama di dalam negara yang tidak berdasarkan agama. Jika dipaksakan, maka pertanyaannya adalah apa tugas dan fungsi departemen agama di negara yang tidak berdasarkan agama?.

Kalau tugas departemen agama adalah hanya sekedar mengurusi haji, nikah, talak, cerai, dan rujuk, maka seharusnya namanya bukan departemen agama, tetapi departemen haji, nikah, talak, cerai, dan rujuk. Karena, -- sesungguhnya, hanya itu saja yang diurusi oleh departemen agama selama ini. Bagaimana dengan ideologi, pandangan hidup, cara pandang (way of life) sekulerisme (separating between the church and the state)?. Hukum, peraturan, dan perundang-undangan dibuat menggunakan mekanisme demokrasi?. Politik demokrasi?. Ekonomi kapitalisme?. Sosial budaya liberalisme?.


Kecuali, hanya sekedar sebagai stempel untuk mendapatkan suara rakyat yang beragama sesuai dengan mekanisme demokrasi, -- sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Hanya simbol.

*ان شاء الله

The Greater Jakarta, Indonesia, masih dalam suasana pandemi global virus Corona (Covid-19), tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas dilakukannya reshuffle kabinet oleh presiden di beberapa departemen, -- khususnya di departemen agama, ditulis sekitar pk.17:00, Selasa 22 Desember 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Over View

PERTUMBUHAN ILMU-ILMU ISLAM DI MADRASAH

(Nana Masrur) Kompetensi Dasar : Mampu Menguraikan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam di Madrasah Indikator : Madrasah dan Perkemb...