Hal ini mungkin disebabkan sikap gegabah dari fihak suami, karena dalam suatu rumah tangga, si suami nyata jadi pemimpin dengan derajat setingkat lebih tinggi diwujudkan oleh kesanggupannya dan tugasnya dalam susunan kehidupan rumah tangga. Dalam hal demikian suami boleh saja berbuat tidak adil atas pertimbangan si-istri, atau melakukan sesuatu yang merugikan si-istri zahir atau batin, karena si suami lebih sering berada di luar rumah dan ekonomi keluarga ada di tangannya.
Baca artikel terkait: Sikap suami
Juga dikatakan bahwa pertengkaran mungkin disebabkan oleh gerak-gerik si-istri yang merugikan kehidupan rumah tangga dalam bidang cinta kasih, syahwat, atau ekonomi, maka dalam hal ini dia lebih membahayakan sebagai musuh dalam selimut, atau musang berbulu ayam.
Baca artikel terkait: Sikap dan Prilaku Manusia
Tentang kemungkinan di atas tadi hukum Islam mengadakan kungkungan timbal balik:
- Di satu fihak, si-suami diberi hak dan kewajiban sebagai pimpinan rumah tangga hingga sebahagian besar perhatiannya tercurah buat kehidupan keluarganya.
- Sementara di fihak lain, si-istri ditentukan jadi pengurus rumah tangga bahagian dalam, dengan membatasi diri ke luar rumah atau berhubungan pada lelaki lain kecuali mengenai hal yang memang diperlukan.
- Dan di fihak ketiga pimpinan masyarakat diberi tugas untuk mengatur ketertiban umum dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua itu berupa jalinan hidup sempurna di mana masing-masing fihak menjalankan tugas tertentu, sementara campur tangan mertua, famili, atau orang lain terhadap rumah tangga tergantung pada kesadaran dan tanggapan suami atau istri itu sendiri.
Namun pertengkaran suami istri mungkin saja berlangsung karena masing-masingnya adalah manusia biasa yang bersyahwat, hidup hanya beberapa tahun dimodali kebodohan dan kezaliman, maka ALLAH menjelaskan: 4/34, 4/128, 14/34. ««Klik Ayat.
Tentu akan ada yang bertanya: Kenapa begitu kejam hukum yang termuat dalam Ayat 4/34 terhadap perempuan?
quote:
Bahwa secara keseluruhan hukum Islam lebih banyak menguntungkan perempuan. Jika ada orang membantah ini maka tentulah dia kurang memahami silsilah hidup, baik berdasarkan iman maupun berdasarkan ilmu pengetahuan.
Istilah pukul pada Ayat 4/34 bukanlah menyiksa atau aniaya, tetapi berupa 1). Teguran untuk memperbaiki kesalahan yang berlaku, itupun harus didahului dengan pemberian pelajaran, kemudian dengan 2). Memisahkan tempat tidurnya. Jika kedau macam peringatan tersebut tidak diindahkan perempuan itu, nyatalah dia seorang istri pembangkang terhadap suami yang mengurus hidupnya.
Maka dalam hal demikian, kejamkah seorang ayah yang memukul anak kandungnya karena nakal? Kejamkah seorang kapten yang mengajar prajuritnya karena mangkir disiplin militer? Atau punismen fihak Guru kepada anak ajarnya?
Namun sebelum itu, atau mungkin tanpa melakukan pukulan tersebut bahkan Al-qur'an mengizinkan seorang suami meninggalkan istrinya beberapa bulan, dinyatakan pada Ayat 2/226. Jika ditinjau secara mendalam, ternyatalah seorang suami tidak akan meninggalkan, karena dia semenjak bermula tetah mencintai rumah tangganya, dia buktikan dengan usaha dan ongkos yang dia berikan bagi kehidupan berkeluarga di mana dia selaku kepala keluarga yang bertanggungjawab. Kalau dia meninggalkan istrinya, maka sebab alasan hanyalah ditimbulkan oleh sikap istrinya yang penyanggah atau yang berbuat melanggar hukum:
لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٢٢٦
2/226. Bagi orang-orang yang menyingkir dari istrinya, waktu menunggu ada empat bulan. Jika mereka kembali maka ALLAH pengampun penyayang.
Artikel terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar