Suaka atau perlindungan binatang liar pada Ayat 5:94 s.d. 5:96 hingga bangsa-bangsa di dunia tidak perlu lagi menyusun perundangan baru bagi kelanjutan hidup generasi binatang tersebut. Demikian logis dan komplit hukum Islam tentang ekonomi manusia.
Sekiranya suaka alam yang tercantum pada Ayat Suci tersebut telah dilaksanakan semenjak 1000 tahun yang lalu maka berbagai binatang liar itu tentulah kini masih hidup membiak di muka Bumi sebagai pelengkap bagi kebutuhan ekonomi masyarakat ramai.
Orang boleh menyembelih binatang ternak bila saja dia kehendaki, begitupun menangkap ikan di lautan yang memang sangat luas, kemudian memasak dan memakannya, tetapi dia dilarang bahkan dinyatakan haram membunuh binatang buruan daratan pada empat bulan terlarang.
Maka apa yang disinyalir oleh Alquran semenjak 14 abad yang lalu, kini telah dirasakan orang akibatnya, berupa laba bagi yang mematuhi dan kerugian massal bagi setiap pelanggaran.
Namun hukum Islam tentang suaka alam demikian kurang mendapat perhatian masyarakat ramai bahkan juga sering dilanggar oleh penganut Islam sendiri, terbukti masih berlakunya pemburuan binatang liar di daratan Bumi pada bulan Muharram, Rajab, Zulkaedah, dan Zulhijah. Yang terlarang pada Ayat 5:95 bukan hanya memakan daging binatang buruan darat selama empat bulan itu, tetapi juga terlarang membunuhnya, baik untuk dimakan atau tidak, maupun untuk perhiasan dan sebagainya.
Siapa yang membunuhnya selama empat bulan terlarang itu, maka dia dihukum dengan kewajiban membayarkan seekor hewan ternak sebesar binatang yang dibunuhnya itu, lalu dikirimkan atau disampaikan kepada pengurus Masjidil Haraam di Makkah selaku ternak korban yang dagingnya kemudian diberikan kepada yang sangat membutuhkan.
Jika hukum itu tidak dapat dilakukan, maka gantinya ialah memberi makan beberapa orang miskin atau berpuasa selama beberapa hari, ditentukan oleh dua orang yang adil di antara orang-orang Islam.
Dalam hukum suaka alam demikian didapat pula pengertian nyata bahwa Islam itu bukanlah agama pribadi tentang hubungan dengan TUHAN yang disembah, tetapi dia adalah suatu kelengkapan hukum hidup yang harus dilaksanakan secara bersama dalam masyarakat manusia di mana dibutuhkan pemerintahan khusus bagi lingkungan tertentu. Bahkan sifatnya internasional dan universal tanpa perbedaan kulit dan bahasa, dibuktikan oleh korban yang harus disampaikan ke Makkah.
Mungkin penduduk Bumi abad 20 Masehi masih belum beroleh kesadaran cukup tentang posisi Makkah selaku Ibu Kota dunia dan sangkut pautnya dengan ekonomi, sejarah, serta peradaban bangsa-bangsa, tetapi, tidak lama lagi semua yang disinyalir Ayat Alquran akan memperlihatkan fakta nyata tentang mana setiap orang ikut mengakui secara patuh atau terpaksa. Belum lagi masalah itu dibicarakan dari segi kewajiban menunaikan tugas Hajji ke Makkah di mana berlaku berbagai aktifitas di antaranya penyembelihan jutaan ternak korban yang dagingnya harus pula dikirimkan ke berbagai daerah miskin yang penduduknya sedang membutuhkan bantuan makan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar