7. Siapa yang harus dipilih jadi Ulil Amri ataupun pimpinan dalam masyarakat?

Dalam masyarakat Islam, segala sesuatu harus diserahkan kepada Ahlinya ahli, Intinya inti, Core of the core yaitu yang berhak menurut milik, ilmu atau kepandaiannya, bukan menurut kedudukan, keturunan, atau derajat terpandang. Karena itu Islam adalah agama yang mengajar orang menempatkan sesuatu pada posisi wajar yang dijadikan motto: "The Right man on the Right place". Dan Islam sangat membenci sikap "Right or wrong my country" yaitu sikap asal saja untuk keuntungan negeri dengan memakai segala cara dan jalan. Islam bukan bersikap nasional tetapi internasional di mana orang-orang yang menganut satu ide saling membantu dengan jiwa persaudaraan, dan membenci atau sekurang-kurangnya tidak menyukai penganut ide lain walaupun saudara kandungnya dari ibu bapak yang sama.

Nana Masruri
Karena itu, Islam bukanlah agama yang membenarkan sistem feodal dan kerajaan yang sifatnya pusaka keturunan, juga tidak membenarkan facisme yang didasarkan atas kekuatan tentara, lalu menjajah semua daerah yang dapat dikuasai tanpa norma hukum yang diturunkan ALLAH.


Dalam kehidupan sehari-hari tentulah dibutuhkan lingkungan daerah kekuasaan di mana berlaku hukum dan pengabdian untuk ALLAH sendiri-NYA. Dalam daerah itu juga harus ada pemimpin tertinggi bagi pelaksanaan hukum, begitupun pemimpin-pemimpin lain yang memimpin bidang-bidang khusus tertentu, seperti bidang ekonomi, pertahanan, pelajaran, luar negeri dan sebagainya. Masing-masing pemimpin ini disebut Ulil Amri pada Ayat 4/59 dan 4/83 namun semuanya adalah orang-orang pilihan didasarkan atas kepatuhan pada hukum ALLAH, kesanggupan dan keahliannya. Sumber hukum bagi pemilihan mereka yaitu Ayat 3/159 dan 42/38 yang menyatakan segala sesuatu harus melalui putusan musyawarah. Maka contoh dan ciri bagi mereka yang hendak dipilih seperti maksud ayat 35/2849/13Jadi yang takut pada ALLAH ialah Ulama yaitu para sarjana, demikian kesimpulan tentang Islam yang sungguh semua ajaran dan hukumnya mengandung nilai ilmiah. 

Semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang hidup dan materi maka dia jadi semakin takut pada ALLAH. Keadaan itu tentulah ditimbulkan oleh keinsafan yang dia peroleh dengan pengetahuan tersebut hingga dia lebih mulia menurut penilaian ALLAH. Akhirnya benarlah pendapat yang menyatakan bahwa Theology adalah puncak sains sesuai dengan maksud Ayat 81/26, 81/27 dan 112/2 bahwa 
ALLAH adalah tujuan samadi, ujung dari segala pemikiran, ke planet mana pun manusia pergi, akan ternyata ketentuan yang tercantum dalam Al-qur'an benar-benar cocok dengan pemikiran wajar dan bukan atas dugaan dan prasangka.
Dengan penjelasan yang diperoleh dari Ayat 35/28 dan 49/13 dapat pula ditentukan bahwa kesarjanaan seseorang belumlah sempurna jika dia belum memperhambakan diri pada ALLAH menurut hukum Al-qur'an. 

Setiap Orang boleh saja memprotes keterangan ini dengan berbagai alasan dan dalil tersusun, sementara kita hanya menjawab dengan mengemukakan maksud Ayat 2/130

Maka yang akan dipilih menjadi Ulil Amri dalam masyarakat Islam ialah yang mematuhi, yang mengikut ajaran Ibrahim yaitu agama yang diredhai ALLAH, dan dari orang-orang itu disaring lagi menurut keinsafan dan pengetahuan yang mereka miliki selaku sarjana yang lebih mulia menurut penilaian ALLAH. Itupun masing-masingnya ditempatkan pada bidang-bidang tertentu di mana mereka dinilai memiliki keahlian. Akan celakalah masyarakat yang tidak dipimpin oleh para Ahlinya ahli, intinya inti, core of the core, dan kecewalah mereka yang mengangkat pemimpin tanpa pengertian, karena akhirnya mereka jadi sengsara di bawah pengaruh kekuasaan bertangan besi. 
Kini timbul pertanyaan: Apakah Ulil Amri bersamaan dengan Auliyaa yang banyak tercantum dalam Alquran? 
Jawabnya ialah bahwa Auliyaa berarti pimpinan yang sifatnya resmi dan yang tidak resmi, sementara Ulil Amri artinya "yang berfungsi" yang sifatnya resmi saja.

Maka Ulil Amri yang tercantum pada Ayat 4/59 ialah pemirnpin tertinggi dalam masyarakat Islam, sedangkan yang termuat pada Ayat 4/83 mungkin pula pemimpin tertinggi atau hanya pemimpin Islam yang mengepalai sesuatu jawatan. Tetapi nyata sekali Ulil Amri yang tertulis dalam kedua Ayat Suci itu bukan penguasa atau pemerintah inkar yang menjajah masyarakat Islam, juga bukan pemimpin musyrik dan tidak pemimpin munafik.

Terhadap pemimpin yang menurut hukum Islam ternyata kafir, zalim, fasik, musyrik, atau munafik, seringkali kita dapati peringatan ALLAH yang antara lain bermaksud sebagai termuat dalam ayat: 
4/894/1154/116,4/117, 4/1184/1194/1394/1445/515/575/806/1219/2360/1329/415/555/569/71.

Dari maksud berbagai Ayat Suci di atas ini nyatalah bahwa umat Islam harus sangat berhati-hati dalam memilih dan menentukan siapa yang harus dijadikan pimpinan bagi segala tingkat kehidupan masyarakat. Jangankan Yahudi atau Nashara bahkan anggota keluarga sendiri tidak boleh dijadikan pimpinan jika dia lebih condong kepada keingkaran daripada iman menurut hukum Al-qur'an.

Diantara sekian banyak golongan manusia yang dibenci ALLAH hanyalah orang-orang munafik yang dikatakan pasti mendiami lapisan bawah dari Neraka nanti. Orang-orang munafik itu lebih berbahaya daripada yang secara terang menyatakan dirinya ingkar pada hukum Islam. Jika orang-orang ingkar secara resmi jadi penganut agama asing dan bergaul sesamanya terpisah dari penganut Islam, maka orang-orang munafik masih menyatakan dirinya beragama Islam dan diam serta bergaul dalam lingkungan orang-orang beriman padahal mereka lebih diancam dengan siksaan pedih dan tidak boleh dijadikan pimpinan.

Sebagai tanda bagi orang-orang munafik tersebut, dalam Alquran dijelaskan antara lain sebagai berikut:

  1. Seringkali mungkir dalam perjanjian, dan suka bersumpah atas Nama ALLAH untuk meyakinkan orang lain, termuat pada Ayat 9/62; 9/74; 9/96 dan 63/1.
  2. Suka berlagak menyolok pandangan, bila berkata seolah-olah jadi orang penting, padahal bersikap musuh, lihat Ayat 63/4.
  3. Lebih suka berbelanja pada orang-orang yang mengingkari hukum Allah, bahkan mencegah orang lain berbelanja pada orang-orang beriman, dan sedikit sekali memahami hukum ALLAH, lihat Ayat 63/7.
  4. Sedikit mengingat ALLAH, dalam Shalat befsikap malas, tapi riya atau suka dipuji orang, lihat Ayat 4/142, dan 3/188.
  5. Suka mengganggu gadis atau istri orang lain, dan membikin keributan dalam negeri, lihat ayat 33/60.
  6. Suka melakukan yang mungkar dan mencegah yang makruf, lihat Ayat 9/67.
  7. Kikir memberikan sedekah, terlalu cinta pada harta, lihat Ayat 3/180, 89/18 dan 89/20.
  8. Dengki terhadap kebahagiaan yang didapat orang lain, lihat Ayat 9/50 dan 3/120.
  9. Suka menjadikan orang yang jelas mengingkari hukum Islam selaku pimpinan dengan maksud mendapat kebaikan dan agar tergolong modern, lihat Ayat 4/62, 4/139, dan 5/52.
  10. Bersikap pucuk aru, muzab-zabiin, ke sana tidak kesinipun tidak, tihat Ayat 2/14, 3/119, dan 4/143.
  11. Enggan berjihad dalam garis hukum ALLAH. lihat 3/167, 9/57, dan 59/12.
  12. Suka mencari hukum kepada agama lain, bersikap memperolokkan Firman ALLAH dan mengingkarinya, lihat Ayat 4/60, 4/140, dan 24/48.

Begitu banyak sekali peringatan dalam Al-qur'an yang menyebabkan orang harus lebih berhati-hati dalam menentukan pimpinan karena pada hakekatnya: 
"Maju mundurnya suatu masyarakat begitupun beriman atau berbuat keingkaran pada hukum Islam sangat tergantung kepada sikap pribadi-pribadi yang memimpin". 
Melalui tindakan pemimpin masyarakat biasanya ALLAH memberkahi kebahagiaan orang-orang beriman, begitupun mencelakakan orang munafik ataupun yang ingkar serta musyrik. Hal ini dinyatakan ALLAH pada Firman-NYA ayat: 6/123, 17/16.

Kini teranglah bahwa orang Islam tidak menjadikan orang munafik, ingkar dan musyrik, jadi pemimpin, demikian mereka hidup di bawah pimpinan orang-orang beriman saja, begitupun dalam usaha sehari-hari mencari nafkah keluarga. Tetapi untuk suatu proyek tertentu yang berguna bagi masyarakat Islam, tentang mana mereka tidak berkesanggupan, maka orang ingkar terhadap hukum Islam karena keahliannya boleh diangkat jadi pimpinan di mana orang-orang Islam jadi pegawai pelaksana, asal saja orang inkar itu tidak mempengaruhi budaya dan politik serta tidak memperlihatkan sikap propaganda menarik pegawainya untuk pindah agama.

Namun terhadap orang ingkar yang ahli itu harus dilakukan penelitian seksama agar tidak merupakan musang berbulu ayam, atau tidak berupa membesarkan anak ular. Tentunya penelitian demikian dijalankan oleh yang berfungsi, Ulil Amri, dalam masyarakat Islam sendiri sesuai dengan maksud Ayat:3/28.

Menginsafi yang tercantum itu ditujukan kepada orang-orang beriman dalam lingkungan tertentu. Jika pimpinan Islam setempat telah mengetahui bahwa pada orang ingkar ahli itu ada keinsafan tentang hukum yang berlaku dalam masyarakat Islam, maka dia boleh dipekerjakan memimpin suatu proyek yang tidak disanggupi masyarakat Islam sendiri. Keadaan begitu mungkin saja dilaksanakan dalam bidang pelayaran, pertanian, permesinan, atau sebagainya dengan syarat bahwa orang-orang Islam mengambil alih pekerjaan itu bila sudah menyanggupi.

Dengan berbagai alasan di atas tadi nyatalah bahwa masyarakat Islam adalah suatu kelompok manusia dalam lingkungan daerah tertentu di mana hukum hidup melulu berdasarkan Ayat Suci yang diturunkan ALLAH. Orang-orang ingkar tidak mungkin ada dalam lingkungan masyarakat Islam kecuali tenaga ahli dibutuhkan ataupun jadi perwakilan negara asing yang dengannya telah diadakan perjanjian. Ketiadaan orang yang mengingkari hukum Allah dalam masyarakat Islam sebenarnya praktis saja karena orang-orang ingkar otomatis tidak akan mendapat tempat untuk bergerak bebas berdasarkan hukum Islam. Setiap anggota masyarakat wajib patuh melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku dan bagi penantangnya diberikan sanksi hukum setimpal. Keadaan begitu memperkuat alasan bahwa orang munafik lebih berbahaya karena mereka hidup di antara masyarakat Islam dengan sikap berpura-pura tanpa kepatuhan.

Akan ada orang bertanya: Mungkinkah masyarakat Islam meningkatkan kemajuan jika terisolir demikian?

Masyarakat Islam bukanlah terisolir, bukan terkurung dalam daerah tertentu bahkan sesuai dengan Islam itu sendiri yang sifatnya internasional. Mereka boleh menjalin hubungan dengan masyarakat manapun di dunia ini dalam bidang politik, ekonomi, serta bidang lainnya pada garis-garis tertentu bahwa hubungan itu tidak mencampuri keadaan dalam negeri dan tidak mendatangkan kebudayaan asing yang bertantangan dengan ajaran Islam.

Ketentuan hukum begini juga berlaku pada setiap negeri lain, pada masyarakat lain di Bumi ini yaitu sama-sama mempertahankan dan berhati-hati mempertahankan lingkungan hidup, dan sama-sama bergiat mencapai kemajuan. Jadi masyarakat Islam sama juga dengan masyarakat agama lain sebagai kelompok manusia yang hidup dengan hukum dan pengabdian tertentu.


Setiap anggota masyarakat, dengan alasan yang dimilikinya, diperkenankan berangkat keluar negeri, bahkan kalau perlu dikirim khusus ke daerah asing untuk mendapatkan pengetahuan serta keperluan lain sebagaimana negara asing juga mengirim warganya ke luar negeri. Karenanya politik luar negeri masyarakat Islam tidak akan berbeda jauh dibanding dengan apa yang dijalankan negara mana juga. Berbicara tentang peningkatan kemajuan, masyarakat Islam bahkan lebih cepat dan lebih progresif. Hal ini ditimbulkan oleh faktor-faktor yang tidak dimiliki oleh kebanyakan agama lain, di antaranya ialah:

  1. Masyarakat Islam dididik menjaga disiplin tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dilakukan oleh masyarakat lain, misalnya Shalat wajib lima kali sehari, Puasa Ramadhan, dan menganalisa Ayat-ayat Alquran yang mengandung pokok ilmu dan sumber hukum tentang segalanya.
  2. Setiap orang Islam diperintah melakukan amal-amal shaleh yang juga terkandung dalam amar makruf nahi mungkar dengan kesadaran bahwa manusia Bumi semuanya satu keturunan pada siapa harus ditujukan niat baik dan setiapnya dinilai atas usaha dan sikap yang dia laksanakan.
  3. Setiap pribadi Islam meyakini bahwa gerak tindaknya zahir batin harus dipertanggungjawabkan di dunia kini dan di Akhirat nanti, ALLAH senantiasa mendengar dan melihat, karenanya dia selalu hati-hati dan mawas diri. Hal ini jadi tenaga dorong untuk berbuat shaleh dan berlomba untuk mendapat balasan baik sebagai janjian benar dan logis.
  4. Setiap orang Islam hanya memakan yang halal lagi baik dan mendidik anaknya semenjak mulai dihamilkan dan sebelumnya untuk berwatak baik dan bersusila tinggi, sementara tugas pertama dalam Islam ialah belajar tulis baca, dengan mana pada masa kemudiannya dapat difahami setiap yang tertulis dan tersirat lalu menyimpulkannya hitam atas putih dan melaksanakannya dalam pergaulan hidup bersama.
  5. Masyarakat Islam tinggal menjalankan hukum yang telah tersusun rapi, logis, dan sesuai dengan naluri manusia di sepanjang zaman, diciptakan oleh ALLAH yang menciptakan segala wujud dan manusia itu .sendiri.

Dari kelima faktor ini nyatalah orang-orang Islam jadi masyarakat dinamis progresif mencapai kemajuan, lebih gamblang daripada masyarakat manusia lain. Hal ini pernah dicapai pada abad pertama Hijriah waktu mana orang-orang beriman khusus menjalankan hidup menurut hukum yang diturunkan ALLAH. Tetapi kemudiannya mereka dipengaruhi keserakahan dan kezaliman, lalu kembali kepada keadaan maksud Ayat:19/59.


ALLAH menjadikan manusia berbagai bangsa berlainan bahasa, bermasyarakat dalam lingkungan daerah tertentu, di mana yang lebih mulia menurut penilaian ialah yang lebih insaf. Keinsafan tentang nasib diri dan kehidupan hanyalah didapat melalui ilmu pengetahuan hingga benarlah ketentuan Alquran pada Ayat 35/28 dan 49/13 bahwa yang takut pada ALLAH yaitu para sarjana. ALLAH menciptakan manusia masing-masingnya sama dalam derajat dan keturunan, hanya sikap dan tindak manusia itu sendiri yang mengubah tingkat derajatnya. Dalam hal ini kita teringat pada tab 1 dari Universal Declaration of Human Rights di PBB yang berbunyi:
All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endwed with reason and conscience and should act tewards one another in a spirit of brotherhood. 

Semua orang dilahirkan merdeka dan sama dalain keluhuran dan hak. Mereka diwariskan dengan alasan dan kesadaran, dan harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

Memang orang-orang insaf yang dapat diharapkan mencapai kebahagiaan bagi dirinya begitupun untuk masyarakatnya, tetapi keinsafan itu tidaklah wajar jika tidak didasarkan atas iman pada ALLAH dan ilmu tentang kehidupan. Suatu bangsa bangun untuk generasi di belakangnya, dan generasi ini lenyap bagi angkatan mendatang sesudahnya pada mana ALLAH meninggikan suatu bangsa di atas yang lain, mempergantikannya di antara manusia.


Banyak sudah masyarakat hidup dengan keredhaan ALLAH, mereka berada dalam Baldhatun Thayyibah wa Rabbun Ghafur, di mana terdapat kemakmuran karena iman tanpa zalim, di mana berlaku kehidupan khusus menurut hukum ALLAH. Tetapi sayaqg, bahkan sesuai dengan naluri manusia, di ujung kemakmuran dan kebahagiaan itu biasanya menunggu kerakusan dan keangkuhan diri, mereka kembali kepada kekeliruan, iman mulai dicampur dengan kezaliman, benar bercampur batil, digoda oleh keserakahan tidak kenal batas. Mereka kembali pada jalan hidup berbelok berliku, berjurang bermunggu, penuh rintangan dan godaan. Akhirnya mereka jatuh dan rubuh digantikan oleh angkatan yang tidak mereka sadari, sesuai dengan ketentuan ALLAH yang harus berlaku.

Semakin jelaslah siapa-siapa diantara kita yang berhak menjadi pemimpin diantara orang-orang mu'min, siapa yang mengelak dari ketentuan hukumNYA tiada jaminan keselamatan dari Allah bagi manusia atas kelangsungan hidup dalam masyarakat ramai 9:23, 4/82.

4 komentar:

  1. Kita berada di NKRI lho..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walau dalam teritorial NKRI mereka yang menyatakan diri muslim sudah seharusnya melaksanakan hukum Allah.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Janganlah kita dikatakan sebagai orang yang bergelar Muzabzabin.

      Hapus

Over View

PERTUMBUHAN ILMU-ILMU ISLAM DI MADRASAH

(Nana Masrur) Kompetensi Dasar : Mampu Menguraikan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam di Madrasah Indikator : Madrasah dan Perkemb...