Kurikulum dalam pendidikan Islam pada zaman dahulu tentunya tidak sama dengan kurikulum modern. Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[1] Pada lembaga pendidikan saat ini, siswa dituntut untuk mempelajari sejumlah bidang studi yang ditawarkan oleh lembaga. Disamping itu, siswa juga diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar.
Pada awal Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[2] Setelah wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi dan Kedokteran.[3]
_______________
Pada awal Islam, kurikulum yang terdapat di lembaga pendidikan Islam tidak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu jangka waktu, pengajaran hanya penyajikan satu mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru ia diperbolehkan mempelajari materi yang lain, atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca-tulis, berikutnya ia belajar berhitung dan seterusnya.
Kurikulum dalam lembaga pendidikan pada masa klasik pada mulanya berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan social dan kultural, materi kurikulum menjadi semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah, materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan.[2] Setelah wilayah Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non-Islam yang menyebabkan permasalahan social semakin komples. Problem social tersebut pada akhirnya berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu Hellenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tata Bahasa, Sastra, Matematika, Teologi, Astronomi dan Kedokteran.[3]
_______________
link dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar