(Telaah Buku)
Judul Buku : Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren
Pengarang : Abdurrahman Mas'ud
Penerbit : Kencana
Tahun : 2006
Tebal buku : xxxii + 300 halaman
Profil ulama pertama yang diangkat adalah Nawawi al Bantani (hlm 109-156). Nawawi al Bantani adalah salah satu ulama terkemuka asal Indonesia yang mendapat kepercayaan sebagai Imam Haramain dan mengajar disana. Arti penting peranan Nawawi al Bantani ada pada karya-karyanya yang dijadikan buku daras utama di pesantren-pesantren. Karya yang dihasilkannya mencakup bidang yang luas mulai ilmu tafsir dengan Tafsir Marah Labid, bidang fikih Sullam at Taufiq, dan bidang tasawuf dengan syarahnya atas kitab Bidayah al Hidayah karaya Imam Ghazali. Selain hal tersebut, pandangan Nawawi al Bantani yang anti terhadap kolonialisme juga turut membentuk perspektif anti penjajahan asing di dunia pesantren melalui murid-muridnya seperti Khalil Bangkalan dan Hasyim Asy'ari (hlm 121).
Ulama kedua yang diangkat sebagai guru intelektual pesantren adalah Mahfuz at Tirmisi. Spesialisasi ilmu hadis yang dikuasainya telah diakui dengan banyaknya sanad ijazah yang dipunyainya. Karyanya di bidang hadis banyak mewarnai dunia pesantren nusantara walaupun sudah banyak yang hilang saat sekarang. Peranan bagi kalangan pesantren adalah sebagai guru bagi para pendiri NU seperti Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasbullah. Mahfuz juga menjadi rujukan utama bagi kalangan pesantren dalam bidang hadis yang keutamaannya masih diakui hingga sekarang (hlm 177-181).
Khalil Bangkalan adalah ulama paling eksentrik diantara semua arsitek pesantren yang dibahas dalam buku tersebut. Ketika muda dia sanggup menghafal 1000 bait nazham alfiya karya Ibnu Malik secara terbalik dari akhir ke awal (nyungsang-Jawa). Khalil Bangkalan dikenal sebagai wali karena ketinggian derajat spritualnya selain juga sebagai ahli tata bahasa Arab (hlm 183-185). sebagai seorang guru yang disegani, beliau mampu menunjukkan petuah-petuah kepada muridnya yang maknanya baru dapat dipahami setelah beberapa waktu kemudian. Peranan Khalil Bangkalan dalam pembentukan NU sangat penting karena tanpa restunya, Hasyim Asy'ari tidak mungkin mengambil keputusan untuk mendirikan NU (hlm 190-191).
Asnawi dari Kudus adalah salah seorang pendiri NU yang jarang diketahui oleh orang NU sendiri (hlm 210). Tokoh ini adalah seorang ulama juru dakwah yang dihormati di daerah Kudus, bahkan doa yang diajarkannya masih dipakai dalam pengajian di Masjid Menara (hlm 221-222). sifatnya yang tidak kooperatif dengan penjajah bahkan diwujudkan dalam pemberian doa jihad bagi murid-muridnya berupa bacaan surat al Fil dan shalawat nariyah. Dia sempat ditahan oleh Belanda akibat materi dakwahnya yang keras (219). Asnawi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pesat pesantren di kawasan Kudus dan sekitarnya.
Hasyim Asy'ari yang digelari hadratusy syeikh NU (bapak spiritual NU) adalah arsitek utama berdirinya NU. Dihadapkan dengna tekanan pihak Belanda yang memaksakan sistem pendidikan yang bertentangan dengan konsep pesantren serta tantangan ideologi modernisme yang berusaha menghapuskan tradisi-tradisi pesantren, beliau berhasil membawa organisasi ummat ini menuju kebesaran seperti yang dapat kita jumpai sekarang. NU sebagai suatu pesantren besar turut berperan juga dalam mewujudkan rasa cinta tanah air yang menjadi pemupuk semangat nasionalisme Indonesia yang kemudian berhasil meraih kemerdekaannya. Semua itu tak dapat lepas dari keberhasilan Hasyim Asy'ari selaku kyai perjuangan yang gigih dan berwibawa (247-256). [1]
Judul Buku : Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren
Pengarang : Abdurrahman Mas'ud
Penerbit : Kencana
Tahun : 2006
Tebal buku : xxxii + 300 halaman
P e n d a h u l u a n
Abdurrahman Mas’ud yang menuliskan[1] jejak intelektual arsitek pesantren, mengulas secara kritis biografi analitis lima orang ulama Indonesia terkemuka (Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfuzh at-Termisi, Kyai Khalil Bangkalan, Kyai R. Asnawi Kudus, dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari), yang kesemuanya menggambarkan perkembangan dan bentuk jaringan ulama Nusantara yang terbentuk pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Profil ulama pertama yang diangkat adalah Nawawi al Bantani (hlm 109-156). Nawawi al Bantani adalah salah satu ulama terkemuka asal Indonesia yang mendapat kepercayaan sebagai Imam Haramain dan mengajar disana. Arti penting peranan Nawawi al Bantani ada pada karya-karyanya yang dijadikan buku daras utama di pesantren-pesantren. Karya yang dihasilkannya mencakup bidang yang luas mulai ilmu tafsir dengan Tafsir Marah Labid, bidang fikih Sullam at Taufiq, dan bidang tasawuf dengan syarahnya atas kitab Bidayah al Hidayah karaya Imam Ghazali. Selain hal tersebut, pandangan Nawawi al Bantani yang anti terhadap kolonialisme juga turut membentuk perspektif anti penjajahan asing di dunia pesantren melalui murid-muridnya seperti Khalil Bangkalan dan Hasyim Asy'ari (hlm 121).
Ulama kedua yang diangkat sebagai guru intelektual pesantren adalah Mahfuz at Tirmisi. Spesialisasi ilmu hadis yang dikuasainya telah diakui dengan banyaknya sanad ijazah yang dipunyainya. Karyanya di bidang hadis banyak mewarnai dunia pesantren nusantara walaupun sudah banyak yang hilang saat sekarang. Peranan bagi kalangan pesantren adalah sebagai guru bagi para pendiri NU seperti Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasbullah. Mahfuz juga menjadi rujukan utama bagi kalangan pesantren dalam bidang hadis yang keutamaannya masih diakui hingga sekarang (hlm 177-181).
Khalil Bangkalan adalah ulama paling eksentrik diantara semua arsitek pesantren yang dibahas dalam buku tersebut. Ketika muda dia sanggup menghafal 1000 bait nazham alfiya karya Ibnu Malik secara terbalik dari akhir ke awal (nyungsang-Jawa). Khalil Bangkalan dikenal sebagai wali karena ketinggian derajat spritualnya selain juga sebagai ahli tata bahasa Arab (hlm 183-185). sebagai seorang guru yang disegani, beliau mampu menunjukkan petuah-petuah kepada muridnya yang maknanya baru dapat dipahami setelah beberapa waktu kemudian. Peranan Khalil Bangkalan dalam pembentukan NU sangat penting karena tanpa restunya, Hasyim Asy'ari tidak mungkin mengambil keputusan untuk mendirikan NU (hlm 190-191).
Asnawi dari Kudus adalah salah seorang pendiri NU yang jarang diketahui oleh orang NU sendiri (hlm 210). Tokoh ini adalah seorang ulama juru dakwah yang dihormati di daerah Kudus, bahkan doa yang diajarkannya masih dipakai dalam pengajian di Masjid Menara (hlm 221-222). sifatnya yang tidak kooperatif dengan penjajah bahkan diwujudkan dalam pemberian doa jihad bagi murid-muridnya berupa bacaan surat al Fil dan shalawat nariyah. Dia sempat ditahan oleh Belanda akibat materi dakwahnya yang keras (219). Asnawi sangat berpengaruh terhadap perkembangan pesat pesantren di kawasan Kudus dan sekitarnya.
Hasyim Asy'ari yang digelari hadratusy syeikh NU (bapak spiritual NU) adalah arsitek utama berdirinya NU. Dihadapkan dengna tekanan pihak Belanda yang memaksakan sistem pendidikan yang bertentangan dengan konsep pesantren serta tantangan ideologi modernisme yang berusaha menghapuskan tradisi-tradisi pesantren, beliau berhasil membawa organisasi ummat ini menuju kebesaran seperti yang dapat kita jumpai sekarang. NU sebagai suatu pesantren besar turut berperan juga dalam mewujudkan rasa cinta tanah air yang menjadi pemupuk semangat nasionalisme Indonesia yang kemudian berhasil meraih kemerdekaannya. Semua itu tak dapat lepas dari keberhasilan Hasyim Asy'ari selaku kyai perjuangan yang gigih dan berwibawa (247-256). [1]
Tidak hanya Abdurrahman Mas’ud, bayak sudah ragam studi akademis mengulas rekam jejak para ulama terdahulu yang berkontribusi membangun sumber daya insani khususnya di Indonesia, baik ulama lulusan luar negeri maupun lulusan pesantren lokal,
seperti studi Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama: Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Islam Nusantara: Jaringan
Global dan Lokal; Surau: Pendidikan Islam Tradisional dan Tradisi dan
Modernisasi (Tesis untuk gelar MA), kajian klasik Snouck Hurgronje
tentang Masyarakat dan Ulama Jawi di Mekah pada Akhir Abad ke-19, kajian
William Roff tentang Para Pelajar Indonesia dan Malaya di Kairo pada
1920-an, studi awal Jutta E. Bluhm mengenai Hubungan Jurnal (dan
Kelompok) Al-Manar Kairo dengan Dunia Melayu Indonesia, kajian von der
Mehden mengenai Interaksi antara Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Perjalanan panjang intelektual dan karya-karya yang telah diukir oleh para ulama Indonesia menjadi sumber informasi yang sangat berharga di dalam menyusuri model pemikiran mereka di saat menghadapi perkembangan situasi dan tuntutan zamannya. Menarik juga mengkaji implikasi pemikiran mereka kepada dinamika pemikiran Islam kontemporer dan modernisasi pesantren di Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan posisi dan pengaruh Haramain (Dua Tanah Suci – Makkah dan Madinah) serta pergulatan intelektual yang terdapat di dalamnya terhadap perkembangan intelektual dan dinamika umat Islam di Indonesia. Sebagian besar dari mereka telah menciptakan model-model pendidikan yang unik dan menarik dan tetap relevan di setiap masa, bahkan ditiru oleh kalangan modern saat ini dengan penamaan yang berbeda dan terkesan baru sehingga lebih menarik peminat.
Tentunya di saat pendidikan menjadi kebutuhan masyarakat modern saat ini, dan di saat kesempatan untuk menikmati pendidikan terbaik tidak lagi menjadi hak para murid dengan kelebihan potensi positif, pesantren dapat dijadikan model pendidikan yang tetap relevan sampai kapanpun, termasuk dewasa ini. Kemudahan akses yang diciptakan para kyai dan pesantrennya melahirkan mekanisme keterlibatan semua lapisan masyarakat secara aktif dan sadar. Menjadi tantangan negara dan masyarakat untuk juga bisa menciptakan atmosfer pendidikan yang lebih kondusif, sebagaimana pesantren dapat memberikan akomodasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa dibebani hambatan biaya dan birokrasi. Pesantren tentu lebih siap di dalam memainkan peran yang lebih sentral untuk mewujudkan program wajib belajar pendidikan tinggi di Indonesia.
Para kyai dan ulama besar tersebut telah diposisikan oleh masyarakatnya sebagai penghubung bagi pandangan dunia, harapan, dan visi para pengikut dan komunitasnya. Dalam komunitas pedesaan, pesantren—sebagai bentengnya kyai—tidak hanya menyediakan tempat dan kesempatan bagi studi teks-teks keagamaan (kitab kuning), tetapi yang lebih penting, mereka mampu tampil sebagai pusat komunikasi bagi segala macam lapisan masyarakat pedesaan, dari yang miskin hingga yang kaya.
Tulisan ini mencoba menyusun rangkaian sejarah perkembangan intelektual para ulama (tentunya kita meyakini jumlah para ulama yang berjasa di negeri kita sangat banyak sekali dan mungkin banyak yang tidak kita kenali karena minimnya informasi), dan kemudian menggambarkan pengaruh para ulama Haramain Nusantara di dalam pengembangan intelektual di Indonesia.
Kehadiran Ulama Nusantara di Haramain.
Pesantren adalah satu model pendidikan Islam yang tidak boleh dipandang sebelah mata keberadaannya bagi bangsa Indonesia. Sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di nusantara, pesantren telah melahirkan pemimpin-pemimpin bagi bangsa di segala era. Keluarga kerajaan Mataram di masa lampau kerap mengenyam pendidikan pesantren pada masa kanak-kanaknya. Nurcholish Madjid (alm) dan Gus Dur selaku guru bangsa era sekarang adalah alumni dari model pendidikan pesantren.
Perkembangan suatu pesantren tidak dapat dilepaskan dari kualitas keilmuan dan kharisma kyai yang mendirikan pesantren tersebut. Prasodjo dkk (1975: 11) menjelaskan pada umumnya munculnya suatu pesantren diawali dengan pengakuan masyarakat akan keilmuan dan keshalihan seorang ulama sehingga masyarakat kemudian berduyun-duyun datang untuk menuntut ilmu kepadanya. Meskipun tidak dapat ditarik generalisasi yang terlalu luas, namun pola serupa banyak ditemukan dalam sejarah perkembangan satu pesantren terutama yang berada di daerah pedesaan.
Keadaan tersebut terkait dengan karakteristik pendidikan di pesantren yang mengutamakan keteladanan (modelling) sebagai pola dasar pendidikannya (hlm 33-34). Bagi dunia pesantren, Nabi saw adalah teladan utama bagi seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia, sedangkan walisongo adalah teladan domestik bagi umat Islam di Jawa (Bab II). Para santri juga melihat kyai sebagai perwujudan keteladanan yang mendekati kedua model tersebut.
Para ulama yang mendirikan pesantren, selanjutnya disebut kyai, biasanya juga adalah alumni dari pondok pesantren. Tak heran bila muncul sebutan “pesantrennya pesantren” bagi pondok-pondok pesantren yang sudah tua dan telah menghasilkan alumni-alumni yang juga berhasil membangun pesantren di berbagai pelosok negeri.
Seiring dengan tradisi pewarisan ilmu tersebut, maka secara genealogis keilmuan para kyai pesantren dapat dilacak sumber pewarisan hingga mengerucut kepada beberapa nama ulama terkemuka yang menjadi guru-guru pertama para kyai pesantren. Para ulama inilah yang telah meletakkan fondasi bagi sistem pendidikan pesantren sebagaimana kita lihat sekarang baik meliputi materi pelajaran, kurikulum, hingga strategi perkembangan organisasi pesantren. Para ulama ini juga menjadi model bagi seluruh kalangan pesantren baik itu para santri maupun para kyai pendiri pesantren yang lebih muda. Para ulama inilah yang disebut dengan arsitek pesantren oleh Abdurrahman Mas'ud dalam disertasi yang diajukannya untuk meraih gelar doktor di UCLA.
Secara tipologis, Mas'ud (hlm 272-274) membagi karakteristik ulama pembentuk tradisi pesantren ke dalam lima kategori. Pertama adalah ulama ensiklopedis yang menguasai keilmuan yang bersifat multidisipliner dan mengabdikan kehidupannya pada masalah akademis semata. Nawawi al Bantani adalah contoh yang diangkat dalam buku. Kedua adalah ulama spesialis yang menguasai secara mendalam satu bidang keilmuan tertentu seperti dicontohkan Mahfuz at Tirmisi sebagai pakar hadits yang diakui kehebatannya. Ketiga adalah kyai kharismatik yang diakui ketinggian derajat spiritualnya seperti Khalil Bangkalan. Keempat adalah juru dakwah keliling yang berpindah-pindah seperti Asnawi dari Kudus. Kelima adalah kyai pergerakan yang memimpin organisasi ummat dengan luar biasa serta diimbangi dengan ilmu agama yang mendalam sehingga kewibawaannya diakui seperti pada tokoh Hasyim Asy'ari. Mas'ud kemudian mengelompokkan nama pertama dan kedua sebagai guru intelektual pesantren sedangkan sisanya adalah ahli strategi pesantren.
Tipologi yang berbeda ditunjukkan oleh Steenbrink (1984: 152-154) dalam pembagiannya terhadap karakteristik ulama atau yang disebutnya sebagai guru agama. Pertama adalah guru ngaji al Qur'an yang hanya mengajar huruf Arab, rukun Islam, shalat dan bacaan al Qur'an biasanya sampai Juz Amma saja. Kedua adalah guru kitab yang biasanya mengajar di pesantren. Ketiga adalah guru tarekat yang biasanya mempunyai ijazah yang berisi silsilah dari pendiri tarekat sampai kepada guru yang bersangkutan. Keempat adalah guru ilmu ghaib, penjual jimat dan sebagainya yang sering dikatakan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kelima adalah guru yang tidak menetap atau terus berpindah dari satu daerah ke dareah lain.
Di akhir abad XVII terjadi perpindahan bangsa-bangsa Barat, yaitu Inggris, Spanyol, dan Portugis dari beberapa kota di Indonesia karena kalah bersaing dengan Belanda. Pada 1663, Spanyol meninggalkan Tidore sehingga wilayah itu jatuh ke tangan Belanda,[2] yang selama ini merupakan rival Spanyol. Bangsa-bangsa Eropa non-Belanda dipaksa untuk meninggalkan Makassar sesuai perjanjian Bongaya.[3] Inggris yang meninggalkan Banten, pada 1864 membangun sebuah benteng dekat Bengkulu untuk mempertahankan posisinya selama lebih dari 150 tahun, sedangkan Portugis terdesak ke Timur untuk selanjutnya menjajah daerah itu selama 300 tahun.[4]
Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan suasana politik tidak kondusif untuk perjalanan haji, sepanjang abad XVIII masih juga secara sporadis banyak penduduk Nusantara yang mengunjungi Haramain. Bagi sebagian orang, kunjungan itu adalah untuk menuntut ilmu, sebagaimana pada masa permulaan haji, dan bagi sebagian yang lain untuk menunaikan ibadah haji. Kelompok terakhir ini, setelah selesai melaksanakan ibadah haji, biasanya segera kembali ke Nusantara.
Penguasa tradisional pada masa itu memang memiliki kebiasaan dan selalu berusaha untuk mengirimkan para ulamanya ke Makkah, meskipun usaha pengiriman adakalanya gagal. Pada 27 Safar 1192 H./27 Februari 1778 M., penguasa Belanda menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung Buitenzorg (Bogor) untuk masing-masing mengirim seorang ulamanya ke Makkah.[5]
Sosok yang selalu terdengar namanya sebagai pengajar utama di Makkah al-Mukarramah yang memberikan andil langsung dalam pengembangan intelektual para ulama Nusantara Indonesia, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), dan Syaikh Mahfuzh at-Termisi (w. 1338/1919).
Nawawi al-Bantani dilahirkan pada tahun 1230/1813 di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten Jawa Barat, dengan nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al Jawi, dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Dia meninggal pada tahun 1314/1897, bertepatan dengan meninggalnya Mufti Besar Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, di Makkah, di mana makamnya terletak bersebelahan dengan makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi, yang berada di Ma’la.[6]
Ketika berusia 15 tahun, bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian bertahan di Kota Suci Makkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjid Haram Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syikh Abdul Hamid Daghestani, selama kurang lebih tiga tahun, baru kemudian ia pulang kembali ke tanah air lalu mengajar di pesantren ayahnya. Karena kondisi dalam negeri yang tidak kondusif, maka beliau kembali ke Tanah Suci, dan menjadi murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi al-Jawi. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Makkah di tahun 1884-1885, menyebutkan bahwa Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 – 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya, di antaranya, KH. Kholil Madura, KH. Asnawi Kudus, KH. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten, dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books dari lebih dari 100 judul karya-karyanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu.
Syaikh Mahfuzh at-Termisi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1258/1868 ketika ayahnya Abdullah sedang berada di Makkah. Saat berumur 6 tahun, ayahnya membawanya ke Makkah pada tahun 1291/1874 dan memperkenalkan kepadanya beberapa kitab penting, sehingga Mahfuzh menganggap Abdullah lebih dari sekadar ayah dan guru, yakni murabbi wa ruhi (pendidikku dan jiwaku). Ketika Mahfuzh menginjak remaja, akhir 1870-an, ayahnya menemani kembali ke Jawa dan mengirimkannya kepada seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kyai Saleh Darat (1820-1903) untuk belajar di pesantrennya di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya meninggal di Makkah pada tahun 1314/1896, dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam Khadijah. Sebagian besar dari delapan saudaranya menjadi ulama penting di Jawa, dan memiliki ketenaran di beberapa bidang yang berbeda. Mahfuzh ahli di bidang Ilmu Hadits, Dimyati di bidang ilmu waris (fara’idh), bakri di bidang ilmu Al-Qur’an, dan Abdurrazzaq (w.1958) di bidang Tarekat, dan menjadi mursyid tarekat yang memiliki ratusan pengikut dari seluruh Jawa. Ketika Mahfuzh meninggal di Makkah pada Sabtu malam menjelang Maghrib, tanggal 1 Rajab 1338/1919, ribuan kaum muslim menyalatkan dan mengantar jenazahnya ke sebuah pemakaman keluarga Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syata (w. 1310/1892) di Makkah. Satu-satunya anak Mahfuzh yang masih hidup adalah Muhammad, yang berhasil menjadi seroang guru dalam bidangnya di Demak, Jawa Tengah, yang memiliki banyak murid dari seluruh Nusantara, atas dorongan kuat dari ayahnya, Mahfuzh, untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.[7]
Jaringan Intelektual Ulama Haramain
Menurut Komaruddin Hidayat, catatan sejarah menunjukkan bahwa secara umum hubungan Islam Nusantara dengan Timur Tengah senantiasa terjalin dengan erat, khususnya sejak sekitar awal abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-17, kemudian sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.[8] Ismatu Ropi dan Kusmana menegaskan, dua daerah Timur Tengah yang paling sering dijadikan tumpuan tempat menimba ilmu keislaman (rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm) adalah Haramain (Makkah dan Madinah) serta Kairo. Posisi Haramain sangat dominan sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Hal ini boleh jadi adalah karena kaum Muslim memandang Haramain sebagai tempat yang memiliki nilai sakral lebih ketimbang daerah-daerah lain. Sedangkan Kairo baru dilirik para pelajar Indonesia sebagai tempat studi mulai pertengahan abad kesembilan belas setelah sebelumnya terjadi kontak-kontak antara murid-murid Jawa dan Universitas al-Azhar sejak akhir abad ke-18.[9]
Pada pertengahan abad ke-19 ini, menurut Ali Mubarak seperti dikutip Abaza, telah terdapat suatu Riwaq Zawi (asrama mahasiswa Jawa) di Kairo, yang terletak di antara Riwaq Salmaniyyah dan Riwaq al-Shawwam, yang dihuni oleh sekitar 11 orang dipimpin oleh Syaikh Ismail Muhammad al-Jawi. Data lain yang menguatkan adalah catatan Goldziher, yang juga seperti dikutip Abaza, bahwa pada 1871 terdapat enam mahasiswa asal Jawi yang tinggal di Riwaq Jawi. Akan tetapi, Jawa atau Jawi di sini masih merupakan istilah yang digunakan sebelum terbentuknya negara bangsa (Indonesia) yang meliputi semua mahasiswa Asia Tenggara tanpa kecuali.[10]
Pada abad ke-17 dan ke-18, interaksi keilmuan antara Timur Tengah dan Indonesia telah semakin menemukan bentuknya yang nyata. Dalam periode ini terbentuk jaringan (networks), dalam bentuk hubungan guru dan murid, yang relatif mapan antara Muslim Nusantara dan rekan mereka di Timur Tengah. Dalam periode ini pula muncul sejumlah ulama yang tidak hanya produktif tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Syamsuddi al-Sumatrani, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Abu Shamad adalah tokoh-tokoh yang secara intens terlibat dalam jaringan tersebut. Demikian lamanya interaksi yang berlangsung sehingga ia tidak hanya telah membentuk wacana keislaman tersendiri yang unik, tetapi lebih dari itu telah menciptakan jaringan ulama yang berfungsi sebagai ‘alat’ transmisi keilmuan dan gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam.[11]
Berdasarkan perkembangan-perkembangan yang terjadi, studi Islam di Haramain dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode. Pertama, periode abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-19. Pada periode ini, wacana yang berkembang adalah tradisionalisme Islam dan neo-sufisme. Kedua, awal abad ke-20 sampai dengan dekade 1950-an. Pada periode ini di Haramain terjadi pergumulan yang intens antara Islam tradisi dan Islam reformis. Kalangan tradisionalis mendirikan Madrasah Darul ‘Ulum yang embrionya adalah Madrasah Shaulatiyah dengan Syaikh Yasin al-Fadani sebagai ujung tombaknya. Sementara kalangan reformis yang dipelopori oleh Syaikh Janan Thayib (orang Indonesia pertama yang mendapat gelar LC dari Universitas al-Azhar) mendirikan Madrasah Indonisiyyin. Sayangnya, madrasah ini terpaksa bubar menjelang Perang Dunia II. Ketiga, dekade 1960-an hingga sekarang yang boleh disebut sebagai periode “the return of Islamic tradition”. Kaum reformis mengalami kekalahan total karena dipandang tidak sejalan dengan ideologi penguasa yang sejak 1925 disuburkan oleh bani Saud. Pada konteks Haramain, lingkungan berpikir pelajar Indonesia tidak jauh berbeda dengna warna pendidikan di sana yang sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam dan secara umum mempertahankan tradionalisme. Mereka amat sedikit mengenyam pemikiran-pemikiran dari luar Arab (seperti Barat).[12]
Banyak alasan mengapa banyak muslim datang ke Makkah untuk mencari ilmu. Pertama, karena pandangan tentang keilmuan Islam dan cara memperoleh ilmu itu. Ada keyakinan bahwa lebih autentik jika ilmu-ilmu keislaman itu dicari dari pusat tumbuhnya, yaitu Timur Tengah, dengan bahasa Arab sebagai salah satu cirinya. Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa banyak di antara para muqimin dan pencari ilmu di Makkah menunjukkan prestasi dan disambut positif oleh masyarakat mereka berasal. Kedua, keyakinan bahwa Makkah adalah tempat pusaran atau bursa ilmu keislaman yang paling dinamis karena sebagai pusat peribadatan, Makkah dikunjungi oleh para ulama mancanegara yang tidak hanya datang untuk menunaikan ibadah tetapi juga melakukan pertukaran ilmu. Dalam batas tertentu, kuantitas dan kualitas sumber atau jaringan ilmu memberikan nilai tersendiri bagi seorang ulama. Ketiga, karena tradisi Makkah yang memberikan peluang yang amat besar bagi orang asing (non-Arab) untuk menuntut ilmu keislaman di sana. Sejak masa pra-Islam komunitas asli Makkah memang telah memiliki tradisi untuk selalu siap menerima kedatangan tamu (hujjaj), melayani dan menghormatinya. Pada masa Islam, tradisi ini berkembang lebih jauh dan pada titik tertentu dikaitkan dengan ajaran Islam yang mendorong pencarian ilmu dan penghormatan terhadap pemilik maupun pencarinya. Mereka yang datang dari luar dan bermuqim di Makkah juga memegang tradisi ini. Dari itu, tradisi waqf dan infaq yang mengarah pada perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman, berkembang dan mengakar dengan kuat.[13]
Perlu juga kita ketahui beberapa tempat di Makkah yang menjadi tujuan para pencari ilmu antara lain: Masjid al-Haram, bait al-Shaikh ataupun rubat, madrasah, dan al-jami’ah. Pertama, pengajaran di Masjid al-Haram, yakni selain sebagai tempat ibadah, juga tempat studi yang banyak diminati, dengan kegiatan pembelajarannya terdiri atas tiga bentuk yaitu halaqa dirasiya (umumnya ba’da ‘Ashr diperuntukkan bagi peserta dewasa), halaqa tahfiz al-Qur’an, dan ma’had Haram. Kedua, pengajaran di bait al-Shaikh (rumah-rumah para pengajar) dilakukan karena syaikh tertentu melanjutkan pengajarannya di rumah, atau karena ulama-ulama yang tidak mengajar di al-Haram, atau karena sudah terlalu tua (sepuh), atau karena bukan penduduk asli (tabaiya) yang mendapatkan izin membuka halaqa di al-Haram, atau karena alasan lain. Termasuk dalam golongan ini adalah Syaikh Jabir di Harat al-Bab, Kyai Idris Kediri di Shieb ‘Ali. Adapun pengajaran di rumah yang dilakukan oleh syaikh-syaikh yang mengajar di al-Haram dilakukan misalnya oleh Syaikh Yasin Padang. Yang paling menonjol adalah aktifitas belajar di rumah Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, dahulu di Utabiya, sekarang di Rusaifa, Makkah. Ketiga, pengajaran di Madrasah, baik milik pemerintah yang tidak menerima warga asing (ajanib) atau madrasah swasta yang umumnya didirikan oleh perorangan atau paguyuban dari warga asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Saudi (taba’iya). Madrasah di Makkah yang banyak diikuti warga asing adalah Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Dar al-Hadits, dan Madrasah Dar al-‘Ulum, yang kesemuanya adalah madrasah swasta (ahliya) dan memusatkan pada ilmu-ilmu agama. Madrasah Shaulatiyyah adalah madrasah tertua dari seluruh madrasah yang ada di Makkah (ketika wilayah ini dimasuki penguasa Mamlaka al-Hijaziyyah tahun 1924 M.). Madrasah ini didirikan pada tahun 1291/1871 atas inisiatif seorang muqimin India, al-Syaikh Muhammad Rahmat Allah (lahir 1233 H.). Keempat, pengajaran melalui perguruan tinggi (al-jami’ah).
Kedatangan Ulama Haramain ke Nusantara
Para pakar sejarah memiliki teori masing-masing perihal kapan dan bagaimana agama Islam masuk ke bumi Nusantara Indonesia. Di antara teori-teori yang dikenal adalah Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia, Teori Cina, dan Teori Maritim. Namun di antara teori tersebut, tampaknya yang paling bisa diterima validitasnya adalah Teori Makkah, sebagaimana pendapat Prof. Dr. Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia di Medan (1963) yang mengangkat fakta dari Berita Cina Dinasti Tang, bahwa Islam masuk ke Nusantara Indonesia sekitar abad ke-7 M. Di dalam berita tersebut ditemukan daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatra, maka disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab, dibawah oleh wiraniagawan Arab.[14]
Berbicara tentang ulama Haramain, setidaknya bisa dibagi atas ulama asli kelahiran Haramain, atau ulama kelahiran non-Haramain dan non-Nusantara, dan terakhir ulama Nusantara yang sengaja mengunjungi Haramain. Untuk memastikan siapakah sosok ulama Haramain kelahiran non-Nusantara yang masuk ke Nusantara Indonesia tersebut tentu bukan persoalan yang mudah mengingat literatur yang sangat terbatas sekali. Sebagai contoh Ibnu Battuta yang dikenal sebagai seorang pengembara sejati, telah melakukan perjalanan ke Asia Tenggara dan Cina, pada tahun 1345-1346 M. dari perjalanan panjangnya mengunjungi banyak negara di dunia, mulai dari Afrika Utara, Mesir, Suriah, Arabia, Persia, Irak, Anatolia, Asia Tengah, Afghanistan, India, Sri Lanka, Kepulauan Maladewa, hingga kembali lagi ke Afrika Utara, Spanyol dan Afrika Barat.[15] Menurut Ibnu Battuta, ia berada di Kesultanan Samudra selama dua minggu. Tetapi dengan mempelajari kisah pelayarannya dapat diperkirakan bahwa ia berada di sana lebih lama. Ketika ia melanjutkan pelayaran, menyusuri pantai Sumatra untuk meneruskan perjalanan ke Cina. Ia singgah di Mul-Jawa yang masyarakatnya masih kufur. Dalam perjalanan kembali dari Cina, ia singgah lagi di Samudra. Ketika itu, menurut Ibnu Battuta, Sultan baru saja pulang berperang dan membawa banyak tawanan perang. Sang pelancong pun berkesempatan pula menghadiri pesta perkawinan putra Sultan dengan putri saudaranya. Menurut Ibnu Battuta, “Sultan Jawa (Samudra), al-Malik az-Zahir adalah penguasa yang paling hebat dan terbuka, juga pecinta ulama. Meskipun baginda tidak henti-hentinya berperang dan merayah demi agama, ia adalah seorang yang rendah hati, yang selalu berjalan kaki pergi ke masjid untuk salat Jumat….”.[16]
Namun begitu, ditemukan dalam beberapa literatur sosok-sosok ulama baik yang memang asli kelahiran Nusantara Indonesia, maupun dari negara lain yang kemudian menimba ilmu di Haramain, dan memiliki kapasitas intelektual yang diakui sampai saat ini dan berjasa besar dalam pengembangan syi’ar Islam di Nusantara Indonesia.
Pada kurun abad ke-18 sampai abad ke-20, beberapa ulama Indonesia di Haramain yang terkenal adalah Syaikh ‘Abdusshomad al-Falimbani, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Ahmad Ripangi, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Syaikh Muhammad Nawawi Banten. Adapun beberapa ulama keturunan Arab yang terkenal di Nusantara Indonesia adalah Habib Husein Abu Bakar al-Aydrus, Sayid Usman bin Yahya, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah al-Attas, Habib Ahmad bin Muhsin al-Hadar, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf (1285-1376 H), Habib Abdullah bin Ali Syahab, Habib Alwi bin Muhammad al-Muhdar, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, Habib Ali al-Habsyi (1870-1968 M), Habib Ahmad bin Abdullah as-Seggaf (1299-1369 H), Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas (125501346 H), Habib Abdul Qadir bin Alwi bin Idrus as-Seggaf (1241-1331 H), Habib Ali bin Husein al-Attas (1889-1976 M), Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad (1299-1373 H), Habib Shaleh bin Muhsin al-Hamid, Habib Salim bin Jindan (1324-1389 H/1906-1969 M), Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Habib Muhammad bin Hasyim bin Abdurrahman ath-Thahir, Habib Umar bin Ali as-Syaikh Abu Bakar, Habib Ahmad bin Alwi bin Ahmad al-Haddad (“Habib Kuncung”), Habib Alwi bin Segaf Assegaf, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Habib Abdullah bin Ali al-haddad (“Kramat Bangil”).[17]
Perubahan yang dibawa Ulama Nusantara dari Haramain
Sejak kepulangan para pengkaji Islam dari Timur Tengah memang sedikit banyak membawa warna tersendiri bagi kajian keislaman di Indonesia. Ini tidak saja baru berlaku sekarang, tetapi jauh sejak interaksi Timur Tengah dan Indonesia berlangsung erat. Sejak abad ke-16 sampai ke-19, pemikiran dan paham keagamaan yang dibawa oleh alumni Timur Tengah dapat dikatakan menjadi mainstream pemikiran Islam di Indonesia. Kiprah yang diperankan mereka malah sebetulnya tidak hanya mewarnai kajian keilmuan Islam, tetapi juga mewarnai dunia pergerakan, organisasi, atau institusi kaum Muslim, bahkan dunia perpolitikan.[18]
Adanya proses transfer ilmu dan pengetahuan antara ulama-ulama Haramain kepada ulama-ulama Nusantara yang mengkhususkan dirinya datang ke Haramain untuk menuntut ilmu, secara sistemik telah membentuk jaringan dan ikatan yang kuat dan terpola khususnya dalam pengembangan da’wah di seantero dunia. Banyak terobosan yang telah dibuat para ulama tersebut bersama jaringannya.
Satu contoh fragmen sejarah dalam jaringan ulama NU (Nahdhatul ‘Ulama) dapat kita ketahui dari penuturan al-Habib Luthfi bin Yahya, menjelang berdirinya NU. Beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram dan kemudian menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Akhirnya di-istikharoh-i oleh para ulama-ulama Haromain, mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia, agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini menyetujui, dapat diteruskan, kalau tidak disetujui, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kyai Kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu, menurut al-Habib Luthfi bin Yahya, tidak heran jika Muktamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M, untuk menghormati al-Habib Hasyim yang wafat pada waktu itu, sebagai suatu penghormatan yang luar biasa, dan tidak heran kalau Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Al-Habib Luthfi bin Yahya mendapatkan informasi ini dari seorang yang saleh, Kyai Irfan. Suatu ketika beliau sedang duduk-duduk dengan Kyai Irfan, Kyai Abdul Fatah dan Kyai Abdul Hadi. Kyai Irfan bertanya pada saya, “Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi, “Ini cucunya Habib Hasyim Yai“. Akhirnya al-Habib Luthfi bin Yahya diberi wasiat. Kata beliau, “Mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kyai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kyai Yasin. Kyai Sanusi ikut serta pada waktu itu, diiringi Kyai Asnawi Kudus, diantar datang ke Pekalongan, bersama Kyai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“. Demikianlah wasiat Habib Hasyim, yang kemudian membuat Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas, dan langsung menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Kemudian Mbah Kyai Kholil menasihati Kyai Hasyim Asyari, “Laksanakan apa niatmu, saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Kyai Hasyim Asy’ari berkata, “Ini bagaimana Kyai, kok tidak mau ditulis semua.” Terus Mbah Kyai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Demikianlah tawadhu-nya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan.[19]
Transmisi keilmuan Timur Tengah ke Indonesia, pada periode kontemporer, mengalir setidaknya lewat tiga “jalur”. Pertama, kepulangan mahasiswa Indonesia dari sana yang kemudian sedikit banyak menularkan ilmu-ilmu yang diperolehnya, baik melalui aktivitas mengajar di suatu lembaga ataupun melalui aktivitas menulis buku atau artikel media. Kedua, masuknya buku-buku karya pemikir Timur Tengah yang dibawa oleh mahasiswa dan alumni ataupun tenaga kerja yang meski tidak tersebar luas tetapi kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di Tanah Air. Buku-buku Timur Tengah terhitung paling marak diterjemahkan. Seiring dengan ini, beberapa kajian mengenai pemikiran tokoh-tokoh Timur Tengah kontemporer juga mulai sering dilakukan. Ketiga, kedatangan para dai dan guru Timur Tengah, baik atas undangan orang Indonesia, inisiatif sendiri, ataupun yang disebar oleh beberapa lembaga Timur Tengah. Yang disebut terakhir ini boleh jadi adalah yang lebih umum. Al-Azhar misalnya, aktif mengirimkan banyak lulusannya ke negara-negara Muslim. Pada tahun 1989 saja tercatat 29 orang Azhari Mesir yang bekerja di seluruh Indonesia.
Munculnya semangat pembaharuan Islam di dunia sedikit banyak juga membawa pengaruh secara langsung ke Nusantara Indonesia. Sebagai contoh gerakan pemurnian yang dipelopori oleh rangkaian guru-murid, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935 M), telah melahirkan pengikut dan pemikir di masing-masing negara seperti Abdul Hamid di Turki, Sir Sayyid Ahmad Khan (1871-1848) dan Sir Sayyid Ali (1849-1928) di India/Pakistan, Dr. Ansari, Maulana Muhammad Ali, Syaukat Ali, dan Dr. Muhammad Iqbal. Di Malaysia/Singapura terdapat pengikut seperti Sayyid Muhammad bin Aqil, Syaikh Muhammad al-Kalali, Syaikh Thaher Jalaluddin, Sayyid Syaikh al-Hady, dan Za’ba.[20] Menurut Prof. Dr. H. Abubakar Aceh[21], terdapat hubungan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Sayyid Muhammad bin Agil di Singapura, yaitu salah seorang sahabat Muhammad Rasyid Ridha. Sayyid Muhammad bin Agil telah menerbitkan majalah al-Iman dalam bahasa Melayu dan majalah al-Islam dalam bahasa Arab, yang membuka pintu aliran ini masuk ke Jawa yang mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung berdirinya Jamiat Khaer (1905) dan Muhammadiyah (1912).
Terbentuknya Perkumpulan Jamiat Khair (dibentuk secara diam-diam pada tahun 1901 di Pekojan, Jakarta) yang berlatar belakang isolasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap “Kampung Arab” merupakan satu derivasi semangat kebangkitan Islam di Indonesia. Didirikan oleh Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab (Ketua), Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab (Wakil Ketua), Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur (Sekretaris), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab (Bendahara), dan Said bin Ahmad Basandied (Anggota), dengan pergerakan di bidang sosial dan pendidikan, dan bersifat terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, meski mayoritas anggotanya keturuan Arab. Orang Indonesia yang pernah menjadi perkumpulan Jamiat Khair di antaranya Raden Umar Said Tjokroaminoto, Raden Jayanegara (Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352), R.M., Wiriadimaja (Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661), Raden Hasan Djajadiningrat (anggota nomor 723), dan K.H. Ahmad Dahlan (anggota nomor 770). Aktivitasnya kemudian berkembang dengan majlis taklim, Balai Pertemuan Perpustakaan dengan hubungan internasional, percetakan (maktabah), harian Utusan Hindia (dipimpin Umar Said Tjokroaminoto), sekolah muslim modern pertama (kurikulum internasional dan hampir 50% diisi dari keluarga tidak mampu tanpa dipungut biaya pendidikan), dan memiliki hubungan dengan organisasi di dalam negeri seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam).[22]
Menurut Kamajaya, penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama-tama adalah perkumpulan Jamiat Khair. Dari perkumpulan inilah tokoh-tokoh baru Islam bermunculan dan mendirikan berbagai perkumpulan, misalnya Perserikatan Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain.[23]
Muhammadiyah sendiri didirikan pada tanggal 18 November 1912. Awalnya K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Sekolah Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1914 didirikan bagian Kewanitaan yang dinamakan “Sopo Tresno”, dan kemudian dinamakan “Aisyiah”. KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok ulama yang telah mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya dan beberapa orang kyai dalam bidang Bahasa Arab, Ilmu Hadits, Tauhid, dan Tafsir. Dia pernah belajar dan bermukim di Mekah selama 5 tahun, dan banyak membaca tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dan kembali ke Indonesia dengan membawa banyak buku-buku tebal, sekaligus mengganti namanya dari Muhammad Darwis. Ketika untuk kedua kali, K.H. Ahmad Dahlan beribadah haji ke Mekah tahun 1902 dan menetap selama 2 tahun, di saat itulah ia berkenalan dengan ulama yang dikaguminya, Rasyid Ridha.[24]
Jamiyah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati pada tahun 1914, yang resminya berdiri dengan besluit nomor 47 tertanggal 11 Agustus 1915 di Petojo Jaga Monyet nomor 19 Jakarta dengan pengurus awal adalah Salim bin Awad Balweel (Ketua), Muhammad bin Abud Ubaid (Sekretaris), Said bin Salim Masyabi (Bendahara), dan Shaleh bin Ubaid Abdat (Penasihat). Syaikh Ahmad Surkati tidak duduk dalam kepengurusan tetapi sebagai pimpinan dari Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Awalnya, Syaikh Ahmad Surkati (seorang Arab kelahiran Sudan 1292 H) hijrah ke Saudi Arabia karena situasi politik di Sudan yang dikuasai Inggris. Mula-mula menetap dan belajar di Madinah selama 4 tahun, kemudian pindah ke Mekah hingga memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah pada 1326 H, selama 11 tahun, dengan berguru pada Syaikh al-Falih, al-Faqih Syaikh Ahmad bin Haji Ali Majdub, Syaikh Gurra’ al-Allamah Syaikh Muhammad al-Maghribi, al-Imam as-Sayyid Ahmad al-Barzanji al-Madani, al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat, Syaikh Syueb bin al-Maghribi. Ketika Jamiat Kheir membutuhkan tenaga guru, maka setelah berkoordinasi dengan Syarif Mekah, ditunjuklah Syaikh Ahmad Surkati, yang tiba di Indonesia pada tahun 1911 M, dan atas sarannya didatangkan pula oleh Jamiat Khair 4 orang guru lain untuk melengkapi kebutuhan tenaga guru. Sampai pada tahun 1914, Syaikh Ahmad Surkati berbeda pandangan dengan pengurus Jami’at Khair yang memuncak pada 6 September 1914 dengan berhentinya dari keanggotaan.[25]
Nahdhatul ‘Ulama didirikan antara lain oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, K.H. R. Asnawi, K.H. Mansyur, K.H. R. Asnawi, Hasan Gipo, dan K.H. Ma’shum. K.H. Muhammad Kholil (1235-1343 H), sosok ulama kelahiran Madura yang pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, sekalipun bukan pendiri langsung NU, namun merupakan inspirator bagi semua kyai para pendiri NU yang berguru kepadanya. Adapun K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), ulama kelahiran Jombang, dan pengasuh Pesantren Tebu Ireng, yang merupakan tokoh pendiri utama di NU ini, juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, khususnya berguru kepada Syaikh Mahfuzh at-Termisi bin Kyai Abdullah (Ahli Hadits dari Pesantren Termas Pacitan dan mengajar di Makkah), dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabu (Pengajar di Masjid al-Haram). Terakhir K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971 M), termasuk murid K.H. Hasyim Asy’ari yang juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, dan bergurun antara lain kepada Kyaih Mahfuzh at-Termisi, Kyai Muhtaram Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Iman Bajened.[26]
Karakteristik Ulama Haramain
Dari beberapa penelusuran di atas, terlihat bagaimana ulama-ulama yang telah mengkhususkan dirinya berada di Haramain tersebut khususnya untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya, memiliki semangat yang tinggi untuk melanjutkan warisan para Nabi kepada seluruh kaum Muslim tanpa mengenal batasan teritori. Kecintaan mereka terhadap ilmu, perjuangan mereka untuk mendapatkan ilmu, dan penjagaan mereka atas ilmu patut diteladani umat Islam dewasa ini. Atas ilmu jualah mereka mampu menjadi tokoh besar sepanjang zaman yang meninggalkan bekas-bekas (atsar) yang baik bagi generasi berikutnya.
Secara keseluruhan, disertasi Abdurrahman Mas’ud yang menuliskan jejak intelektual arsitek pesantren ini sangat menarik sebagai suatu bahan sejarah tentang para tokoh yang memberi warna bagi fondasi awal pesantren nusantara. Nilai lebih buku ini, sebagaimana diungkapkan penulisnya, ada pada penekanan terhadap karya intelektual dan peranan para arsitek pesantren tersebut. Karya ini diharapkan dapat memicu munculnya karya-karya lanjutan yang akan memperkaya khazanah keilmuan Islam di Indonesia yang dirasakan masih memerlukan suntikan karya-karya bermutu.
_____________________
Daftar Pustaka
Tentunya di saat pendidikan menjadi kebutuhan masyarakat modern saat ini, dan di saat kesempatan untuk menikmati pendidikan terbaik tidak lagi menjadi hak para murid dengan kelebihan potensi positif, pesantren dapat dijadikan model pendidikan yang tetap relevan sampai kapanpun, termasuk dewasa ini. Kemudahan akses yang diciptakan para kyai dan pesantrennya melahirkan mekanisme keterlibatan semua lapisan masyarakat secara aktif dan sadar. Menjadi tantangan negara dan masyarakat untuk juga bisa menciptakan atmosfer pendidikan yang lebih kondusif, sebagaimana pesantren dapat memberikan akomodasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa dibebani hambatan biaya dan birokrasi. Pesantren tentu lebih siap di dalam memainkan peran yang lebih sentral untuk mewujudkan program wajib belajar pendidikan tinggi di Indonesia.
Para kyai dan ulama besar tersebut telah diposisikan oleh masyarakatnya sebagai penghubung bagi pandangan dunia, harapan, dan visi para pengikut dan komunitasnya. Dalam komunitas pedesaan, pesantren—sebagai bentengnya kyai—tidak hanya menyediakan tempat dan kesempatan bagi studi teks-teks keagamaan (kitab kuning), tetapi yang lebih penting, mereka mampu tampil sebagai pusat komunikasi bagi segala macam lapisan masyarakat pedesaan, dari yang miskin hingga yang kaya.
Tulisan ini mencoba menyusun rangkaian sejarah perkembangan intelektual para ulama (tentunya kita meyakini jumlah para ulama yang berjasa di negeri kita sangat banyak sekali dan mungkin banyak yang tidak kita kenali karena minimnya informasi), dan kemudian menggambarkan pengaruh para ulama Haramain Nusantara di dalam pengembangan intelektual di Indonesia.
Kehadiran Ulama Nusantara di Haramain.
Pesantren adalah satu model pendidikan Islam yang tidak boleh dipandang sebelah mata keberadaannya bagi bangsa Indonesia. Sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di nusantara, pesantren telah melahirkan pemimpin-pemimpin bagi bangsa di segala era. Keluarga kerajaan Mataram di masa lampau kerap mengenyam pendidikan pesantren pada masa kanak-kanaknya. Nurcholish Madjid (alm) dan Gus Dur selaku guru bangsa era sekarang adalah alumni dari model pendidikan pesantren.
Perkembangan suatu pesantren tidak dapat dilepaskan dari kualitas keilmuan dan kharisma kyai yang mendirikan pesantren tersebut. Prasodjo dkk (1975: 11) menjelaskan pada umumnya munculnya suatu pesantren diawali dengan pengakuan masyarakat akan keilmuan dan keshalihan seorang ulama sehingga masyarakat kemudian berduyun-duyun datang untuk menuntut ilmu kepadanya. Meskipun tidak dapat ditarik generalisasi yang terlalu luas, namun pola serupa banyak ditemukan dalam sejarah perkembangan satu pesantren terutama yang berada di daerah pedesaan.
Keadaan tersebut terkait dengan karakteristik pendidikan di pesantren yang mengutamakan keteladanan (modelling) sebagai pola dasar pendidikannya (hlm 33-34). Bagi dunia pesantren, Nabi saw adalah teladan utama bagi seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia, sedangkan walisongo adalah teladan domestik bagi umat Islam di Jawa (Bab II). Para santri juga melihat kyai sebagai perwujudan keteladanan yang mendekati kedua model tersebut.
Para ulama yang mendirikan pesantren, selanjutnya disebut kyai, biasanya juga adalah alumni dari pondok pesantren. Tak heran bila muncul sebutan “pesantrennya pesantren” bagi pondok-pondok pesantren yang sudah tua dan telah menghasilkan alumni-alumni yang juga berhasil membangun pesantren di berbagai pelosok negeri.
Seiring dengan tradisi pewarisan ilmu tersebut, maka secara genealogis keilmuan para kyai pesantren dapat dilacak sumber pewarisan hingga mengerucut kepada beberapa nama ulama terkemuka yang menjadi guru-guru pertama para kyai pesantren. Para ulama inilah yang telah meletakkan fondasi bagi sistem pendidikan pesantren sebagaimana kita lihat sekarang baik meliputi materi pelajaran, kurikulum, hingga strategi perkembangan organisasi pesantren. Para ulama ini juga menjadi model bagi seluruh kalangan pesantren baik itu para santri maupun para kyai pendiri pesantren yang lebih muda. Para ulama inilah yang disebut dengan arsitek pesantren oleh Abdurrahman Mas'ud dalam disertasi yang diajukannya untuk meraih gelar doktor di UCLA.
Secara tipologis, Mas'ud (hlm 272-274) membagi karakteristik ulama pembentuk tradisi pesantren ke dalam lima kategori. Pertama adalah ulama ensiklopedis yang menguasai keilmuan yang bersifat multidisipliner dan mengabdikan kehidupannya pada masalah akademis semata. Nawawi al Bantani adalah contoh yang diangkat dalam buku. Kedua adalah ulama spesialis yang menguasai secara mendalam satu bidang keilmuan tertentu seperti dicontohkan Mahfuz at Tirmisi sebagai pakar hadits yang diakui kehebatannya. Ketiga adalah kyai kharismatik yang diakui ketinggian derajat spiritualnya seperti Khalil Bangkalan. Keempat adalah juru dakwah keliling yang berpindah-pindah seperti Asnawi dari Kudus. Kelima adalah kyai pergerakan yang memimpin organisasi ummat dengan luar biasa serta diimbangi dengan ilmu agama yang mendalam sehingga kewibawaannya diakui seperti pada tokoh Hasyim Asy'ari. Mas'ud kemudian mengelompokkan nama pertama dan kedua sebagai guru intelektual pesantren sedangkan sisanya adalah ahli strategi pesantren.
Tipologi yang berbeda ditunjukkan oleh Steenbrink (1984: 152-154) dalam pembagiannya terhadap karakteristik ulama atau yang disebutnya sebagai guru agama. Pertama adalah guru ngaji al Qur'an yang hanya mengajar huruf Arab, rukun Islam, shalat dan bacaan al Qur'an biasanya sampai Juz Amma saja. Kedua adalah guru kitab yang biasanya mengajar di pesantren. Ketiga adalah guru tarekat yang biasanya mempunyai ijazah yang berisi silsilah dari pendiri tarekat sampai kepada guru yang bersangkutan. Keempat adalah guru ilmu ghaib, penjual jimat dan sebagainya yang sering dikatakan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kelima adalah guru yang tidak menetap atau terus berpindah dari satu daerah ke dareah lain.
Di akhir abad XVII terjadi perpindahan bangsa-bangsa Barat, yaitu Inggris, Spanyol, dan Portugis dari beberapa kota di Indonesia karena kalah bersaing dengan Belanda. Pada 1663, Spanyol meninggalkan Tidore sehingga wilayah itu jatuh ke tangan Belanda,[2] yang selama ini merupakan rival Spanyol. Bangsa-bangsa Eropa non-Belanda dipaksa untuk meninggalkan Makassar sesuai perjanjian Bongaya.[3] Inggris yang meninggalkan Banten, pada 1864 membangun sebuah benteng dekat Bengkulu untuk mempertahankan posisinya selama lebih dari 150 tahun, sedangkan Portugis terdesak ke Timur untuk selanjutnya menjajah daerah itu selama 300 tahun.[4]
Meskipun keadaan pelayaran niaga ke Timur Tengah dan suasana politik tidak kondusif untuk perjalanan haji, sepanjang abad XVIII masih juga secara sporadis banyak penduduk Nusantara yang mengunjungi Haramain. Bagi sebagian orang, kunjungan itu adalah untuk menuntut ilmu, sebagaimana pada masa permulaan haji, dan bagi sebagian yang lain untuk menunaikan ibadah haji. Kelompok terakhir ini, setelah selesai melaksanakan ibadah haji, biasanya segera kembali ke Nusantara.
Penguasa tradisional pada masa itu memang memiliki kebiasaan dan selalu berusaha untuk mengirimkan para ulamanya ke Makkah, meskipun usaha pengiriman adakalanya gagal. Pada 27 Safar 1192 H./27 Februari 1778 M., penguasa Belanda menolak permintaan Adipati Cianjur dan Tumenggung Buitenzorg (Bogor) untuk masing-masing mengirim seorang ulamanya ke Makkah.[5]
Sosok yang selalu terdengar namanya sebagai pengajar utama di Makkah al-Mukarramah yang memberikan andil langsung dalam pengembangan intelektual para ulama Nusantara Indonesia, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), dan Syaikh Mahfuzh at-Termisi (w. 1338/1919).
Nawawi al-Bantani dilahirkan pada tahun 1230/1813 di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten Jawa Barat, dengan nama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al Jawi, dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim. Dia meninggal pada tahun 1314/1897, bertepatan dengan meninggalnya Mufti Besar Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, di Makkah, di mana makamnya terletak bersebelahan dengan makam Khadijah, umm al-mu’minin, istri Nabi, yang berada di Ma’la.[6]
Ketika berusia 15 tahun, bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian bertahan di Kota Suci Makkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjid Haram Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syikh Abdul Hamid Daghestani, selama kurang lebih tiga tahun, baru kemudian ia pulang kembali ke tanah air lalu mengajar di pesantren ayahnya. Karena kondisi dalam negeri yang tidak kondusif, maka beliau kembali ke Tanah Suci, dan menjadi murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi al-Jawi. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Makkah di tahun 1884-1885, menyebutkan bahwa Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 – 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya, di antaranya, KH. Kholil Madura, KH. Asnawi Kudus, KH. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten, dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books dari lebih dari 100 judul karya-karyanya yang meliputi berbagai disiplin ilmu.
Syaikh Mahfuzh at-Termisi dilahirkan di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumadil Ula 1258/1868 ketika ayahnya Abdullah sedang berada di Makkah. Saat berumur 6 tahun, ayahnya membawanya ke Makkah pada tahun 1291/1874 dan memperkenalkan kepadanya beberapa kitab penting, sehingga Mahfuzh menganggap Abdullah lebih dari sekadar ayah dan guru, yakni murabbi wa ruhi (pendidikku dan jiwaku). Ketika Mahfuzh menginjak remaja, akhir 1870-an, ayahnya menemani kembali ke Jawa dan mengirimkannya kepada seorang ‘alim Jawa kenamaan, Kyai Saleh Darat (1820-1903) untuk belajar di pesantrennya di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya meninggal di Makkah pada tahun 1314/1896, dan dimakamkan di Ma’la di dekat makam Khadijah. Sebagian besar dari delapan saudaranya menjadi ulama penting di Jawa, dan memiliki ketenaran di beberapa bidang yang berbeda. Mahfuzh ahli di bidang Ilmu Hadits, Dimyati di bidang ilmu waris (fara’idh), bakri di bidang ilmu Al-Qur’an, dan Abdurrazzaq (w.1958) di bidang Tarekat, dan menjadi mursyid tarekat yang memiliki ratusan pengikut dari seluruh Jawa. Ketika Mahfuzh meninggal di Makkah pada Sabtu malam menjelang Maghrib, tanggal 1 Rajab 1338/1919, ribuan kaum muslim menyalatkan dan mengantar jenazahnya ke sebuah pemakaman keluarga Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syata (w. 1310/1892) di Makkah. Satu-satunya anak Mahfuzh yang masih hidup adalah Muhammad, yang berhasil menjadi seroang guru dalam bidangnya di Demak, Jawa Tengah, yang memiliki banyak murid dari seluruh Nusantara, atas dorongan kuat dari ayahnya, Mahfuzh, untuk mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.[7]
Jaringan Intelektual Ulama Haramain
Menurut Komaruddin Hidayat, catatan sejarah menunjukkan bahwa secara umum hubungan Islam Nusantara dengan Timur Tengah senantiasa terjalin dengan erat, khususnya sejak sekitar awal abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-17, kemudian sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang.[8] Ismatu Ropi dan Kusmana menegaskan, dua daerah Timur Tengah yang paling sering dijadikan tumpuan tempat menimba ilmu keislaman (rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm) adalah Haramain (Makkah dan Madinah) serta Kairo. Posisi Haramain sangat dominan sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Hal ini boleh jadi adalah karena kaum Muslim memandang Haramain sebagai tempat yang memiliki nilai sakral lebih ketimbang daerah-daerah lain. Sedangkan Kairo baru dilirik para pelajar Indonesia sebagai tempat studi mulai pertengahan abad kesembilan belas setelah sebelumnya terjadi kontak-kontak antara murid-murid Jawa dan Universitas al-Azhar sejak akhir abad ke-18.[9]
Pada pertengahan abad ke-19 ini, menurut Ali Mubarak seperti dikutip Abaza, telah terdapat suatu Riwaq Zawi (asrama mahasiswa Jawa) di Kairo, yang terletak di antara Riwaq Salmaniyyah dan Riwaq al-Shawwam, yang dihuni oleh sekitar 11 orang dipimpin oleh Syaikh Ismail Muhammad al-Jawi. Data lain yang menguatkan adalah catatan Goldziher, yang juga seperti dikutip Abaza, bahwa pada 1871 terdapat enam mahasiswa asal Jawi yang tinggal di Riwaq Jawi. Akan tetapi, Jawa atau Jawi di sini masih merupakan istilah yang digunakan sebelum terbentuknya negara bangsa (Indonesia) yang meliputi semua mahasiswa Asia Tenggara tanpa kecuali.[10]
Pada abad ke-17 dan ke-18, interaksi keilmuan antara Timur Tengah dan Indonesia telah semakin menemukan bentuknya yang nyata. Dalam periode ini terbentuk jaringan (networks), dalam bentuk hubungan guru dan murid, yang relatif mapan antara Muslim Nusantara dan rekan mereka di Timur Tengah. Dalam periode ini pula muncul sejumlah ulama yang tidak hanya produktif tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Syamsuddi al-Sumatrani, ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Abu Shamad adalah tokoh-tokoh yang secara intens terlibat dalam jaringan tersebut. Demikian lamanya interaksi yang berlangsung sehingga ia tidak hanya telah membentuk wacana keislaman tersendiri yang unik, tetapi lebih dari itu telah menciptakan jaringan ulama yang berfungsi sebagai ‘alat’ transmisi keilmuan dan gagasan-gagasan pembaruan pemikiran Islam.[11]
Berdasarkan perkembangan-perkembangan yang terjadi, studi Islam di Haramain dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode. Pertama, periode abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-19. Pada periode ini, wacana yang berkembang adalah tradisionalisme Islam dan neo-sufisme. Kedua, awal abad ke-20 sampai dengan dekade 1950-an. Pada periode ini di Haramain terjadi pergumulan yang intens antara Islam tradisi dan Islam reformis. Kalangan tradisionalis mendirikan Madrasah Darul ‘Ulum yang embrionya adalah Madrasah Shaulatiyah dengan Syaikh Yasin al-Fadani sebagai ujung tombaknya. Sementara kalangan reformis yang dipelopori oleh Syaikh Janan Thayib (orang Indonesia pertama yang mendapat gelar LC dari Universitas al-Azhar) mendirikan Madrasah Indonisiyyin. Sayangnya, madrasah ini terpaksa bubar menjelang Perang Dunia II. Ketiga, dekade 1960-an hingga sekarang yang boleh disebut sebagai periode “the return of Islamic tradition”. Kaum reformis mengalami kekalahan total karena dipandang tidak sejalan dengan ideologi penguasa yang sejak 1925 disuburkan oleh bani Saud. Pada konteks Haramain, lingkungan berpikir pelajar Indonesia tidak jauh berbeda dengna warna pendidikan di sana yang sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam dan secara umum mempertahankan tradionalisme. Mereka amat sedikit mengenyam pemikiran-pemikiran dari luar Arab (seperti Barat).[12]
Banyak alasan mengapa banyak muslim datang ke Makkah untuk mencari ilmu. Pertama, karena pandangan tentang keilmuan Islam dan cara memperoleh ilmu itu. Ada keyakinan bahwa lebih autentik jika ilmu-ilmu keislaman itu dicari dari pusat tumbuhnya, yaitu Timur Tengah, dengan bahasa Arab sebagai salah satu cirinya. Hal ini didukung dengan kenyataan bahwa banyak di antara para muqimin dan pencari ilmu di Makkah menunjukkan prestasi dan disambut positif oleh masyarakat mereka berasal. Kedua, keyakinan bahwa Makkah adalah tempat pusaran atau bursa ilmu keislaman yang paling dinamis karena sebagai pusat peribadatan, Makkah dikunjungi oleh para ulama mancanegara yang tidak hanya datang untuk menunaikan ibadah tetapi juga melakukan pertukaran ilmu. Dalam batas tertentu, kuantitas dan kualitas sumber atau jaringan ilmu memberikan nilai tersendiri bagi seorang ulama. Ketiga, karena tradisi Makkah yang memberikan peluang yang amat besar bagi orang asing (non-Arab) untuk menuntut ilmu keislaman di sana. Sejak masa pra-Islam komunitas asli Makkah memang telah memiliki tradisi untuk selalu siap menerima kedatangan tamu (hujjaj), melayani dan menghormatinya. Pada masa Islam, tradisi ini berkembang lebih jauh dan pada titik tertentu dikaitkan dengan ajaran Islam yang mendorong pencarian ilmu dan penghormatan terhadap pemilik maupun pencarinya. Mereka yang datang dari luar dan bermuqim di Makkah juga memegang tradisi ini. Dari itu, tradisi waqf dan infaq yang mengarah pada perkembangan ilmu, khususnya ilmu-ilmu keislaman, berkembang dan mengakar dengan kuat.[13]
Perlu juga kita ketahui beberapa tempat di Makkah yang menjadi tujuan para pencari ilmu antara lain: Masjid al-Haram, bait al-Shaikh ataupun rubat, madrasah, dan al-jami’ah. Pertama, pengajaran di Masjid al-Haram, yakni selain sebagai tempat ibadah, juga tempat studi yang banyak diminati, dengan kegiatan pembelajarannya terdiri atas tiga bentuk yaitu halaqa dirasiya (umumnya ba’da ‘Ashr diperuntukkan bagi peserta dewasa), halaqa tahfiz al-Qur’an, dan ma’had Haram. Kedua, pengajaran di bait al-Shaikh (rumah-rumah para pengajar) dilakukan karena syaikh tertentu melanjutkan pengajarannya di rumah, atau karena ulama-ulama yang tidak mengajar di al-Haram, atau karena sudah terlalu tua (sepuh), atau karena bukan penduduk asli (tabaiya) yang mendapatkan izin membuka halaqa di al-Haram, atau karena alasan lain. Termasuk dalam golongan ini adalah Syaikh Jabir di Harat al-Bab, Kyai Idris Kediri di Shieb ‘Ali. Adapun pengajaran di rumah yang dilakukan oleh syaikh-syaikh yang mengajar di al-Haram dilakukan misalnya oleh Syaikh Yasin Padang. Yang paling menonjol adalah aktifitas belajar di rumah Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, dahulu di Utabiya, sekarang di Rusaifa, Makkah. Ketiga, pengajaran di Madrasah, baik milik pemerintah yang tidak menerima warga asing (ajanib) atau madrasah swasta yang umumnya didirikan oleh perorangan atau paguyuban dari warga asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Saudi (taba’iya). Madrasah di Makkah yang banyak diikuti warga asing adalah Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah Dar al-Hadits, dan Madrasah Dar al-‘Ulum, yang kesemuanya adalah madrasah swasta (ahliya) dan memusatkan pada ilmu-ilmu agama. Madrasah Shaulatiyyah adalah madrasah tertua dari seluruh madrasah yang ada di Makkah (ketika wilayah ini dimasuki penguasa Mamlaka al-Hijaziyyah tahun 1924 M.). Madrasah ini didirikan pada tahun 1291/1871 atas inisiatif seorang muqimin India, al-Syaikh Muhammad Rahmat Allah (lahir 1233 H.). Keempat, pengajaran melalui perguruan tinggi (al-jami’ah).
Kedatangan Ulama Haramain ke Nusantara
Para pakar sejarah memiliki teori masing-masing perihal kapan dan bagaimana agama Islam masuk ke bumi Nusantara Indonesia. Di antara teori-teori yang dikenal adalah Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia, Teori Cina, dan Teori Maritim. Namun di antara teori tersebut, tampaknya yang paling bisa diterima validitasnya adalah Teori Makkah, sebagaimana pendapat Prof. Dr. Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia di Medan (1963) yang mengangkat fakta dari Berita Cina Dinasti Tang, bahwa Islam masuk ke Nusantara Indonesia sekitar abad ke-7 M. Di dalam berita tersebut ditemukan daerah hunian wirausahawan Arab Islam di pantai barat Sumatra, maka disimpulkan Islam masuk dari daerah asalnya Arab, dibawah oleh wiraniagawan Arab.[14]
Berbicara tentang ulama Haramain, setidaknya bisa dibagi atas ulama asli kelahiran Haramain, atau ulama kelahiran non-Haramain dan non-Nusantara, dan terakhir ulama Nusantara yang sengaja mengunjungi Haramain. Untuk memastikan siapakah sosok ulama Haramain kelahiran non-Nusantara yang masuk ke Nusantara Indonesia tersebut tentu bukan persoalan yang mudah mengingat literatur yang sangat terbatas sekali. Sebagai contoh Ibnu Battuta yang dikenal sebagai seorang pengembara sejati, telah melakukan perjalanan ke Asia Tenggara dan Cina, pada tahun 1345-1346 M. dari perjalanan panjangnya mengunjungi banyak negara di dunia, mulai dari Afrika Utara, Mesir, Suriah, Arabia, Persia, Irak, Anatolia, Asia Tengah, Afghanistan, India, Sri Lanka, Kepulauan Maladewa, hingga kembali lagi ke Afrika Utara, Spanyol dan Afrika Barat.[15] Menurut Ibnu Battuta, ia berada di Kesultanan Samudra selama dua minggu. Tetapi dengan mempelajari kisah pelayarannya dapat diperkirakan bahwa ia berada di sana lebih lama. Ketika ia melanjutkan pelayaran, menyusuri pantai Sumatra untuk meneruskan perjalanan ke Cina. Ia singgah di Mul-Jawa yang masyarakatnya masih kufur. Dalam perjalanan kembali dari Cina, ia singgah lagi di Samudra. Ketika itu, menurut Ibnu Battuta, Sultan baru saja pulang berperang dan membawa banyak tawanan perang. Sang pelancong pun berkesempatan pula menghadiri pesta perkawinan putra Sultan dengan putri saudaranya. Menurut Ibnu Battuta, “Sultan Jawa (Samudra), al-Malik az-Zahir adalah penguasa yang paling hebat dan terbuka, juga pecinta ulama. Meskipun baginda tidak henti-hentinya berperang dan merayah demi agama, ia adalah seorang yang rendah hati, yang selalu berjalan kaki pergi ke masjid untuk salat Jumat….”.[16]
Namun begitu, ditemukan dalam beberapa literatur sosok-sosok ulama baik yang memang asli kelahiran Nusantara Indonesia, maupun dari negara lain yang kemudian menimba ilmu di Haramain, dan memiliki kapasitas intelektual yang diakui sampai saat ini dan berjasa besar dalam pengembangan syi’ar Islam di Nusantara Indonesia.
Pada kurun abad ke-18 sampai abad ke-20, beberapa ulama Indonesia di Haramain yang terkenal adalah Syaikh ‘Abdusshomad al-Falimbani, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syaikh Ahmad Ripangi, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Syaikh Muhammad Nawawi Banten. Adapun beberapa ulama keturunan Arab yang terkenal di Nusantara Indonesia adalah Habib Husein Abu Bakar al-Aydrus, Sayid Usman bin Yahya, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah al-Attas, Habib Ahmad bin Muhsin al-Hadar, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf (1285-1376 H), Habib Abdullah bin Ali Syahab, Habib Alwi bin Muhammad al-Muhdar, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, Habib Ali al-Habsyi (1870-1968 M), Habib Ahmad bin Abdullah as-Seggaf (1299-1369 H), Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas (125501346 H), Habib Abdul Qadir bin Alwi bin Idrus as-Seggaf (1241-1331 H), Habib Ali bin Husein al-Attas (1889-1976 M), Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad (1299-1373 H), Habib Shaleh bin Muhsin al-Hamid, Habib Salim bin Jindan (1324-1389 H/1906-1969 M), Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Habib Muhammad bin Hasyim bin Abdurrahman ath-Thahir, Habib Umar bin Ali as-Syaikh Abu Bakar, Habib Ahmad bin Alwi bin Ahmad al-Haddad (“Habib Kuncung”), Habib Alwi bin Segaf Assegaf, Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Habib Abdullah bin Ali al-haddad (“Kramat Bangil”).[17]
Perubahan yang dibawa Ulama Nusantara dari Haramain
Sejak kepulangan para pengkaji Islam dari Timur Tengah memang sedikit banyak membawa warna tersendiri bagi kajian keislaman di Indonesia. Ini tidak saja baru berlaku sekarang, tetapi jauh sejak interaksi Timur Tengah dan Indonesia berlangsung erat. Sejak abad ke-16 sampai ke-19, pemikiran dan paham keagamaan yang dibawa oleh alumni Timur Tengah dapat dikatakan menjadi mainstream pemikiran Islam di Indonesia. Kiprah yang diperankan mereka malah sebetulnya tidak hanya mewarnai kajian keilmuan Islam, tetapi juga mewarnai dunia pergerakan, organisasi, atau institusi kaum Muslim, bahkan dunia perpolitikan.[18]
Adanya proses transfer ilmu dan pengetahuan antara ulama-ulama Haramain kepada ulama-ulama Nusantara yang mengkhususkan dirinya datang ke Haramain untuk menuntut ilmu, secara sistemik telah membentuk jaringan dan ikatan yang kuat dan terpola khususnya dalam pengembangan da’wah di seantero dunia. Banyak terobosan yang telah dibuat para ulama tersebut bersama jaringannya.
Satu contoh fragmen sejarah dalam jaringan ulama NU (Nahdhatul ‘Ulama) dapat kita ketahui dari penuturan al-Habib Luthfi bin Yahya, menjelang berdirinya NU. Beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram dan kemudian menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Akhirnya di-istikharoh-i oleh para ulama-ulama Haromain, mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia, agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini menyetujui, dapat diteruskan, kalau tidak disetujui, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kyai Kholil Bangkalan.
Oleh sebab itu, menurut al-Habib Luthfi bin Yahya, tidak heran jika Muktamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M, untuk menghormati al-Habib Hasyim yang wafat pada waktu itu, sebagai suatu penghormatan yang luar biasa, dan tidak heran kalau Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Al-Habib Luthfi bin Yahya mendapatkan informasi ini dari seorang yang saleh, Kyai Irfan. Suatu ketika beliau sedang duduk-duduk dengan Kyai Irfan, Kyai Abdul Fatah dan Kyai Abdul Hadi. Kyai Irfan bertanya pada saya, “Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi, “Ini cucunya Habib Hasyim Yai“. Akhirnya al-Habib Luthfi bin Yahya diberi wasiat. Kata beliau, “Mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kyai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kyai Yasin. Kyai Sanusi ikut serta pada waktu itu, diiringi Kyai Asnawi Kudus, diantar datang ke Pekalongan, bersama Kyai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“. Demikianlah wasiat Habib Hasyim, yang kemudian membuat Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas, dan langsung menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Kemudian Mbah Kyai Kholil menasihati Kyai Hasyim Asyari, “Laksanakan apa niatmu, saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Kyai Hasyim Asy’ari berkata, “Ini bagaimana Kyai, kok tidak mau ditulis semua.” Terus Mbah Kyai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Demikianlah tawadhu-nya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan.[19]
Transmisi keilmuan Timur Tengah ke Indonesia, pada periode kontemporer, mengalir setidaknya lewat tiga “jalur”. Pertama, kepulangan mahasiswa Indonesia dari sana yang kemudian sedikit banyak menularkan ilmu-ilmu yang diperolehnya, baik melalui aktivitas mengajar di suatu lembaga ataupun melalui aktivitas menulis buku atau artikel media. Kedua, masuknya buku-buku karya pemikir Timur Tengah yang dibawa oleh mahasiswa dan alumni ataupun tenaga kerja yang meski tidak tersebar luas tetapi kemudian banyak diterjemahkan dan banyak beredar di Tanah Air. Buku-buku Timur Tengah terhitung paling marak diterjemahkan. Seiring dengan ini, beberapa kajian mengenai pemikiran tokoh-tokoh Timur Tengah kontemporer juga mulai sering dilakukan. Ketiga, kedatangan para dai dan guru Timur Tengah, baik atas undangan orang Indonesia, inisiatif sendiri, ataupun yang disebar oleh beberapa lembaga Timur Tengah. Yang disebut terakhir ini boleh jadi adalah yang lebih umum. Al-Azhar misalnya, aktif mengirimkan banyak lulusannya ke negara-negara Muslim. Pada tahun 1989 saja tercatat 29 orang Azhari Mesir yang bekerja di seluruh Indonesia.
Munculnya semangat pembaharuan Islam di dunia sedikit banyak juga membawa pengaruh secara langsung ke Nusantara Indonesia. Sebagai contoh gerakan pemurnian yang dipelopori oleh rangkaian guru-murid, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Muhammad Rasyid Ridha (1856-1935 M), telah melahirkan pengikut dan pemikir di masing-masing negara seperti Abdul Hamid di Turki, Sir Sayyid Ahmad Khan (1871-1848) dan Sir Sayyid Ali (1849-1928) di India/Pakistan, Dr. Ansari, Maulana Muhammad Ali, Syaukat Ali, dan Dr. Muhammad Iqbal. Di Malaysia/Singapura terdapat pengikut seperti Sayyid Muhammad bin Aqil, Syaikh Muhammad al-Kalali, Syaikh Thaher Jalaluddin, Sayyid Syaikh al-Hady, dan Za’ba.[20] Menurut Prof. Dr. H. Abubakar Aceh[21], terdapat hubungan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Sayyid Muhammad bin Agil di Singapura, yaitu salah seorang sahabat Muhammad Rasyid Ridha. Sayyid Muhammad bin Agil telah menerbitkan majalah al-Iman dalam bahasa Melayu dan majalah al-Islam dalam bahasa Arab, yang membuka pintu aliran ini masuk ke Jawa yang mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung berdirinya Jamiat Khaer (1905) dan Muhammadiyah (1912).
Terbentuknya Perkumpulan Jamiat Khair (dibentuk secara diam-diam pada tahun 1901 di Pekojan, Jakarta) yang berlatar belakang isolasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap “Kampung Arab” merupakan satu derivasi semangat kebangkitan Islam di Indonesia. Didirikan oleh Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab (Ketua), Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Syahab (Wakil Ketua), Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur (Sekretaris), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab (Bendahara), dan Said bin Ahmad Basandied (Anggota), dengan pergerakan di bidang sosial dan pendidikan, dan bersifat terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, meski mayoritas anggotanya keturuan Arab. Orang Indonesia yang pernah menjadi perkumpulan Jamiat Khair di antaranya Raden Umar Said Tjokroaminoto, Raden Jayanegara (Hoofd Jaksa Betawi, anggota nomor 352), R.M., Wiriadimaja (Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661), Raden Hasan Djajadiningrat (anggota nomor 723), dan K.H. Ahmad Dahlan (anggota nomor 770). Aktivitasnya kemudian berkembang dengan majlis taklim, Balai Pertemuan Perpustakaan dengan hubungan internasional, percetakan (maktabah), harian Utusan Hindia (dipimpin Umar Said Tjokroaminoto), sekolah muslim modern pertama (kurikulum internasional dan hampir 50% diisi dari keluarga tidak mampu tanpa dipungut biaya pendidikan), dan memiliki hubungan dengan organisasi di dalam negeri seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam).[22]
Menurut Kamajaya, penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama-tama adalah perkumpulan Jamiat Khair. Dari perkumpulan inilah tokoh-tokoh baru Islam bermunculan dan mendirikan berbagai perkumpulan, misalnya Perserikatan Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain.[23]
Muhammadiyah sendiri didirikan pada tanggal 18 November 1912. Awalnya K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Sekolah Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1914 didirikan bagian Kewanitaan yang dinamakan “Sopo Tresno”, dan kemudian dinamakan “Aisyiah”. KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok ulama yang telah mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya dan beberapa orang kyai dalam bidang Bahasa Arab, Ilmu Hadits, Tauhid, dan Tafsir. Dia pernah belajar dan bermukim di Mekah selama 5 tahun, dan banyak membaca tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dan kembali ke Indonesia dengan membawa banyak buku-buku tebal, sekaligus mengganti namanya dari Muhammad Darwis. Ketika untuk kedua kali, K.H. Ahmad Dahlan beribadah haji ke Mekah tahun 1902 dan menetap selama 2 tahun, di saat itulah ia berkenalan dengan ulama yang dikaguminya, Rasyid Ridha.[24]
Jamiyah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati pada tahun 1914, yang resminya berdiri dengan besluit nomor 47 tertanggal 11 Agustus 1915 di Petojo Jaga Monyet nomor 19 Jakarta dengan pengurus awal adalah Salim bin Awad Balweel (Ketua), Muhammad bin Abud Ubaid (Sekretaris), Said bin Salim Masyabi (Bendahara), dan Shaleh bin Ubaid Abdat (Penasihat). Syaikh Ahmad Surkati tidak duduk dalam kepengurusan tetapi sebagai pimpinan dari Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Awalnya, Syaikh Ahmad Surkati (seorang Arab kelahiran Sudan 1292 H) hijrah ke Saudi Arabia karena situasi politik di Sudan yang dikuasai Inggris. Mula-mula menetap dan belajar di Madinah selama 4 tahun, kemudian pindah ke Mekah hingga memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah pada 1326 H, selama 11 tahun, dengan berguru pada Syaikh al-Falih, al-Faqih Syaikh Ahmad bin Haji Ali Majdub, Syaikh Gurra’ al-Allamah Syaikh Muhammad al-Maghribi, al-Imam as-Sayyid Ahmad al-Barzanji al-Madani, al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat, Syaikh Syueb bin al-Maghribi. Ketika Jamiat Kheir membutuhkan tenaga guru, maka setelah berkoordinasi dengan Syarif Mekah, ditunjuklah Syaikh Ahmad Surkati, yang tiba di Indonesia pada tahun 1911 M, dan atas sarannya didatangkan pula oleh Jamiat Khair 4 orang guru lain untuk melengkapi kebutuhan tenaga guru. Sampai pada tahun 1914, Syaikh Ahmad Surkati berbeda pandangan dengan pengurus Jami’at Khair yang memuncak pada 6 September 1914 dengan berhentinya dari keanggotaan.[25]
Nahdhatul ‘Ulama didirikan antara lain oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, K.H. R. Asnawi, K.H. Mansyur, K.H. R. Asnawi, Hasan Gipo, dan K.H. Ma’shum. K.H. Muhammad Kholil (1235-1343 H), sosok ulama kelahiran Madura yang pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, sekalipun bukan pendiri langsung NU, namun merupakan inspirator bagi semua kyai para pendiri NU yang berguru kepadanya. Adapun K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), ulama kelahiran Jombang, dan pengasuh Pesantren Tebu Ireng, yang merupakan tokoh pendiri utama di NU ini, juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, khususnya berguru kepada Syaikh Mahfuzh at-Termisi bin Kyai Abdullah (Ahli Hadits dari Pesantren Termas Pacitan dan mengajar di Makkah), dan Syaikh Ahmad Khatib Minangkabu (Pengajar di Masjid al-Haram). Terakhir K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971 M), termasuk murid K.H. Hasyim Asy’ari yang juga pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah, dan bergurun antara lain kepada Kyaih Mahfuzh at-Termisi, Kyai Muhtaram Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Iman Bajened.[26]
Karakteristik Ulama Haramain
Dari beberapa penelusuran di atas, terlihat bagaimana ulama-ulama yang telah mengkhususkan dirinya berada di Haramain tersebut khususnya untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya, memiliki semangat yang tinggi untuk melanjutkan warisan para Nabi kepada seluruh kaum Muslim tanpa mengenal batasan teritori. Kecintaan mereka terhadap ilmu, perjuangan mereka untuk mendapatkan ilmu, dan penjagaan mereka atas ilmu patut diteladani umat Islam dewasa ini. Atas ilmu jualah mereka mampu menjadi tokoh besar sepanjang zaman yang meninggalkan bekas-bekas (atsar) yang baik bagi generasi berikutnya.
Secara keseluruhan, disertasi Abdurrahman Mas’ud yang menuliskan jejak intelektual arsitek pesantren ini sangat menarik sebagai suatu bahan sejarah tentang para tokoh yang memberi warna bagi fondasi awal pesantren nusantara. Nilai lebih buku ini, sebagaimana diungkapkan penulisnya, ada pada penekanan terhadap karya intelektual dan peranan para arsitek pesantren tersebut. Karya ini diharapkan dapat memicu munculnya karya-karya lanjutan yang akan memperkaya khazanah keilmuan Islam di Indonesia yang dirasakan masih memerlukan suntikan karya-karya bermutu.
_____________________
Daftar Pustaka
- Abaza, Mona, Islamic Education, Perception and Exchanges Indonesian Students in Cairo, Paris: Cahier d’Archipel 23, 1994.
- Aceh, Abubakar, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Semarang-Solo: Ramadhani, cetakan ke-3, 1982.
- As, Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, cetakan ke-2, Jakarta: Lentera, 1999.
- De Clercq, F.S.A, Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, Leiden: E.J. Brill, 1890.
- Dunn, Rose E., Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, cetakan ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
- Eisenberger, Johan, Indie and de Bedevaart naar Mekka (Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden), Leiden: Boekhandel M. Dubbeldeman, 1928.
- Gibb, H.A.R., Ibn Battuta: Travels in Asia dan Africa, 1325-1354, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1957.
- Kamajaya, Delapan Alim Ulama Pahlawan Nasional, Buku Kedua, Yogya: U.P. Indonesia, 1981.
- Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, cetakan ke-1, Jakarta: Penada Media, 2006.
- Ratib, Majelis, Jejak Ulama Betawi Meneguhkan Peran, [Online]. http://majelisratibmuhyinnufuussyamsisyumus.blogspot.com/2009/07/jejak-ulama-betawi-meneguhkan-peran.html 13 Mei 2010
- Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, cetakan ke-1, 2007.
- Ropi, Ismatu dan Kusmana (Ed.) Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, tanpa tahun.
- Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah Jilid 1, Bandung: Salamadani, cetakan ke-2, 2009.
- Vlekke, Bernard H. M., Nusantara a History of the East Indian Archipelago, Cambridge: Harvard University Press, 1943.
- Yahya, Luthfi, Ulama-ulama di Haromain, Embrio NU di Indonesia, [Online]. http://www.habibluthfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Aulama-ulama-indonesia-di-haromain-embrio-nu-di-indonesia&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id 13 Mei 2010.
- [1] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006
- [2] F.S.A De Clercq, Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, Leiden: E.J. Brill, 1890, hlm. 161.
- Dalam naskah aslinya tertulis, “De Spanjaarden verlaten Ternate, waarna de Hollanders op last der Edelheden de vesting Gamlamo hebben geslecht”. Naskah asli dapat diunduh di alamat: http://www.sil.si.edu/DigitalCollections/Anthropology/Ternate/index-ternate.htm.
- [3] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara a History of the East Indian Archipelago, Cambridge: Harvard University Press, 1943, hlm. 170.
- [4] Ibid.
- [5] Johan Eisenberger, Indie and de Bedevaart naar Mekka (Disertasi di Rijksuniversiteit Leiden), Leiden: Boekhandel M. Dubbeldeman, 1928, hlm. 14-15.
- [6] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006, hlm. 109.
- [7] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Penada Media, 2006, hlm. 161.
- [8] Komaruddin Hidayat, “Pengantar” dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. x.
- [9] Ismatu Ropi, Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 5.
- [10] Abaza, Mona, Islamic Education, Perception and Exchanges Indonesian Students in Cairo, Paris: Cahier d’Archipel 23, 1994, hlm. 38-9.
- [11] Ismatu Ropi dan Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi dan Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 10.
- [12] Ismatu Ropi, Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 7.
- [13] Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain: Pengalaman di Makkah”, dalam dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 21.
- [14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1, Bandung: Salamadani, 2009, hlm. 99.
- [15] Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hlm. x. (Terjemahan: The Adventures of Ibn Battuta, a Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986.)
- [16] H.A.R. Gibb, Ibn Battuta: Travels in Asia dan Africa, 1325-1354, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., (Fourth Impression), 1957, hlm. 274-275.
- [17] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. xx.
- [18] Ismatu Ropi dan Kusmana, “Alumni Timur Tengah dan Disseminasi Otoritas Keislaman di Indonesia”, dalam Ismatu Ropi dan Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Departemen Agama RI, hlm. 10.
- [19]http://www.habibluthfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=144%3Aulama-ulama-indonesia-di-haromain-embrio-nu-di-indonesia&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id
- [20] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 281.
- [21] Abubakar Aceh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Semarang-Solo: Ramadhani, 1982.
- [22] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 284.
- [23] Kamajaya, Delapan Alim Ulama Pahlawan Nasional, Buku Kedua, Yogya: U.P. Indonesia, 1981.
- [24] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 286.
- [25] Ibid, hlm. 288.
- [26] Ibid, hlm. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar