Walaupun tidak dikenal memeluk suatu agama, si Fulan adalah orang yang dikenal rajin bekerja, hidup bersih
dan jujur, suka menolong yang menderita. Beberapa warga miskin di banyak
kawasan dunia yang tak jelas paham keagamaanya memperoleh santunan
sosial dari pajak yang dengan tertib dibayar warga yang berkemampuan.
Berbagai kota besar di dunia dikenal karena bersih, rapi, aman, dan
Indah.Warganya mematuhi aturan yang berlaku, hampir tak terdengar
pencurian atau perampokan. Banyak pihak menyatakan, itulah model
kehidupan Islami, walaupun tidak mudah untuk bisa disebut sebagai warga muslim.
Karena itu, perlu klarifikasi mana yang
lebih utama, perilaku Islami atau formal Islam, bagaimana dan kapan
seseorang atau masyarakat bisa disebut saleh dan muslim. Hal ini lebih
penting lagi dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial, ekonomi, dan
politik yang melibatkan sentimen keagamaan. Selama
ini yang disebut muslim adalah yang bersyahadat, shalat, puasa,
membayar zakat, dan pergi haji. Mereka yang hidup dan tindakannya sesuai
dengan sunatullah, posisinya menjadi tidak jelas: apakah saleh atau
fasid.
Dalam hubungan itu, penting
diklarifikasi wilayah ajaran Islam dan posisi pemahaman dari dua model
wahyu Tuhan, serta siapa yang dituju wahyu Tuhan itu. Jika Al-Quran
adalah petunjuk bagi umat manusia, tentu semuanya berhak dan boleh
memahami Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Menyatakan Al-Quran hanya
boleh ditafsir oleh yang memahami seluruh tradisi dan bahasa Arab
adalah benar jika yang dimaksud ahli ilmu tafsir.
Secara akademik, seorang bukan muslim bisa menjadi ahli ilmu tafsir sama dengan ahli ilmu fisika tanpa menjadi sekuler atau ateis. Dari sini perlu disadari, Islam bukan semata ilmu, melainkan juga tradisi yang berlaku di dalam sebuah masyarakat atau kehidupan seseorang tanpa ilmu formal dengan segala sistem, metode, dan persyaratannya.
Secara akademik, seorang bukan muslim bisa menjadi ahli ilmu tafsir sama dengan ahli ilmu fisika tanpa menjadi sekuler atau ateis. Dari sini perlu disadari, Islam bukan semata ilmu, melainkan juga tradisi yang berlaku di dalam sebuah masyarakat atau kehidupan seseorang tanpa ilmu formal dengan segala sistem, metode, dan persyaratannya.
Karena itulah, pernyataan bahwa hanya
orang Islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Quran bertentangan
dengan misi penyebaran kebenaran Al-Quran dan maksud penurunannya
sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang
berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Quran
hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elite yang Arabis.
Soalnya, apa Islam sesempit itu, bagaimana ayat 4 surat Ibrahim: “wa
ma-arsalna-min rasu-lin illa-bilisa- ni qaumihi liyubayyina lahum”, yang
ditafsir Imam Maraghi sebagai kemestian risalah Muhammad SAW
sesuai dengan budaya umat? Demikian pula dengan ajaran: “kha-tibin na-s
bi qadri ‘uqulihim”; bicaralah kepada umat sesuai dengan akal mereka.
Seorang muslim, pemeluk agama lain, atau ateis pun terbuka untuk mengapresiasi, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsir ayat-ayat Al-Quran dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua. Berbeda jika ingin menjadi dan disebut ulama, atau ahli ilmu tafsir. Beberapa penelitian justru menunjukkan, komitmen kaum proletar pada ajaran agama jauh lebih hebat dibandingkan dengan kelas elite yang ahli ilmu tafsir pun. Imam Al-Ghazali pernah mengecam ahli ilmu ini.
Masalah yang perlu disadari adalah,
apakah Al-Quran itu hanya penting ditafsir ahli ilmu tafsir, atau
ajarannya berfungsi memecahkan sebagian atau seluruh problem kehidupan
empirik komunitas muslim ataupun dunia global. Pemahaman ahli ilmu
tafsir dan keislaman ternyata beragam, bahkan bisa bertentangan. Tidak
pernah dan takkan pernah ada tafsir tunggal tentang Islam, Al-Quran,
atau sunah. Justru perbedaannya mengandung rahmat bagi umat. Masalahnya
ialah kesediaan setiap pihak untuk berdialog, bukan dengan klaim-klaim
sepihak seperti selama ini.
Tak ada kelebihan kearaban dari
selainnya, kecuali ketakwaan dan kesalehannya. Sayang, hal ini lebih
dipahami sebagai konstruksi formal, bukan produk sosial, sehingga
kesalehan ritual lebih diutamakan dibandingkan dengan kesalehan sosial.
Ketakwaan dan kesalehan menyempit hanya bagi yang formal menyatakan
memeluk Islam. Merekalah yang disebut “ahlulbait” yang selalu
ditempatkan “lebih baik”, “lebih takwa dan saleh”, walaupun tidak bebas
kesalahan sosial.
Hanya dengan memberi ruang terbuka seluas mungkin bagi pemahaman, Islam akan bermanfaat bagi semua orang dan diapresiasi masyarakat luas, atau Islam makin terasing bahkan dari umat yang menyatakan memeluk Islam itu sendiri?
Hanya dengan memberi ruang terbuka seluas mungkin bagi pemahaman, Islam akan bermanfaat bagi semua orang dan diapresiasi masyarakat luas, atau Islam makin terasing bahkan dari umat yang menyatakan memeluk Islam itu sendiri?
[Abdul Munir Mulkhan, Doktor sosiologi agama, pengamat sosial keagamaan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar