Memahami Hadist dengan Pendekatan :
Historis, Sosiologis, dan Antropologis
A. Pendahuluan
Kajian hadist menarik perhatian para
peminat studi hadist, baik dari kalangan islam, maupun non Islam. Bahkan hingga
sekarang, kajian terhadap hadist, mulai dari kritik otensitias hadist, sampai
pemaknaannya yang sampai sekarang masih terus berkembang.
Pemahaman hadist relatif berkembang
dari zaman ke zaman, mulai dari tekstualis, konservatif, sampai kontekstualis.
Seiring dengan perkembangan zaman, hadist dimaknai dengan sesuai kebutuhan pada
zaman tersebut, dikarenakan teks hadist itu sangat terbatas adanya, sedangkan
realitas perkembangan zaman selalu dinamis.
Oleh karena itu, pemaknaan hadist
dengan metode baru yang lebih menekankan pada aspek historis, sosiologis, dan
antropologis sangatlah penting untuk dikaji, demi perkembangan interpretasi
hadist untuk menjawab realitas sosial masyarakat yang masih perlu
untuk dinilai
dengan kaca mata agama.
Makalah ini akan sedikit
mengeksplorasi permasalahan tersebut dengan menggunakan metode historis,
sosiologis, dan antropologis.
B. Tinjauan Hermeneutika Hadist.
Sebagian hadist Nabi, ada yang didahului sebab-sebab turunnya hadist, ada
pula yang tidak didahului dengan sebab-sebab tertentu. Bentuk sebab tertentu
yang menjadi latar belakang datangnya hadist, dapat berupa peristiwa secara
khusus ataupun umum, sehingga pemaknaannya harus dipahami secara tekstual
ataupun kontekstual. Oleh karenanya menjadi jelas, bahwa dalam Islam ada ajaran
yang bersifat universal, temporal, dan lokal.[1]
Demikian maksud dari hadist menjadi jelas dan menghindari berbagai
pemikiran yang menyimpang, jadi dapat diketahui mana hadist yang bersifat
temporal, kekal, universal, dan lokal, mana hadist yang mempunyai sebab khusus
ataupun umum[2].
Dengan cara seperti itu, dapat diketahui bagaimana pemahaman hadist Nabi dengan
mempertimbangkan asbabul wurud.
Secara garis besar, hermeneutika hadist lebih memfokuskan terhadap matan
hadist, dan merupakan usaha interpertasi dalam memaknai teks yang klasik agar
sesuai dengan zaman ini. Dengan demikian proses dalam interpretasi hadist dapat
dilakukan dengan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis. Para ulama
kontemporer menggunakan pendekatan tersebut, seperti Muhammad Shahrur, M.
Syuhudi Ismail (Lahir 1943)[3],
Fazlur Rahman (Lahir 1919)[4],
Yusuf Qardawi (Lahir 1926)[5],
bahkan seorang orientalis yaitu pendeta Daniel W. Brown[6],
dll.
C. Memahami Hadist dengan Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis.
1. Pendekatan Historis.
Pendekatan ini dilakukan sebagai suatu usaha
dalam mempertimbangkan kondisi historis pada saat suatu hadist dimunculkan.
Pendekatan semacam ini telah diperkenalkan oleh ulama hadist sejak dahulu dengan
satu disiplin ilmu asbabul wurud, yaitu suatu ilmu yang berbicara mengenai
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada saat hadist
tersebut disampaikan oleh Nabi.[7]
Pentingnya mengetahui hal kejadian-kejadian
yang melingkupi dalam pendekatan kondisi historis akan mempertanyakan mengenai
mengapa Nabi bersabda serta bagaimana kondisi sosio kultural masyarakat pada
saat itu, termasuk di dalamnya persoalan politik yang saat itu dimungkinkan
mengemuka dan mengintervensi munculnya hadist. Jadi, pendekatan historis yang
dilakukan terhadap objek material hadist, secara teknis dilakukan dengan
meneliti proses yang mengikuti suatu hadist. Tidak lain untuk menemukan
penjelasan tentang faktor yang menyebabkan suatu hadist itu muncul. Dengan kata
lain, tujuan pendekatan ini adalah menemukan genaralisasi yang berguna dalam
upaya memahami gejala problem masa kini. Misalnya:
Hadist Nabi menyatakan:
لاًن يمتلئ جوف احدكم قيحا خير له من أن يمتلئ
شعرا (رواه البخاري)
“Lebih baik perutmu diisi nanah dari pada diisi syair.
(Puisi).”[8]
Apabila hadist di atas dipahami secara
tekstual, maka hasilnya bahwa bersyair itu tidak boleh (haram). Dalam hadist
tersebut Nabi mengungkapkan ketidaksenangannya terhadapa syair.
Hadist di atas mempunyai asbabul wurud. Pada
suatu saat, Rasulullah mengadakan perjalanan dan berada di kota al ‘Arj,
terletak sekitar 78 mil dari Madinah. Kota itu merupakan tempat pertemuan
berbagai jurusan. Karenanya wajar bila budaya, antara lain yang berupa syair,
bertemu di kota itu. Tiba-tiba di hadapan rasulullah, ada seorang yang
mendeklamasikan suatu syair. Rasulullah lalu menyabdakan pernyataan sebagaimana
yang dikutip hadist di atas.
Menurut al Nawawi (w. 1277), syair yang
dibacakan oleh orang tersebut isinya tidak sopan dan melanggar asusila, atau
mungkin karena penyairnya adalah orang kafir.[9]
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa hadist
tersebut tidak harus diartikan secara tekstual, namun lebih pada pemaknaan yang
tekstual, karena pada zaman sekarang para ulama’ sering menggunakan syair dan
nadham dalam memberikan ajaran pokok-pokok islam. Dengan kalimat lain bahwa,
Syair hanya boleh digunakan bila ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal Islam.
2. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap suatu hadist
merupakan usaha untuk memahami hadist dari aspek tingkah laku sosial masyarakat
pada saat itu.[10]
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologis terhadap hadist
adalah mencari uraian dan alasan tentang posisi masyarakat sosial yang
berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hadist. Penguasaan konsep-konsep
sosiologi dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap
efektifitas hadist dalam masyarakat, sebagai sarana untuk merubah masyarakat
agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.[11]
Misalnya hadist berikut:
إنهكوا الشوارب وأعفوا اللحي (رواه
البخاري و مسلم)
“Guntinglah kumis dan
panjangkanlah jenggot”[12]
Hadist di atas oleh masyarakat Islam dipahami
secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa Nabi telah menyuruh seluruh kaum
lelaki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara jenggot
dengan memanjangkannya. Mereka memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah
satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Bila dipahami sekasam, perintah tersebut
memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan, dan lain-lain yang secara
alamiah mereka diberi rambut yang subur, termasuk dibagian kumis dan jenggot.
Tingkat kesuburan itu, ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Indonesia,
banyak orang Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang-jarang. Bahkan sampai
ada yang memaksakan jenggotnya dipanjangkan, meskipun hanya beberapa helai
saja. Hal itu malah yang menjadi tidak enak bila dipandang mata.
Dengan realitas yang seperti itu, maka hadist
di atas harus dipahami secara kontekstual. Kandungan hadist tersebut bersifat
lokal dan terpengaruh oleh sosiologis orang timur tengah.
3. Pendekatan Antropologi
Pendekatan antropologi adalah analisis yang
dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku dalam sebuah
tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia.[13] Misalnya
hadist berikut ini:
حدثنا الحميدى حدثنا سفيان حدثنا الأعمش عن مسلم
قال كنا مع مسروق في دار يسار بن نمير فرأى في صفته تماثيل فقال سمعت عبد الله قال
سمعت النبي يقول إن أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون[14]
“Al Humaidi telah
bercerita kepada kami (al Bukhari), Sufyan telah bercerita kepada kami, al
‘Amasy telah bercerita kepada kami, dari Muslim dia berkata: Kami dulu bersama
Masruq di rumah Yasar bin Numair, maka Masruq melihat di halaman depan rumah
Yasar, ada patung-patung. Maka dia berkata: Saya mendengar Abdullah berkata”
Saya mendengar Nabi Bersabda: “sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di
sisi Allah adalah para pelukis. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)
Secara tekstual hadist tersebut memberikan
pengertian mengenai larangan melukis makhluk bernyawa. Kesimpulan semacam ini
bisa dipahami karena banyaknya periwayat yang meriwayatkannya. Persoalannya
tidak hanya sekedar halal dan haram melukis, namun dimungkinkan perlu untuk
memperhatikan faktor sosio-historis dan antropologis pada saat hadist tersebut
diturunkan.
Bila ditelusuri, ternyata pada saat itu belum lama sembuh dari penyakit
syirik, yakni menyekutukan Allah dengan menyembah patung-patung dan berhala.
Dalam kapasitas dan posisi Nabi sebagai rasul, tentunya Nabi berusaha keras
agar masyarakat umat Islam waktu itu benar-benar sembuh dari penyakit syirik.
Salah satu caranya adalah dengan mengeluarkan larangan melukis.[15]
Kebiasaan menyembah patung seperti itulah yang
ditakutkan oleh Nabi, sehingga masyarakat akan kembali jahiliyah lagi. Dalam
bahasa ushul fiqh terdapat istilah sadd al-dzara’iyah (langkah
antisipasi) hal itulah yang dilakukan oleh Nabi.
Namun, pada kondisi saat ini, lukisan dan
patung-patung sudah tidak dijadikan sebagai sesembahan, melainkan sebagai
bentuk pengungkapa jiwa dan apresiasi jiwa. Jadi hadist di atas hanya bersifat
temporal saja. Namun, nilai subtansinya masih terjaga, yaitu menjaga agar
hati-hati tidak terjerumus pada menyembah sebuah patung atau lukisan.
D. Penutup.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hermeneutika hadist
lebih memfokuskan kajiannya terhadap matan hadist, namun sanad tidak lalu
begitu saja dinafikan, karena sanad dan matan adalah kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.
Dalam metode Memahami hadist sangatlah penting menilik dari sisi, historis,
sosiologis, dan antropologis, karena sangat berpengaruh pada hasil pemaknaan.
Dengan pemahaman yang demikian akan diketahui mana hadist yang harus dimaknai
secara tekstual, dan kontekstual.
***
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim, (2009), Ilmu Ma’anil Hadist Paradigma Interkoneksi. (Yogyakarta: Idea Press). Cet. I.
Kurdi, Dkk (2010), Hermeneutika Al Qur’an dan Hadist.
(Yogyakarta: Elsaq). Cet I.
M, Syuhudi Ismail, (1994), Hadist Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual Telaah Ma’anil Hadist tentang ajaran Islam yang Universal,
Temporal, dan lokal. (Jakarta: Bulan Bintang).
M. Al
Fatih Suryadilaga, (2009), Aplikasi Penelitian Hadist, (Yogyakarta: Teras).
Cet I.
[1] Makalah “Hermeneutika Hadist Syuhudi Ismail” oleh Syarifah Hasanah.
[2] Dalam teori klasik dijelaskan bahwa harus ada usaha untuk
mengkontekstualisasikan pemahaman terhadap hadist yang sampai saat ini masih
terjadi polemik. Apakah mendahulukan ungkapan lafadz yang umum, bukan pada
sebab yang khusus (Al ‘Ibroh bi ‘umumi al lafdzi la bi khususi as sababi)
atau ungkapan dengan sebab yang khusus dengan lafadz yang umum (al ‘ibroh bi
khususi as sabab la bi ‘umumi al lafdzi)
[3] Ulama’ dari Lumajang Jawa Timur, ia memakai beberapa langkah memaknai
hadist secara tekstual dan kontekstual.
[4] Ulama’ dari daerah Barat Laut Pakistan, ia mengemukakan teori konsep sunnah
dalam memandang dan memaknai suatu hadist.
[5] Ulama moderat dari Mesir, dalam memaknai hadist ia melibatkan unsur utama
(Teks-Pensyarah-Audiens).
[6] Sebagai pendeta, ia memandang hadist dari segi tradisi dengan mengajukan
suatu teori yang ia sebut dengan prisma modernitas, yaitu sebuah tradisi yang
dipantulkan dengan modernitas sebagai sinar lurus yang menimpa sebuah prisma,
lalu sinar itu kembali memantul dengan warna yang berbeda.
[7] Lihat Lubab an Nuqul dalam Hasyiah Tafsir al Jalalain
(Semarang: Maktabah Usaha dalam Keluarga, t.th.), hal. 5.
[8] Shahih Al Bukhari, Juz IV, hal.
74; Shahih Muslim, Juz IV, hal. 1769; Sunan Ibnu Majah, Juz II,
hal. 1236.
[9] Syuhudi Ismail, Hadist Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Telaah
Ma’anil Hadist tentang ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan lokal. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hal.60-61.
[10] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadist (Paradigma Interkoneksi).
(Yogyakarta: Idea Press, 2009), hal. 62.
[11] .......Ibid. hal. 63.
[12] Ibid. (Shahih Bukhari, Juz IV, hal. 39. Shahih Muslim: Juz I,
hal. 222.)
[13] Kurdi dkk, “Hermeneutika Al Qur’an dan Hadist”. (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010), hal. 375.
[14] Shahih Muslim. Jilid I, hal. 323-324.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar