A HASAN

KONTRIBUSI A. HASSAN TERHADAP KAJIAN HADIS DI INDONESIA


(Studi Atas Cara Memeriksa dan Memahami Hadis)
(2)
Oleh: Al-Hāfizh Ibnul Qayyim [1]
A. Riwayat Hidup dan Keluarga A. Hassan
Sekitar 500-600 tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya, mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari kayu. Setibanya di India, mereka digelar Maricar” yang berarti kapal layar. Mereka bermukim di Kail Patnam[2] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain pedagang, juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan.[3]
A. Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar yang digelari Pandit[4] berasal dari India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.[5]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir,[6] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa‘id, (7) Manshur.[7]
B. Pendidikan
A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[8]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsīr, fiqh, farā‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak.[9]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi “Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilāth). Bahkan pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[10] karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi.[11]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[12] yang kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy[13] sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A. Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi mengenai alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur‘an dan Hadis, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa kitab Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Qur‘an mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya, pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[14]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A. Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam.[15]
C. Geneologi Pemikiran
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di India dan Muhammad al-Syawkāniy di Yaman. Maka, pada abad kesembilan belas muncullah gerakan Ahl-i-Hadis di India, yang dalam masalah-masalah hukum, Ahl-i-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syawkāniy dengan tekstualitas pemahaman yang merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahl-i-Hadis cenderung tekstual dalam memahami al-Qur‘an dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak kewenangan ijmā‘, kecuali ijmā’ sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahl-i-Hadis di India dan gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.[16]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad, dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy, tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahl-i-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.[17]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manār yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imām yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidāyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zād al-Ma‘ād karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthār karya Muhammad Ali al-Syawkāniy, dan Subul al-Salām karya al-Shan‘āniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.[18]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[19] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur,[20] H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himāyat al-Islām (حِمَايَةُ الإِسْلاَمِ) yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[21] Hud Abdullah Musa,  Luthfie ‘Abdullah Isma’īl,[22] selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[23] Ahmad Husnan,[24] Muhammad Haqqiy,[25] dan masih banyak yang lain.
D. Karya-karya Ilmiyah
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:
1. Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir: Tafsir Al-Furqān, Tafsir Al-Hidāyah, Tafsir Surah Yāsīn, dan Kitab Tajwīd.
2. Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushūl Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, Risalah Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fātihah, Risalah Haji, Risalah Zakāt, Risalah Ribā, Risalah Ijmā‘, Risalah Qiyās, Risalah Madzhab, Risalah Taqlīd, Al-Jawāhir, Al-Burhān, Risalah Jum‘at, Hafalan, Tarjamah Bulūg al-Marām, Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushūl Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara‘idh.
3. Dalam bidang Akhlaq: Hai Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara Islam.
4. Dalam bidang Kristologi: Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib?, Isa dan Agamanya.
5. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam, Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik, Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjāl, Al-Tauhid, Al-Iman, Hikmat dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-‘Aqā’id, al-Munāzharah, Surat-surat Islam dari Endeh, Is Muhammad a True Prophet?
6. Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtār, Sejarah Isrā‘ Mi’rāj,
7. Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair, First Step Before Learning English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab Tashrīf, Kamus Al-Bayān, dan lain-lain. [26]
Dari karya-karya ilmiyah yang telah diwariskan A. Hassan tersebut, dapat dilihat betapa luas ilmu yang ia geluti, yang secara umum Endang Saifuddin Ansari dalam makalah seminar tentang pemikiran A. Hassan di Singapura Tahun 1979 M. mengelompokkan secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mengenai Muhammad Rasulullah saw.;
2. Mengenai Sumber Norma dan Nilai Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah;
3. Mengenai Aqidah;
4. Mengenai Syari‘ah: ‘ibadah dan mu’amalah;
5. Mengenai Akhlak;
6. Mengenai Studi Islam (Dirāsat Islamiyyah): Ilmu Tauhid dan Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh dan Ushūl Fiqh, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawwuf, dan lain sebagainya.
7. Mengenai pelbagai soal hidup lainnya, seperti: politik, ekonomi, sosial, kesenian, ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, perbandingan agama, dan lain sebagainya.[27]
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Over View

PERTUMBUHAN ILMU-ILMU ISLAM DI MADRASAH

(Nana Masrur) Kompetensi Dasar : Mampu Menguraikan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam di Madrasah Indikator : Madrasah dan Perkemb...