Salaamun ‘alaikum.
Muslim pada umumnya ketika mendengar kata sujud, maka yang terbayang adalah suatu gerakan tubuh untuk menempelkan minimal dahi/ kening, ujung hidung, telapak tangan, 2 lutut dan jari-jari kaki kanan dan kiri. Sujud seperti ini saya sebut sebagai sujud 8.
Nah, Wakas Mohammed telah berusaha meneliti ayat-ayat al-Quran yang menggunakan tsulatsi (akar kata dalam bahasa Arab) S-J-D (siin-jiim-dal) dan mencoba mencari artinya berdasarkan konteksnya dan dibandingkan dengan makna yang tersedia di kamus Arab klasik. Kesimpulannya ternyata sangat menarik –setidaknya bagi saya, karena ternyata makna sujud menurut al-Quran itu tidak sebagaimana yang umumnya dibayangkan oleh kebanyakan muslim.
Terjemahan terhadap hasil penelitian ini dilakukan secara bebas, yaitu atas dasar pemahaman saya terhadap teks dan konteksnya. Oleh karena itu para pembaca sangat disarankan untuk membaca sumbernya pada link yang disebutkan di bawah.
Ketika membaca artikel ini sangat disarankan untuk selalu melakukan pemeriksaan ayat-ayat yang dirujuk terutama teks arabnya dan link http://corpus.quran.com/wordbyword.jsp akan membantu anda lebih merasakan maknanya setelah mengetahui posisi dan fungsi kata per kata dalam teks Arabnya.
Tambahan penjelasan atau pendapat dari penerjemah akan saya tulis pada note dalam tanda kurung. Silahkan menikmati !
Makna Sujud adalah mengakui Al-Quran
Peneliti: Wakas Mohammed
Penerjemah: Islam saja
Kata Arab ‘sujud’ (akarnya: Siin-Jiim-Dal) umumnya diartikan sebagai ‘sujud fisik’ (Note: selanjutnya saya sebut sujud 8), namun ada perbedaan di antara para penerjemah dan juga di antara kejadian dalam terjemahan. Dalam artikel berikut, semua kejadian kata spesifik dalam al-Quran ini (note: yaitu kata yang terbentuk dari tsulatsi SJD) dianalisis dan informasinya akan diambil, dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kata ini. Terkadang poin-poin penting akan terangkat, tetapi juga pengamatan kecil yang jika sendirian/ terpisah tidak dapat memberikan wawasan yang pasti, namun setelah dilihat secara bersama-sama dengan ayat-ayat lainnya diharapkan akan memberikan pandangan yang logis. Ketika membaca artikel ini, sangat dianjurkan sambil membuka “new window” untuk mencari dan mempelajari setiap ayat yang dikutip.
Untuk keperluan akurasi/ kejelasan, kadang-kadang ketika terjemahan ditampilkan dalam artikel ini: SJD = tunggal, dan semua bentuk lainnya adalah plural. Terjemahan langsung ditampilkan dalam huruf biru (note: saya ubah menjadi huruf miring).
Singkatan:
AQ = al quran (bacaan)
KAK = Kamus Arab Klasik
Dari Project Root List (note: www.studyquran.co.uk/PRLonline.htm):
Siin-Jiim-Dal = rendah hati, sederhana, tunduk patuh, menghamba/ mengabdi, memuja, bersujud (sujud 8), melakukan sikap/ isyarat penghormatan (note: dengan gerakan bagian tubuh tertentu), menurunkan/ menekuk dirinya turun ke arah tanah, menurunkan/ menundukkan kepala, melakukan sikap pengakuan/ menghormati/ membesarkan, menghargai, berdiri, melihat secara terus menerus dan secara tenang.
Dari catatan dalam kamus Lane:
- Sinonim dengan Kha-Daad-Ayn yang berarti rendah hati/ sederhana/ tunduk patuh.
- “SuJuD dari benda-benda mati kepada Allah sebagaimana yang kita pahami dalam al-Quran, adalah menunjukkan ketaatan kepada sesuatu yang olehnya mereka dijadikan bawahan”
- “Kapal SJD/ membelok/ condong oleh pengaruh angin”.
- Ayat 55:6 mengatakan “tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon tunduk secara rendah hati kepada kehendak-Nya”.
Catatan, preposisi “li” dalam bahasa Arab berarti “untuk/ kepada” atau “milik dari”, dan sering digunakan setelah SJD. Ini tidak selalu berarti sebuah arah secara fisik. Preposisi “ila” lebih tepat menyiratkan gerak dan/ atau arah.
Ulasan ayat-ayat SJD
SJD kepada/ untuk Adam/ manusia – 02:34, 7:11-12, 15:29-32, 17:61, 18:50, 20:116, 38:72-76.
- kata SJD dipertentangkan dengan berpikir dirinya lebih tinggi (kesombongan/ superioritas), dan penolakan untuk SJD mengakibatkan digolongkan sebagai orang-orang yang menyembunyikan/ menyangkal/ menolak atau tidak bersyukur (kafir). Ini bisa menyiratkan bahwa orang yang SJD akan digolongkan sebagai seseorang yang mengungkapkan/ menegaskan/ menerima atau bersyukur.
- alasan menolak SJD kepada makhluq (Adam/ manusia dalam kasus ini) dikarenakan berpikir bahwa dirinya lebih baik/ unggul terhadap makhluq itu. Ini memiliki implikasi bahwa makhluk yang SJD adalah dalam hubungan sebagai bawahan (note: lebih rendah) dari sesuatu yang kepadanya SJD dilakukan.
- jika dianggap sebagai sujud fisik yang pada umumnya dipahami (sujud 8), akan tampak aneh bahwa para malaikat/ pengendali atau Iblis (yang terbuat dari ‘nyala api’) bisa melakukan sujud dalam bentuk yang didefinisikan terlihat secara fisik, tetapi hal ini masih dimungkinkan (note: yaitu bila para malaikat dan iblis tersebut menyerupai manusia).
7:206 … mereka yang dekat dengan Tuhan mereka tidak terlalu bangga/ sombong* untuk melayani. Mengabdi (beribadat) kepada-Nya dan mereka memuliakan Dia (yusabbihu) dan kepada/ bagi-Nya mereka SJD (yasjuduun)
* kata yang sama untuk Iblis pada ayat 02:34, 38:73-76, 17:61 dll
Dengan demikian, bisa dikatakan: merasa bangga/ sombong merupakan penghalang bagi pemuliaan, penghambaan dan SJD seseorang. Menjadi dekat (kepada Allah) adalah kondusif untuk tindakan SJD.
22:18, 55:6 – Ber-SJD (yasjudu) kepada/ bagi Allah apa yang ada di langit/ bumi, dan matahari/ bulan/ bintang-bintang/ pegunungan/ pepohonan/ semua makhluk dan kebanyakan manusia
13:15 … kepada/ bagi Allah SJD (yasjudu) apa yang ada di langit dan di bumi, secara suka rela dan terpaksa, dan bayang-bayang mereka di pagi hari dan akhir-sore.
Secara kontekstual menyiratkan bahwa SJD yang sama dilakukan oleh bayang-bayang dan siapa/ apa saja yang ada di langit/ bumi, yang berarti ini tidak mungkin bermakna sujud 8. Jika kita menerima bahwa seseorang mungkin bersujud secara fisik (sujud 8) secara suka rela, bagaimana kita dapat memahami SJD secara terpaksa? Apakah Allah mendorong wajah orang-orang secara paksa sehingga mereka menempelkan hidung dan dahi di tanah secara terpaksa? Jelas bahwa sujud 8 tidak ada hubungannya dengan sujud dalam kasus ini.
Ayat 3:83 menggunakan ungkapan yang mirip dengan ayat 13:15 tetapi dengan kata “aSLaMa” (Maka apakah selain dari Diin Allah yang mereka cari, padahal kepada-Nya-lah “aslama” segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka rela maupun terpaksa….), dan ada juga dengan kata “SaBiH” pada ayat 57:1 dan 17:44. Apakah ketiga istilah ini tampak memiliki kesamaan yaitu bahwa kata-kata tersebut mengandung hubungan ketundukan yang melekat. Bagi saya, ada perbedaan antara “aSLaMa” dalam arti yang sebenarnya, dan arti teoritis atau dangkalnya. Sebagai contoh, jika seseorang berserah diri atau berdamai kepada saya, maka akan benar untuk mengatakan bahwa mereka berada dalam “penyerahan” kepada saya, tetapi ini tidak memberitahu kita apakah mereka melakukan itu atas dasar pilihan bebas/ dengan ketulusan, yaitu keputusan mereka sendiri, atau melakukannya karena alasan lain. Hal yang sama dapat dikatakan tentang SJD. Jika seseorang melakukan SJD, ini tidak memberitahu kita apakah mereka melakukan itu di luar pilihan bebasnya atau dengan ketulusan dll. Itulah mengapa segala sesuatu yang ada di alam semesta SJD/ SLM/ SBH, hanyalah mereka yang melakukannya bukan karena pilihan bebas mereka sendiri yang akan berhasil. Ini mungkin menjelaskan mengapa ada penyebutan “secara suka rela dan terpaksa”.
16:48-50 Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri, SJD (sujjadan) kepada/ bagi Allah dan/ sementara mereka* rendah hati? Dan kepada/ bagi Allah SJD (yasjudu) apapun yang ada di langit dan apapun yang ada di bumi dari makhluk yang bergerak dan para malaikat/ pengendali, dan mereka tidak sombong. Mereka takut kepada Tuhan mereka dari atas mereka, dan mereka melakukan apa yang diperintahkan.
* Tampaknya merujuk pada bayang-bayang
Jika kita menganggap ayat di atas sebagai sujud 8/ bersujud 8 (seperti beberapa terjemahan), maka ini jelas akan menyiratkan bahwa tidak peduli ke arah mana bayang-bayang tersebut menghadap, itu MASIH dalam keadaan bersujud kepada/ bagi Allah, yaitu Allah ada dimana-mana, yang berhubungan dengan “bagi Allah milik timur dan barat sehingga di mana pun kamu menghadap ada wajah/ kehormatan Allah”, baca ayat 2:115. Ini secara sangat jelas menyiratkan bahwa arah tidak ada relevansinya di sini. Perlu dicatat bahwa sebagian besar umat Islam tidak benar-benar menghadap ke arah sesuatu yang berbentuk kubus yang disebut Kaabah di Mekah selama sholat ritual tradisional. Ini karena bumi ini bentuknya bulat, sehingga kebanyakan manusia akan menghadapi kea rah titik acak dalam ruang. Bahkan jika kita menarik garis lurus di bumi ke arah ia menghadap, setiap derajat darinya akan menghasilkan bermil-mil menjauhi ka’bah, karena adanya jarak yang jauh. Dengan demikian kita mendapatkan argumen yang aman bahwa arah fisik yang tepat tidaklah sangat penting, karena sangat sulit untuk mendapatkan secara benar, dan Allah tidak ingin menyengsarakan kita, baca ayat 2:185. Juga, ketika seseorang bergerak, misalnya sedang berkendaraan, berjalan dll, seseorang dapat menegakkan sholat menurut pemahaman tradisional dari ayat 2:238-239, tetapi jelas sekali bahwa seseorang akan menghadap ke arah mereka bepergian dan tidak ke satu arah saja, sehingga ini dianggap sebagai pengecualian. Sekali lagi, ini menyiratkan bahwa arah tidaklah relevan.
Karena SJD adalah dalam bahasa Arab bentuk jamak (lebih dari dua), maka kita dapat menyimpulkan bahwa masing-masing dan setiap titik dalam gerakan bayang-bayang adalah sebuah SJD. Bagaimana pergerakan bayang-bayang memperlihatkan SJD ini? Yaitu bergerak/ sesuai menurut keberadaan yang lebih tinggi, kewenangan/ hukum-hukumnya, dan ini adalah bentuk kepatuhan yaitu: berserah diri, menghormati, menghargai, melakukan ketaatan dll, maka mungkin “mereka melakukan apa yang kepada mereka diperintahkan” di 16:50.
Pada ayat 16:48-50 kita memiliki contoh yang jelas dari SJD kepada/ bagi Allah: ketika sebuah bayangan berubah arah ke kanan dan kiri. Yang perlu kita tentukan adalah: mengapa pergerakan bayang-bayang ini merupakan sebuah SJD dan bagaimana kita bisa menghubungkannya dengan pemahaman kita di dalam AQ?
Mungkin menarik untuk dicatat bahwa titik bayang-bayang akan menjauhi matahari, sehingga cukup sebagai contoh yang cerdas, mengingat matahari juga menghamba, menurut ayat-ayat yang lain.
(Note: dari ayat 16:48-50 juga dapat diketahui bahwa apapun yang ada di bumi – yang berarti seluruh umat manusia termasuk di dalamnya – ber-SJD kepada Allah. Padahal kita tahu tidak semua manusia melakukan sujud 8. Dengan demikian SJD pada ayat ini jelas bukan sujud 8).
25:60 Dan apabila dikatakan kepada mereka: “SJD-lah kamu sekalian kepada/ bagi Yang Maha Penyayang”, mereka menjawab: “Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?”, dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).
Mereka mempertanyakan keberadaan yang mereka disuruh untuk SJD kepada/ bagi-nya, menyiratkan bahwa Al-Rahman dianggap oleh mereka tidak layak untuk menerima tindakan tersebut atau mereka tidak yakin siapakah Al-Rahman itu, sehingga mereka tidak melakukan SJD. Perhatikan bagaimana mereka tidak keberatan untuk SJD, tetapi hanya keberatan terhadap keberadaan yang mereka diminta untuk SJD kepada/ bagi-nya.
27:24 “Aku mendapati dia (wajattuhaa) dan kaumnya SJuD (yasjuduuna) kepada/ untuk matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu mencegah/ menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, “
27:25 “Agar mereka tidak SjuD (yasjudu) kepada/ bagi Allah Yang mengeluarkan apa yang tersembunyi di langit dan bumi, dan Dia tahu apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu menyatakan?”
Perhatikan bahwa burung itu “menemukan” (wajat) mereka, bukan “melihat” (raayt) mereka sebagaimana dalam mimpi Yusuf di mana ia melihat bulan/ matahari/ planet-planet SJD kepada/ untuknya. Tentu saja, bulan/ matahari/ planet-planet tidak secara fisik sujud seperti yang dilakukan manusia, jadi apa yang Yusuf lihat adalah sesuatu yang lain. Menariknya, jika kita melihat artinya di KAK, kemungkinannya hanyalah dalam bentuk: menghormati, berserah diri, menghargai, membuat persembahan. Jadi mereka harus melakukan sesuatu tampilan yang dapat diamati sebagai SJD, namun bukan dalam bentuk sujud tradisional (sujud 8).
Sekarang mari kita perhatikan apa yang ditemukan oleh burung tersebut. Kita sudah tahu bahwa ketika bayang-bayang bergerak ke kanan dan kiri (yaitu ke segala arah) ia SJD kepada/ bagi Allah. Ketika bayang-bayang terbentuk, mereka menjauhi matahari, sehingga jika pada ayat 27:24 kita menganggap kata SJD = sujud 8 maka satu-satunya kemungkinan adalah bahwa mereka sujud KEPADA matahari secara terarah. Deduksi ini mungkin tampak jelas bagi sebagian orang, tetapi jika memang itu yang terjadi, mengapa kejadian itu tidak dikatakan “melihat” mereka? Pada ayat 27:43 alasan yang diberikan untuknya (Ratu Sheba) yang tidak menyadari kebenaran atau kekeliruan jalan yang dia tempuh adalah: “Dan mencegah/ menghalangi dia (adalah karena) ia biasa melayani/ menghamba kepada selain Allah”.
Jadi, mari kita asumsikan bahwa itu berarti sujud tradisional (sujud 8), lalu bagaimana seseorang bisa mengidentifikasi kepada siapa sujud itu dilakukan? Itu akan sulit mengingat Allah di mana-mana dan adalah suatu kenyataan bahwa kadang-kadang di banyak negara orang-orang sujud ke arah yang berbentuk kubus yang disebut Ka`bah di Mekah tetapi matahari/ bulan juga berada di arah ini. Jadi dalam kasus seperti ini bagaimana orang bisa membedakan apakah dia sujud ke ka’bah atau ke matahari? Tentu mereka tidak akan bisa, kecuali dengan mengamati dan mempertimbangkan tindakan-tindakan lainnya, yang oleh karena itu kemungkinan besar menggunakan kata “karya/ perbuatan” pada ayat 27:24.
Jika kita benar-benar membayangkan apa yang ayat tersebut maksudkan, yaitu mereka seharusnya bersujud secara fisik (sujud 8) kepada Allah bukan kepada matahari, maka ini akan menyiratkan adanya arah lain selain ke arah matahari, tetapi seandainya memang ini terjadi, maka tidaklah mungkin untuk menyimpulkan apa yang sedang mereka sujudi. Karena bisa jadi bintang, planet, bangunan pada arah itu, dewa lain yang memerlukan arah tertentu.
Intinya adalah, dengan hanya melihat sujud fisik adalah mustahil untuk menyimpulkan obyek yang disujudi. Mungkin dapat dikatakan bahwa burung tersebut entah bagaimana berhasil menyimpulkan, tetapi jika kita kembali kepada apa yang sebenarnya AQ katakan, itu mungkin sekali bermakna perbuatan/ karya mereka yang mereka berikan/ serahkan.
Adalah menarik bahwa ayat ini sering dikutip sebagai bukti adanya sujud fisik (semacam sujud 8) padahal sebenarnya tidak. Atau paling banter adalah netral (bisa sujud fisik, bisa juga bukan).
Beberapa orang telah menyarankan “mendengar dan mentaati” atau “ketaatan” sebagai arti dari SJD, tetapi ini dikesampingkan dalam kasus ayat 27:24, karena tidak mungkin melakukan hal ini kepada matahari, karena merupakan sebuah benda yang tidak memberikan perintah.
41:37 … jangan SJuD (la tasjuduu) kepada/ untuk matahari dan kepada/ untuk bulan, namun SjuD-lah (wasjuduu) kepada/ bagi Allah yang menciptakan mereka, jika kamu melayani Dia saja.
SJD di sini sepertinya akan bermakna sesuatu yang sama untuk kasus sujud kepada: matahari/ bulan/ Tuhan.
Jika anda melayani Allah, berarti SJD kepada/ bagi-Nya. Sesederhana itu. Oleh karena itu dalam kisah Yusuf, SJD kepadanya nampak bermasalah, sebagaimana dicatat oleh beberapa penafsir, (jika diartikan seabgai sujud 8). Masalah ini akan dibahas kemudian.
84:21-22 Dan ketika al-Quran/ bacaan dibacakan kepada mereka, mereka tidak mau SJuD. Bahkan orang-orang yang telah menolak/ menyembunyikan (kafir) itu mendustakan/ menyangkal (nya).
Lawan kata dari menolak/ menyembunyikan adalah menerima/ mengungkapkan. Lawan kata dari mendustakan/ menyangkal adalah mengakui/ mengkonfirmasi/ menyadari. Jadi SJD – dalam konteks ayat ini – dapat disamakan dengan mengakui/ mengkonfirmasi/ menyadari, yang dilakukan oleh mereka yang menerima/ mengungkapkan.
Menariknya, jika sujud di sini = sujud 8, maka ini berarti Allah ingin pendengar untuk tidak hanya menerima apa yang difirmankan tetapi juga menurunkan tangan dan lutut dan menempelkan dahi ke lantai. Hal ini akan nampak janggal.
(Penerjemah: Karena ayat 84:21-22 akan menjadi:
Dan ketika al-Quran/ bacaan dibacakan kepada mereka, mereka tidak mau menempelkan kedua telapak tangan dan jari-jari kaki serta dahi dan hidungnya ke tanah. Bahkan orang-orang yang telah menolak/ menyembunyikan (kafir) itu mendustakan/ menyangkal (nya).)
03:43 Wahai Maria, patuhlah/ taatlah kepada/ untuk Tuhan dan SJD (wasjudii) dan cenderunglah/ rendah hatilah/ membungkuklah (warka’ii) dengan mereka yang cenderung/ rendah hati/ membungkuk.
Menariknya, dikatakan kepada Maria untuk rukuk/ membungkuk bersama dengan mereka yang rukuk/ membungkuk (jamak maskulin) dan beberapa orang telah menggunakan ayat ini untuk argument dimungkinkannya jemaah bercampur antar jenis kelamin. Namun bisa dikatakan bahwa ayat itu hanyalah merupakan pernyataan umum.
Ayat ini sepertinya juga menunjukkan adanya perbedaan antara istilah qanit/ patuh/ taat dan SJD, karena disebutkan secara terpisah. Lihat juga ayat 96:19 di bawah ini untuk implikasi yang sama tetapi terhadap kata Tay-Waw-Ayn.
22:77 Hai orang-orang yang beriman, cenderunglah/ rendah hatilah/ membungkuklah dan SJDlah dan layanilah (arka’uu wa-sjuduu wa-’buduu) Tuhan kamu semua dan berbuat baiklah supaya kamu berhasil.
76:25-26 Ingatlah nama Tuhanmu pagi dan sore hari, dan dari sebagian malam SJD-lah kepada/ bagi-Nya dan berTASBIHlah/ muliakanlah Dia sepanjang/ selama malam.
96:19 Sekali-kali jangan! Jangan kamu mematuhinya, dan/ tetapi SJD dan mendekatlah.
Larangan mematuhi seseorang yang tidak boleh dipatuhi diganti dengan SJD dan mendekat, menyiratkan makna ‘mematuhi’ mirip dengan ‘SJD dan mendekat’.
(Penerjemah: jika pada ayat 22:77, ro-ka-‘a = membungkuk dan sa-ja-da = sujud 8, lalu ‘a-ba-da = gerakan fisik apa?)
48:29 Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap para penutup/ penolak/ yang tidak berterima kasih, tetapi penyayang di antara mereka. Kamu lihat mereka cenderung/ merendahkan diri/ membungkuk yang SJD (rukka’an sujjadan), mencari karunia dan ridho/ persetujuan Allah. Perbedaan mereka DI (FI) wajah/ perhatian/ pertimbangan/ kehendak/ tujuan mereka, adalah dari jejak/ pengajaran/ pengaruh dari Sujud tersebut. Seperti itulah permisalan mereka di Taurat. Dan permisalan mereka di Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Sangat menarik untuk dicatat adalah penggunaan kata depan “FI” (dalam) bukan “’ALA” (pada), sehingga “perbedaan/ tanda mereka adalah DI wajah/ kehendak/ tujuan/ pertimbangan mereka”. Jarang penggunaan “FI” dengan arti “pada”.
Kata “atsar” (akarnya: Alif-Tsa-Ra) makna dasarnya adalah “yang tertinggal/ berbekas dari sesuatu” yang dapat berupa jejak/ tanda/ kesan/ pengajaran/ pengaruh dan tidak harus sesuatu yang berbentuk benda fisik, lihat ayat-ayat 5: 46, 18:6, 20:96, 30:50.
Kata “seema” (akarnya: Siin-Waw-Miim) artinya mengidentifikasi sifat/ corak/ sesuatu yang menonjol (misalnya bisa berupa cara seseorang berpenampilan atau melakukan suatu tindakan), lihat ayat-ayat 2:273, 7:46, 7:48, 47:30, 55:41.
Mungkin sebagian besar orang tidak memiliki jejak/ bekas sujud di wajah mereka dari sujud fisik dalam ‘ritual sholat’ misalnya, meskipun itu dilakukan berkali-kali setiap hari, sehingga pemahaman ini, meskipun secara dangkal masih masuk akal, namun sebenarnya menyempitkan makna ayat. Beberapa penerjemah, seperti Asad, tidak memilih terjemahan dengan makna tanda fisik pada wajah/ muka seseorang.
Perlu dicatat bahwa “cenderung/ merendahkan diri/ membungkuk yang SuJaD ” (rukkaan sujjadan) sepertinya berhubungan dengan “mencari karunia dan kesenangan/ persetujuan dari Allah” yang pada kejadian lainnya berhubungan dengan manfaat/ rejeki duniawi.
Perlu dicatat bahwa dalam konteks sebelumnya, ayat 48:25 jelas menyiratkan tentang orang-orang yang beriman yang tidak dikenali/ diakui, yang menjadikannya lebih tidak mungkin bahwa ayat itu mengacu pada tanda fisik pada wajah seseorang.
Kata “mereka” mengacu pada orang-orang yang beriman yang mengalami perkembangan/ pertumbuhan. Ini juga bisa berarti bahwa aktualisasi diri di bawah bimbingan sistem Allah akan mendorong perkembangan/ pertumbuhan kualitas diri dan manfaat. Ada implikasi bahwa tindakan SJD dapat berfungsi sebagai katalis untuk perkembangan/ pertumbuhan diri tersebut, karena pada saat meninggalkan kesan/ pengaruh (atsar) pada orang tersebut, maka sikap tersebut berasal/ berakar dari tindakan/ pola pikir tersebut, dan menghasilkan pertumbuhan yang penuh dengan buah dan penghargaan, dan inilah pesan yang dikemas dalam contoh di bagian akhir ayat. Untuk mencapai pertumbuhan yang efektif seperti itu, kehendak/ pertimbangan/ tujuan/ perhatian seseorang harus dapat dilacak ke belakang kepada tindakan SJD.
(Penerjemah: semestinya diperhatikan juga bahwa kata “sujjadan” pada “rukka-an sujjadan” adalah menempati kedudukan sebagai sifat (shifatu manshubah), yaitu bahwa kata “sujjadan” di sini menggambarkan sifat dari “rukka-an”. Terjemahan menjadi “rukuk dan sujud” dari Wakas dan juga DEPAG tidaklah tepat, karena seolah-olah menggambarkan 2 (dua) tindakan yang berbeda dan berurutan. Semestinya diterjemahkan sebagai “rukuk yang sujud”, yaitu rukuk yang bersifat sujud. Jadi kata “rukkaan sujjadan” tidak mengandung pengertian gerakan yang berurutan yang dimulai dengan membungkuk/ rukuk dan disusul dengan sujud 8).
2:58, 4:154, 7:161 … memasuki gerbang secara SuJuD (sujjadan)
(Penerjemah: Kata “sujjadan” pada ayat di atas “menjabat” sebagai HAL dari fi’il “udkhulu”). Jadi jelas sekali bahwa mereka tidak akan bisa memasuki gerbang sambil sujud 8. Karena memasuki gerbang adalah tindakan fisik, (penerjemah: maka tidak mungkin melakukan tindakan fisik yang berbeda secara bersamaan). Adalah mungkin jika SJD di sini ditunjukkan dalam tindakan fisik tetapi tidak dengan cara sujud 8 (penerjmah: misalnya dengan cara menundukkan kepala atau membungkukkan badan sebagai pengungkapan penghormatan atau sikap rendah hati). Sepertinya sujud di ayat ini lebih cenderung mengacu pada sikap/ pola pikir/ watak. Jika kita anggap bermakna metaforis, maka bermakna seperti dalam memeluk/ memasuki sebuah sistem baru, dimana untuk melakukannya dengan cara SJD.
2:125 … dan kami membuat perjanjian dengan Ibrahim dan Isma’il bahwa “Kamu harus mensucikan rumah/ tempat tinggal/ hunian-Ku bagi mereka yang pergi thowaf, dan yang tetap tinggal/ mencurahkan, dan yang rukuk yang sujud (arruka’issujudi).”
(penerjemah: kata “arrukka’issujuudi” saya terjemahkan “orang-orang yang rukuk yang sujud”, bukan “yang rukuk DAN yang sujud” karena kata SJD di sini menduduki sebagai SIFAT dari mereka yang rukuk).
Isi ayat ini mungkin menunjukkan suatu tahapan perkembangan yang mungkin dengan urutan: towaf (berbaur/ berkunjung) -> i’tikaf (tinggal/ mencurahkan [pada sesuatu]) -> rukuk (cenderung/ condong) -> SJD.
22:26 … dan sucikan rumah/ tempat tinggal/ penampungan Ku bagi mereka yang Thowaf (THOO-IFIIN), dan berdiri/ memelihara (QOO-IMIIN), dan yang rukuk yang sujud (arruka’issujudi)“
Ada sedikit perbedaan pada salah satu urutan/ tahapannya, yaitu kata “’AAKIFUUN (tinggal/ mencurahkan)” diganti dengan “QOO-IMIIIN (berdiri/ memelihara/ mengamati)”. Menariknya, kedua kata ini memiliki konotasi berada di satu tempat.
25:64 Dan orang-orang yang menghabiskan malam kepada/ bagi Tuhan mereka, SFD (sujjadan) dan berdiri.
Secara sekilas pengertian “sujud 8″ tampak cocok pada ayat ini karena adanya kata “berdiri” (qiyaaman), namun kejadian lain kata yang sama persis (qiyaaman) juga dipakai oleh ayat 4:5 dan 5:97, di mana artinya adalah penegakan/ pemeliharaan atau berdiri dalam arti kiasan. Secara teknis, jika seseorang menghabiskan malam harinya untuk berdiri dan sujud 8, jika mematuhi ayat ini, maka seseorang tidak perlu membungkuk seperti yang dilakukan secara tradisional, karena akan menjadi terlalu bertele-tele.
26:218-9 Dia yang melihat kamu ketika kamu berdiri/ bangkit, dan ketika kamu bergerak/ pergi ke sana kemari di antara as-Saajidiin.
Sepertinya menyiratkan pengertian bahwa Allah melihat kamu ketika kamu diam dan juga ketika bergerak.
Ref.: 7:120, 20:70, 26:46
20:70 Kemudian para penyihir tersebut dijatuhkan* SJD (SujJaDan). Mereka berkata: “Kami percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.”
*Kata Arab: uL’QiYa adalah dalam bentuk pasif yang sudah selesai (passive perfect), artinya obyek tersebut (yaitu para penyihir) menerima tindakan yang dinyatakan dalam kata kerja tersebut, berupa suatu tindakan yang sudah dilakukan/ diselesaikan kepada mereka. Jika menggunakan referensi silang, arti yang paling mungkin dari kata ini adalah “dijatuhkan”, dan sepertinya memainkan peranan pada kata-kata karena kata dijatuhkan tersebut dilakukan pada konteks ayat sebelumnya (menjatuhkan tongkat yang menggunakan kata “al-qi”). JIKA diterjemahkan sebagai dilemparkan/ dijatuhkan secara fisik ke bawah (seperti yang dilakukan di kebanyakan terjemahan), karena pasif, maka seseorang akan bertanya siapa/ apa yang secara fisik melemparkan tukang-tukang sihir itu ke bawah? Jawabannya tentu saja tidak ada/ tidak seorangpun, mereka melakukannya sendiri, sehingga penafsiran melemparkan/ menjatuhkan secara fisik menjadi tidak logis (Penerjemah: karena jika mereka melakukan sendiri semestinya menggunakan kata kerja aktif). Untuk meniadakan kejanggalan ini, contoh yang mirip dengan ini di AQ yang menggunakan kata kerja pasif lainnya akan dikutip.
Selanjutnya, jika melihat dialog pada ayat-ayat berikutnya, apakah mungkin mereka membuat pernyataan sambil sujud secara fisik di tanah? Sepertinya tidak mungkin. Juga perhatikan bagaimana Fir’aun keberatan terhadap pernyataan mereka, dan tidak ada referensi untuk sujud 8. Kemungkinan adalah sebuah motif, seperti misalnya Firaun tidak ingin tukang-tukang sihir itu bersujud kepada siapa pun kecuali kepada dirinya.
Dilemparkan/ dijatuhkan SujJaDan dalam kasus ini dapat dilihat sebagai menjadi pelopor untuk suatu realisasi/ perubahan pola pikir [lihat ayat 48:29 di atas untuk implikasi yang sama].
9:112 … orang-orang yang kembali (bertaubat), melayani, memuji, mengabdi/ berpantang, cenderung, SJD (as-saajiduna), menyuruh yang baik dan melarang yang salah, menjaga batas-batas Allah. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang percaya.
15:97-99 Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang SJD (as-Saajidiin), dan menghambalah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu yang diyakini (al-yaqiin).
39:9 (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang patuh/ taat selama/ pada jam-jam (dari) malam dengan SJD dan melakukan/ berdiri/ mempertahankan/ menegakkan (saajidan qoo-iman), sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang memiliki pemahaman (ulul albab) yang akan ingat.
Sekali lagi, kata qoo-iman itu dapat digunakan dengan makna “berdiri” secara harfiah dan “berdiri” secara kiasan atau “menegakkan/ mempertahankan”, misalnya pada ayat 3:18 (qoo-iman bil qisthi).
68:42-43 Pada hari ketika betis disingkapkan/ tidak ditutup/ dihilangkan dan mereka dipanggil kepada SJD (as-Sujuud); maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, kehinaan akan meliputi mereka. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru kepada SJD (as-Sujuud), ketika mereka dalam keadaan sejahtera.
(Penerjemah: Kaf-Shiin-Fa = To pull away [menarik menjauh], remove [menghilangkan], take off [melepas], open up [membuka], lay open [menggeletakkan secara terbuka], uncover [menjadikan tidak tertutup]).
Umumnya ditafsirkan sebagai “hari ketika mereka akan berada dalam keadaan terbuka/ panik/ penderitaan”. Untuk berbagai pendapat dari ungkapan ini dapat lihat pada referensi : Maududi, Keller, Ibnu Katsir, Jalalayn.
M. Asad: yaitu, ketika pikiran, perasaan dan motivasi terdalam manusia akan telanjang.
Ibnu Katsir mengacu kepada Bukhari mengatakan: “ini mengacu kepada: Allah menunjukkan kepada mereka kaki-Nya sebagai semacam tampilan pembuktian kebenaran!”. Tafsir ini seolah-olah menggambarkan bahwa ketika mereka berada pada kehidupan setelah mati itu, merupakan bukti yang tidak cukup!
Mustansir Mir di “Verbal Idiom of The Quran” mengatakan: “itu berasal dari sebuah ekspresi yang berhubungan dengan keganasan/ intensitas dari peperangan”.
Ada penggabungan pendapat yang jelas mengenai maknanya. Ayat ini tidak nampak untuk menunjukkan secara jelas suatu keadaan panik/ ketakutan, sehingga kemungkinan ada penjelasan sederhana yang lebih cocok. Pertama, mungkin perlu diperhatikan bahwa ini adalah satu-satunya ayat yang menggunakan kata “ila/ ke” (yang menyiratkan gerak dan/ atau arah) dan SJD secara bersama-sama, yang mungkin menyiratkan bahwa mereka dipanggil menuju/ ke arah sesuatu. Perhatikan bagaimana kata ini digunakan sebelum as-SuJuuD bukan setelahnya. Apakah ini suatu kebetulan belaka bahwa mereka dipanggil kepada sesuatu, tetapi tidak mampu, dan ayat ini menyebutkan tentang menghilangkan mobilitas – yang berhubungan dengan bagian tubuh sebelum ini, dan itu pada akhirnya berarti bahwa mereka tidak melakukannya ketika mereka dalam keadaan sehat/ baik (yaitu berbadan sehat)? Bisa jadi betis mereka bersaksi melawan mereka, mirip dengan ayat-ayat lain di mana tangan dll “bersaksi melawan kami” pada hari pembalasan/ hukuman, misalnya lihat ayat 24:24, 36:65.
Sangat menarik di sini bahwa kata “as-SuJuuD” yang digunakan di ayat ini menyiratkan sesuatu yang dikenal oleh para hadirin, dan itu merupakan sesuatu yang mereka dipanggil baik pada kehidupan ini maupun pada kehidupan berikutnya. Ini mungkin merujuk kepada bimbingan Allah, misalnya: lihat pada ayat 7:193, 7:198, 18:57 atau 3:23 ketika dipanggil kepada al-Huda dan Kitab Allah.
Perlu diperhatikan bahwa menjadikan betis seseorang dihilangkan sepertinya tidak untuk mencegah seseorang dari melakukan sujud secara fisik (sujud 8), maka beberapa penerjemah mengklaim bahwa mereka tidak akan mampu bersujud hanya karena rasa malu mereka, tetapi jika ini yang dimaksudkan, maka pertanyaan yang akan muncul adalah: mengapa menyebutkan sebuah betis?
(Penerjemah: “ketika betis disingkapkan” adalah menggambarkan keadaan huru-hara dimana biasanya orang-orang Arab akan mengangkat gamis bagian bawahnya agar mudah berlari kesana kemari karena kepanikan. Jadi ini menggambarkan keadaan hari pembalasan sebagaimana disinggung oleh tafsir Ibnu Kathir pada awal kalimat sebelum mengutip hadits Bukhori. Lihat di:
http://www.qtafsir.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1279&Itemid=124)
17:107-109 Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman. Sesungguhnya orang-orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka jatuh kepada dagu-dagu mereka dalam keadaan SUJUD (yakhirruuna lil azdqooni sujjadan), dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka jatuh pada dagu-dagu mereka (yakhirruuna lil azdqooni) sambil menangis* dan mereka bertambah** dalam sikap kesederhanaan/ kerendahan hati/ tunduk.
* Juga lihat ayat 5:83.
** Menyiratkan bahwa orang yang sudah bersikap sederhana/ rendah hati/ tunduk dipengaruhi dengan cara ini.
Kebanyakan penerjemah tidak menganggapnya sebagai jatuh secara fisik pada DAGU dalam sujud 8, tetapi, kebanyakan malah mengabaikan bahasa Arabnya dan menerjemahkannya sebagai “jatuh PADA MUKA-MUKA mereka”. Namun beberapa penerjemah mengemukakan penjelasan secara figuratif. Jika kata itu bermakna “jatuh pada (yaitu: ‘AAala = على) dagu-dagu mereka” maka akan menjadi lebih mungkin bermakna sebagai suatu ekspresi secara literal/ fisik, tetapi “jatuh kepada dagu-dagu” menunjukkan kemungkinan penafsiran metaforis atau suatu idiom (ungkapan/ kiasan). Dan tentu saja “adhqaan” artinya bukan “wajah-wajah”, tetapi “dagu-dagu”.
Lane’s Lexicon (Note: Buku I hal. 15 dan 968) secara gamblang menunjukkan adanya penggunaan idiomatiknya:
“Khoruu li-adhqaanihim, infinitive noun (mashdar) dari khuruur [Mereka jatuh bersujud, dengan dagu-dagu mereka ke tanah: lihat Kur. xvii 108 dan 109:.] (A: al-Asas oleh al-Zamakhsyarii) dan [dari sini,] ‘ashofat reehun fakharrat al asy-jaaru lil-adhqaani [angin bertiup keras, sehingga pepohonan tersebut jatuh, atau menekuk sendiri, ke tanah] (A. dalam art. Kho-ro dan Hhabbat alreehu fakabbat alsysyajara ‘alaa adhqaanihaa [Angin meniup, dan membalikkan, atau melemparkan, atau membungkukkan, pepohonan tersebut]: dan, tentang sebuah batu, kabbaHu-alssailu lidhaqanihi = Semburan tersebut membalikkannya (Taj al-‘Arus)”.
Perhatikan bahwa Lane menyediakan bagi pembaca dengan interpretasi/ makna idiomnya, selain terjemahan harfiah. Semua contoh-contoh tersebut menggunakan kata “dagu” meskipun pepohonan dan bebatuan jelas tidak mempunyai “dagu”. Lane juga menyatakan bahwa bagian dari seorang lelaki yang diletakkan ke tempat SJD (misalnya dahi/ hidung/ tangan/ lutut/ kaki) tetapi tidak termasuk “dagu” menyiratkan bahwa mengambil makna ayat ini secara harfiah, yaitu bersujud kepada dagu, adalah bukan makna yang semestinya.
Profesor Mustansir Mir di dalam “Verbal Idioms of The Quran” (Penerjemah: hal. 107), mengutip “jatuh pada dagu” sebagai ungkapan lisan yang menyiratkan kerendahan hati yang ekstrim, karena dagu mewakili kebanggaan, dagu adalah sesuatu yang semestinya diangkat tinggi, dan menjatuhkan kepada dagu seseorang adalah untuk merendahkan diri seseorang, dimana dalam kasus kedua ayat tersebut (Note: AQ ayat 17:107 dan 109) berarti merendahkan diri di hadapan Allah. (Penerjemah: Dalam menjelaskan sebuah kejadian banjir, Imru al-Qays membicarakan tentang dampak dari hujan deras pada pepohonan yang sangat besar: fa adhaa yasuh-hu l-maa’a ‘an kulli fiqotin/ yakubbu ‘alaa l-adhqooni dawha l-kanahbulii, Setelah setiap jeda, awan mulai menuangkan air, yang melemparkan pohon-pohon kanahbul besar pada dagu-dagu mereka”).
Di sini ini tidaklah mungkin berarti bahwa sebuah pohon akan benar-benar roboh karena hujan yang lebat, walaupun ada kemungkinan untuk mengambil pengertian sebagai jatuh secara fisik. (Penerjemah: dan pepohonan tentu saja tidak mempunyai dagu)
Secara gramatika, kata akusatif “sujjudan” dalam “yakhorruun lil’adhqaan sujjudan” merupakan tindakan atau cara dari kata kerja yang disebutkan sebelumnya. Dengan kata lain, ia menjelaskan bagaimana cara “mereka jatuh pada dagu-dagu mereka”. Jadi, jika “mereka jatuh pada dagu-dagu mereka” adalah idiom, maka “sujjadan” juga merupakan idiom dan bukan gerakan fisik-tubuh.
Demikian pula, pada ayat 38:24 ketika Dawud “jatuh rukuk” (khorro rooki’an), di mana kata rukuk juga “menjabat” sebagai keterangan (حال) dari fi’il khorro, dan karena tidak mungkin bermakna secara fisik ‘jatuh membungkuk’, maka banyak penerjemah merubahnya sebagai ‘jatuh bersujud/ berlutut’. Rukuk lebih mirip dengan merendahkan atau condong/ cenderung (dalam kaitannya dengan watak/ sikap/ pola pikir).
Jika hal ini kita kaitkan dengan tidak adanya bukti “menjatuhkan kepada dagu dalam sujud” menurut kitab-kitab hadits, dan tentu saja tidak setiap kali mereka mendengar bacaan AQ lantas sujud 8, maka hal ini secara kuat menunjukkkan bahwa kata tersbeut adalah ungkapan/ idiom. Juga, karena kata “jatuh” disebutkan dua kali, dimana yang terakhir tanpa SJD, itu akan menjadi lebih tidak umum untuk dilakukan.
Kata “jatuh” (kho-ra-ra) di AQ tidak selalu bermakna literal:
Dan orang-orang yang ketika mereka diingatkan tentang ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidak JATUH pada ayat-ayat tersebut secara tuli dan buta. [25:73]
(Penerjemah: perhatikan “jabatan” dari kata ‘summan’ dan ‘umyaanan’ pada susunan kalimat ayat di atas, yaitu merupakan keterangan dari cara mereka ‘khorro’ pada ayat-ayat Allah)
yaitu seseorang harus jatuh pada ayat-ayat tersebut, mereka harus mendengarkan dan melihat, yaitu memberikan kepada tanda-tanda tersebut perhatian/ pemikiran/ kepedulian secara penuh/ segera, lihat ayat 7:204.
Dari kamus bahasa Arab Klasik kata kh-r-r dapat berarti “benar-benar jatuh”, sehingga nampak bermakna kiasan, yaitu: secara maksimal, secara cepat/ penuh/ intens dll. Ungkapan ini dapat disamakan dengan penggunaannya dalam bahasa Inggris/ Indonesia, misalnya “fall in love”/ “Jatuh cinta”. (Note: kata ini jika diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi aneh: jatuh dalam cinta)
Dengan bukti-bukti di atas, dan penalaran bahwa “jatuh PADA” sesuatu menyiratkan derajat/ tingkat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa “jatuh” dengan sendirinya cenderung menyiratkan ke-segera-an ketika digunakan sebagai kiasan.
Sekarang kita akan membahas kasus-kasus di mana “jatuh” digunakan sebelum SJD tanpa kata “pada dagu”, dengan memeriksa dan membandingkan akan lebih mencerahkan:
12:04 Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai Ayahku, aku telah melihat sebelas planet dan matahari dan bulan, aku melihat mereka Sajid kepada/ bagi saya.”
12:100 Dia menaikkan orang tuanya di atas singgasana, dan mereka jatuh kepada/ baginya SuJjaDan, dan dia berkata, “Ayahku, ini adalah interpretasi mimpi/ visi saya sebelumnya …
DAN
84:20-22 Maka apa yang terjadi dengan mereka bahwa mereka tidak beriman? Dan ketika AQ/ bacaan tersebut dibacakan kepada mereka, mereka tidak SuJuD. Tetapi, mereka yang menolak/ menyembunyikan akan menyangkal.
19:58 … ketika dibacakan kepada mereka tanda-tanda dari Yang Mahakuasa, mereka jatuh SuJjaDan dan menangis
32:15 Hanya mereka yang percaya pada ayat-ayat Kami yang ketika mereka diingatkan dengan ayat-ayat itu, mereka jatuh* SuJjaDan, dan memuliakan dengan memuji Tuhan mereka, dan mereka tidak sombong.
* Tafsir ibn Abbas menjelaskan ungkapan ini sebagai “mereka datang dengan kerendahan hati sepenuhnya”, Ibnu Katsir mengatakan bahwa ungkapan itu berarti “mereka mendengarkan ayat-ayat itu dan mentaati ayat-ayat itu dalam kata dan perbuatan.” Namun demikian keduanya tidak menafsirkan ayat 19:58 dengan cara yang sama.
Sebelum mendiskusikan konsekuensinya, ayat 12:04 dan 12:100 perlu diklarifikasi, karena dalam beberapa terjemahan (misalnya M. Asad) mereka menyatakan/ menyiratkan bahwa Yusuf dan orang tuanya jatuh SJD kepada-Nya (yaitu kepada Allah), tetapi ini tidak benar menurut ayat 12:04 karena dalam mimpinya Yusuf melihat mereka SJD kepada/ bagi dirinya, bukan kepada Allah. Beberapa penerjemah mengartikan bahwa orang tua Yusuf jatuh SJD kepada/ untuk Yusuf, tetapi ini juga tidak benar, karena bahasa Arab jamak digunakan untuk kh-ro-ro, yang berarti sebanyak 3 atau lebih, dan karena pada ayat 12:93 secara jelas menyiratkan bahwa orang-orang yang kembali ke dalam rombongan Yusuf adalah keluarganya (yaitu saudara-saudaranya) dan orang tuanya, maka mungkin yang dimaksudkan adalah 11 anggota keluarganya dan matahari dan bulan dalam mimpinya adalah simbolis bagi orang tuanya, itulah maka kita dapat melihat mengapa bentuk jamak digunakan. Menariknya, M.Asad dalam catatannya terhadap ayat 12:100 mengatakan bahwa “para ulama” awal mengatakan bahwa tidak boleh bersujud kepada Yusuf, karena tak terbayangkan bahwa Yusuf akan membiarkan hal ini terjadi. Lihat misalnya ayat 27:25. Ini adalah poin penting untuk direnungkan.
Ketika jatuh/ kho-ro-ro digunakan dalam konteks wahyu, itu jelas merupakan kiasan. Karena Yusuf adalah salah seorang yang dibimbing, dalam otoritas dan dalam posisi untuk mengeluarkan perintah yang harus diikuti, mirip dengan contoh Allah dan perintah-Nya, “jatuh SJD” dapat berarti sesuatu yang sama persis pada ayat-ayat 12:100, 19:58 dan 32:15. Itulah mengapa “para ulama” awal yang dikutip oleh M.Asad mengalami kesulitan untuk mendamaikan sujud fisik kepada Yusuf, karena perbuatan ini adalah secara konseptual tak terbayangkan bagi mereka, sehingga beberapa “ulama” memilih memaknai “jatuh SJD” kepada-Nya (yaitu Allah). Karena kita tahu bahwa ini sama sekali tidak benar menurut ayat 12:4, maka kita dibiarkan dengan hanya satu pilihan, yaitu: “mereka jatuh SJD kepada/ untuk Yusuf”. Tentu saja, “para ulama” awal mungkin tidak mempertimbangkan pilihan makna non-sujud 8 atau mencoba untuk menjelaskan pemahaman diri mereka*, karena prasangka/ didikan yang mengajarkan mereka bahwa SJD berarti sujud fisik (note: sujud 8).
* Lihat altafsir.com di mana Jalalayn mengatakan “jatuh SJD” berarti membungkuk dan bukan sujud 8. Dengan nyamannya mengabaikan kata “jatuh” dan di tempat lain SJD berarti sujud 8 dalam karyanya.
Juga harus diperhatikan bahwa mereka dinaikkan/ diangkat ke atas singgasana dan mereka jatuh SJD kepada/ bagi Yusuf. Jika ini adalah membungkuk atau sujud 8, maka ini akan menjadi suatu cara yang aneh dan tidak bisa dipraktekkan. Dinaikkan ke atas singgasana adalah gerakan yang penting, karena hanya pemilik tahta tersebut yang membolehkan untuk ini, dan setelah kejadian ini, orang tua dan keluarga Yusuf jatuh SJD kepadanya.
Pada dasarnya, pemahaman tradisional memperlakukan sebuah pernyataan kiasan/ ungkapan kadang-kadang sebagai literal (yaitu ketika perlakuan itu cocok/ sesuai menurut mereka) dan di tempat lain secara non-literal (yaitu ketika perlakuan itu cocok/ sesuai menurut mereka), tanpa adanya kriteria yang membedakan selain ketika tidak sesuai dengan pandangan mereka. Cara yang sembrono ini tidaklah layak bagi kata/ logika yang presisi yang sempurna, yaitu AQ.
Sekarang sebagai konsekuensi dari perbandingan ini: JIKA seseorang menggunakan ayat 12:04 dan 12:100 secara bersama-sama untuk menyiratkan bahwa SJD itu bermakna “sujud 8″ (atau hanya sekedar membungkuk secara fisik), maka mereka juga harus memilih – menggunakan logika yang sama – bahwa SJD pada ayat 84:21 dan 19:58/ 32:15 (perbandingan yang sama persis) juga bermakna “sujud 8/ membungkuk”. Atau jika anda memilih mengartikan sujud secara fisik pada salah satu dari ayat 84:21, 19:58 atau 32:15, maka anda harus melakukan hal yang sama untuk ayat-ayat lainnya, kecuali ada alasan yang kuat untuk tidak melakukan itu, jika tidak maka secara logis akan tidak konsisten dan/ atau terjadi kontradiksi di dalam pandangan seseorang. Dengan demikian, implikasinya adalah, setiap kali seseorang mendengar AQ, mereka harus secara fisik bersujud! Tentu saja, tidak ada muslim ahlul hadits sejauh yang saya tahu melakukan hal ini, atau pernah melakukannya, karena akan menjadi tidak praktis dan kadang-kadang malah berbahaya. Nampak bahwa temuan ini sangat penting, dan bukan hanya karena adanya masalah jika SJD = sujud 8, tetapi juga karena adanya masasalah pada setiap gambaran tubuh-fisik dari istilah ini, misalnya saat memberi hormat. Tentu saja ada cara untuk mengatasi masalah ini, yaitu: cukup memilah dan memilih makna sesuai dengan pandangan anda atau mengabaikan apa kata AQ. Tampaknya hal ini lazim dilakukan.
Perlu diperhatikan bahwa kata-kata kunci lainnya tidaklah eksklusif bagi Allah, sebagaimana anggapan umum, misalnya menjadi muslim (yaitu orang-orang yang menyerah/ berdamai) KEPADA Sulaiman [lihat ayat 27:31]. (Penerjemah: Jadi kata SJD-pun bisa dipakai untuk sesame/ kepada manusia).
50:39-40 Maka bersabarlah atas apa yang mereka katakan, dan muliakanlah dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan dari malam kemudian/ maka muliakanlah Dia dan setelah SJD tersebut (as-SuJuuDi).
Atau bisa diartikan sebagai “…dan bagian belakang/ akhir-akhir (dari) SJD” atau “…dan bagian belakang/ akhir-akhir Sujud”, tetapi itu semua bermakna sesuatu yang sama. Menariknya, tafsir tradisional Ibn Kathir dan Jalalayn memberikan variasi interpretasi dari ayat ini. Laporan yang isinya saling bertentangan cukup umum terjadi di antara penerjemah yang menggunakan Ahadith. Perlu diperhatikan bahwa ayat di atas adalah keseluruhan yang tunggal.
(Penerjemah: ayat di atas nampaknya menyiratkan perintah untuk ber-“tasbih” dengan “tahmid” sepanjang hari dan sebagian malam serta setelah aktifitas SJD).
4:102 … dan engkau tegakkan/ dirikan sholat/ ikatan bagi/ kepada mereka*, kemudian biarkan sekelompok dari mereka berdiri/ menegakkan/ mendirikan** dengan engkau dan biarkan mereka membawa senjata mereka, kemudian ketika mereka telah SaJaDu, maka/ kemudian biarkan mereka berada di belakang kamu (jamak) …
* dapat diterjemahkan bagi/ kepada mereka, misalnya lihat pada ayat 2:109, 5:75
** lagi, kata itu dapat berarti “berdiri” secara kiasan, misalnya lihat penggunaannya pada ayat 4:127. Juga ada kemungkinan kedua penggunaan dari QWM pada ayat ini memiliki arti yang sama.
Ayat ini menggambarkan seorang pemimpin menegakkan sholat dalam dua kelompok, secara bergiliran, yaitu pertama kali satu kelompok melakukannya, kemudian disusul kelompok berikutnya menyelesaikan sholat.
Jika ayat ini diperlakukan secara harfiah, maka ayat ini menyiratkan bahwa seseorang menegakkan sholat dan kelompok pertama juga melakukan demikian, SEMUA menghadap ke satu arah. Hal ini karena adanya kalimat “maka biarkan mereka berada di belakang kamu (jamak)”, karena jika si pemimpin tersebut menegakkan sholat menghadap ke kelompok tersebut, maka tidaklah mungkin berdiri di belakang mereka semua. Pemahaman literal ini akan memberikan bobot penafsiran yang condong kepada sholat dengan makna ritual sholat misalnya. Dengan menganggap bahwa memang ini yang terjadi, sebagaimana yang umumnya dipahami, jika mereka berdiri di belakang mereka maka hal itu membuktikan posisi yang sedikit canggung karena mereka yang di belakang akan harus menghadap ke dua arah dalam situasi ini, yaitu melihat melalui/ melewati kelompok yang di depan mereka. Bahkan jika mereka berada di sisi, sehingga tidak harus melihat melalui/ melewati mereka, maka salah satu kelompok tidak mungkin berada di depan kelompok lainnya, agar ayat tersebut tetap sepenuhnya benar. Alasan kenapa menghadap ke dua arah adalah bahwa selama sholat muslim tradisional seseorang cenderung untuk melihat ke tanah atau tidak jauh dari depan mereka, sehingga dalam istilah sholat mereka bertindak sebagai seorang pengintai dalam kasus jika ada serangan adalah tidak praktis. Posisi ini akan terbatas sehingga tidak ideal dalam situasi antara hidup dan mati, tetapi ini masih masuk akal.
Menariknya, catatan Muhammad Asad pada ayat 4:102 menyatakan bahwa “biarkan mereka berada di belakang kamu (jamak)” adalah sebuah ungkapan/ kiasan, dengan menyatakan: “Dalam penggunaan bahasa Arab klasik, kalimat kana min wara’ika (makna harfiahnya “dia di belakang kamu [tunggal]“) bermakna “ia melindungi kamu [tunggal]” atau (dalam bahasa militer) “ia menutupi kamu [tunggal]“, dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan posisi relatif secara fisik antara dua orang atau kelompok.”
Pemahaman ini akan menyelesaikan masalah tersebut, dan akan menghilangkan bobot penafsiran bahwa sholat di ayat ini = sholat ritual tradisional. Juga terdapat masalah lain dengan ayat ini jika diartikan sebagai sholat ritual tradisional, yang akan dibahas secara singkat sebagai berikut:
- Ayat ini mungkin akan menyiratkan bahwa sholat berakhir pada SJD, tetapi jika sholat = sholat ritual dan SJD = sujud 8 di sini, maka kita semua tahu bahwa sholat Muslim ahlul hadits memiliki setidaknya dua sujud 8 per unit sholat, tidak hanya satu, sehingga ayat ini dengan sendirinya tidak jelas atau tidak masuk akal. Satu-satunya cara untuk membuatnya agak masuk akal, mungkin dengan mengatakan bahwa sholat Muslim ahlul hadits biasanya terdiri dari dua sujud, dan karena ini terjadi selama masa peperangan, maka bisa dikurangi menjadi satu sujud. Tidak ada sesuatu yang disebut sebagai satuan dari sholat menurut AQ, demikian juga Muslim ahlul hadits tidak melakukannya dengan cara ini (yaitu sholat tidak diakhiri dengan sujud), tetapi penjelasan ini hanya untuk menunjukkan apa yang masih masuk akal yang bisa dilakukan terhadap ayat ini menurut pemahaman ahlul hadits.
- Ayat ini akan menyiratkan bahwa seseorang harus mengambil DAN memegang senjata/ barang-barang mereka bersama mereka (karena menggunakan kata ‘tadlo’uu/ meletakkan, pada bagian berikutnya dari ayat tersebut), namu jika dipahami sebagai sholat Muslim ahlul hadits maka secara fisik membungkuk, berlutut dan sujud 8 seperti itu mungkin tidak mudah dilakukan dan agak berbahaya, misalnya sujud dengan pedang!
- (Penerjemah: Kepada kelompok yang sholat berikutnya, selain perintah memegang senjata juga ada perintah tambahan untuk tetap waspada. Bila sholat di ayat ini seperti sholah ahlul hadits/ fiqh, bagaimana mungkin bisa waspada ketika mereka membungkuk dan sujud 8?).
- Ayat ini menyatakan bahwa jika terhambat oleh hujan atau penyakit maka seseorang dapat meletakkan senjatanya, tetapi tidak mengatakan apa-apa tentang dikecualikan dari sujud. Jadi pertanyaan yang akan muncul adalah jenis hujan/ penyakit seperti apa yang akan mencegah seseorang dari membawa senjata sebelum memungkinkan seseorang untuk bersujud 8? Tampaknya tidak ada jawaban yang mudah untuk masalah ini.
Kami juga masih mendapatkan masalah lain, karena jika kita menerima bahwa sholat reguler/ terjadwal melibatkan pembacaan AQ yang secara kuat dibuktikan oleh AQ sendiri, dan disepakati oleh hampir semua ayat [lihat ayat 2:43-45, 4:103, 5: 12-13, 7:169-170, 8:2-3, 19:58-59, 29:45, 31:2-7, 33:33-34, 17:78], maka kita tahu bahwa kita diperintahkan untuk SJD ketika ayat-ayat itu disampaikan/ dibacakan kepada kita [84:20-22, 19:58, 32:15], tetapi jika kita melakukan sujud 8 dalam sholat reguler/ terjadwal dan kita tahu sholat berakhir dengan SJD sesuai dengan 4:102, maka sujud 8 akan berlangsung kurang dari 20 detik! Ini menyajikan masalah penting, yang sangat menyiratkan bahwa SJD bukanlah tindakan satu-waktu tertentu, misalnya sikap hormat/ bersujud 8/ dsb.
Jika seorang pemimpin menegakkan sholat kepada/ bagi orang lain, maka pemimpin tersebut kemungkinan akan menentukan kapan dimulai dan konsekuansinya kapan berakhir. Setelah pemimpin menyelesaikan apa yang mereka ingin sampaikan terkait AQ, maka itu sudah selesai dan peserta sholat dapat merespon/ meninggalkan tempat. Jika seseorang menerima informasi, orang itu tidak akan menyelesaikan atau merespon ketika masih setengah jalan. Jika kita gabungkan ini dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka kita dapat mencatat bahwa hanya beberapa makna SJD yang cocok untuk ayat ini, yaitu “…maka apabila mereka telah berserah, menghamba, mengagumi, menghormati, menghargai”. Semua mengacu pada penyelesaian perintah (yaitu untuk menegakkan sholat), bukan perbuatan yang lain. Temuan ini mendukung ayat-ayat seperti 50:39-40 yang di dalamnya penyelesaian perintah (misalnya ber”tasbih”) adalah juga merujuk sebagai suatu SJD. Kita juga dapat melihat makna ini pada ayat 16:48-49 ketika pergerakan dari sebuah bayangan (yaitu penyelesaian sebuah perintah) adalah sebuah SJD.
Dengan kata lain, pada ayat 4:102, ketika mereka telah SJD/ berserah diri/ mengakui = ketika mereka telah menyelesaikan sholat tersebut. SJD adalah mendirikan/ menegakkan sholat itu sendiri. Kami mungkin bisa lebih menjelaskan ini menggunakan sebuah analogi: jika saya memberitahu sekelompok pelajar “Tolong tunjukkan kepada anggota kelas dan kemudian KETIKA TELAH KAMU LAKUKAN maka kamu boleh pergi”. “Ketika telah kamu lakukan” bermakna “ketika kamu telah mengambil alih kelas kamu”. Kelas tersebut bisa saja 10 menit atau satu jam, guru yang mengambil alih kelas tersebut akan menentukan kapan kelasnya berakhir.
Berikut ini dinyatakan di bawah catatan SJD di Lisan al-Arab yang menyediakan kecocokan secara sempurna: ؛سجد فقد ،به مر أُ لما وخضع ذل من وكل
Terjemahannya: Siapapun yang berserah dan mematuhi terhadap apa yang diperintahkan, maka sungguh ia telah “Sujud”.
Perhatikan: ayat 4:102 mungkin dapat dikaitkan dengan ayat 3:121-122. Contoh pada ayat 4:102 adalah satu-satunya contoh dari jenis itu di seluruh Quran, yaitu tidak ada Nabi/ Rosul lain dibahas sebagai telah menegakkan/ mendirikan/ memenuhi perintah sebuah sholat dengan cara seperti itu atau dengan orang lain. Secara teknis, mengatakan “ketika MEREKA telah SJD” dan tidak merujuk pada seseorang yang memimpin sholat sebagai melakukan SJD, akan cocok dengan apa yang didiskusikan.
Ringkasan dan Diskusi
Mengambil review di atas dari banyak kejadian yang perlu dipertimbangkan, sebuah daftar referensi ringkas dari informasi yang disaring tentang SJD akan diperlihatkan di bawah ini:
- SJD kepada/ untuk suatu objek
- Ber- SJD dipertentangkan dengan berpikir dirinya lebih besar
- penolakan ber-SJD mengakibatkan digolongkan sebagai orang-orang yang menyembunyikan/ mengingkari/ menolak atau tidak berterima kasih
- menjadi orang yang ber-SJD adalah dalam hubungan sebagai bawahan dengan sesuatu yang kepadanya/ baginya SJD dilakukan
- ber-SJD kepada/ bagi Allah matahari/ bulan/ bintang-bintang/ pegunungan/ pepohonan/ seluruh makhluk/ bayang-bayang dan orang-orang, secara sukarela atau terpaksa
- seseorang dapat ditemukan ber-SJD kepada/ untuk matahari
- melihat planet-planet, matahari, bulan ber-SJD kepada/ untukku
- orang yang SJD adalah bersikap rendah hati
- ketika bayang-bayang bergerak ke kanan dan kiri, ini semua adalah SJD
- SJD dapat disamakan dengan mengakui/ mengiyakan/ menyadari, yang dilakukan oleh mereka yang menerima/ mengungkapkan
- taat disamakan dengan ‘SJD dan datang mendekat’
- anda dapat melihat orang-orang yang ber-SJD
- keinginan/ pertimbangan/ tujuan/ perhatian seseorang dapat dilacak ke belakang kepada tindakan SJD, dan ini dapat membedakan diri seseorang
- seseorang dapat memasuki gerbang sambil ber-SJD
- memurnikan bayt/ rumah/ tempat tinggal Allah bagi mereka yang ber-SJD
- seseorang dapat menghabiskan malam ber-SJD
- seseorang dapat “dilemparkan/ dijatuhkan SJD”, yang mendorong kepada perubahan pola pikir
- dalam kehidupan sekarang dan berikutnya, orang dapat dipanggil kepada SJD
- “Jatuh pada dagu-dagu mereka SJD” adalah ungkapan/ kiasan yang menunjukkan SJD bukanlah tindakan tubuh secara fisik
- ketika AQ disampaikan/ dibacakan, orang harus SJD atau “jatuh SJD”
- menyelesaikan perintah dari Allah adalah sebuah SJD
- SJD bukanlah tindakan satu kali yang telah didefinisikan
- ber-SJD kepada/ bagi Allah matahari/ bulan/ bintang-bintang/ pegunungan/ pepohonan/ seluruh makhluk/ bayang-bayang dan orang-orang, secara sukarela atau terpaksa (bersujud 8, melakukan sikap pengakuan)
- melihat planet-planet, matahari, bulan ber-SJD kepada/ untukku (mengabdi, sujud 8, melakukan sikap pengakuan, membesarkan)
- ketika bayang-bayang bergerak ke kanan dan kiri, ini adalah SJD (bersikap rendah hati, bersikap sederhana, membesarkan)
- SJD dapat disamakan dengan mengakui/ mengiyakan/ menyadari, yang dilakukan oleh mereka yang menerima/ mengungkapkan (bersikap rendah hati, bersikap sederhana, membesarkan)
- seseorang dapat memasuki gerbang ber-SJD (bersujud 8)
- dalam kehidupan sekarang dan berikutnya, orang dapat dipanggil kepada SJD (bersikap rendah hati, bersikap sederhana)
- ‘Jatuh pada dagu-dagu mereka SJD’ adalah ungkapan/ kiasan yang menunjukkan SJD bukanlah tindakan tubuh secara fisik (menghamba, bersujud 8, melakukan sikap pengakuan)
- ketika AQ disampaikan/ dibacakan, orang harus SJD atau jatuh SJD (menghamba, bersujud 8, melakukan sikap pengakuan)
- menyelesaikan perintah dari Allah adalah sebuah SJD (bersikap rendah hati, bersikap sederhana, menghamba, bersujud 8, melakukan sikap pengakuan)
- SJD bukanlah tindakan satu kali yang telah ditetapkan (bersujud 8, melakukan sikap pengakuan)
Dengan demikian, makna yang paling tepat adalah: mematuhi, menghormati, menghargai.
Jika kita mempertimbangkan apa yang kata-kata ini miliki bersama dengan semua makna lain dalam KAK, maka kita dapat melihat makna yang melekat pada semua, yaitu: memberikan penghargaan/ pengakuan (dengan cara tunduk/ patuh). Makna inti ini dapat dimasukkan ke dalam setiap kejadian dan itu masuk akal. Jika seseorang menyelesaikan suatu perintah, ini dengan mudah dapat dianggap sebagai sebuah penghargaan/ pengakuan. Dengan pemahaman ini di dalam pikiran, kita harus membaca kembali semua kejadian SJD yang sedang kita tinjau ulang maknanya.
Harus jelas bagi semuanya bahwa SJD = sujud 8 adalah pilihan yang sangat tidak mungkin secara keseluruhan, dan dalam banyak ayat malah tidak mungkin bermakna sujud 8. Bahkan, tidak ada satu kejadian pun di keseluruhann ayat AQ yang benar-benar bermakna “sujud 8″.
Menjadi tunduk dan patuh/ menghormati/ menghargai bisa dikatakan sebagai konsep yang lebih universal dan memberitahu kita sesuatu tentang pola pikir seseorang, sedangkan melakukan “sujud 8″ mungkinkan atau tidak, karena ini merupakan suatu tindakan tubuh secara fisik yang bermakna dangkal. Jadi kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah yang paling utama yang Allah pedulikan: apakah pola pikir seseorang atau tindakan fisik tertentu? Tentu saja, Allah paling utama peduli dengan konsep yang mendalam dan universal dan bukan “sujud 8 yang dangkal”. Kita dalam dunia nyata dapat mem-verifikasi hal ini pada diri kita sendiri dengan mengamati fakta bahwa banyak orang yang rajin melakukan “sujud 8″ namun tidak ta’at kepada Allah. Jadi, apakah mereka benar-benar telah melakukan “SuJuD” yang dibahas dalam AQ?
Membuat tampilan fisik dangkal bukanlah apa AQ bicarakan, dan ini jelas dapat dilihat pada ayat 2:264, 4:38, 8:47, 107:6 dan ayat-ayat lainnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam Islam hadits bahwa niat seseorang adalah yang paling penting, dan ini menunjukkan bahwa sikap batin lebih bernilai dari pada tampilan luar, internal lebih penting dari pada eksternal. Tampilan luar/ eksternal adalah sekunder, bukan primer.
Adalah mungkin untuk melakukan sujud 8, berlutut, membungkuk dll sebagai salah satu cara yang umum untuk menunjukkan sikap tunduk patuh/ menghormati/ memuja/ menghargai, melakukan sikap penghormatan dll pada suatu saat, namun yang jelas adalah pasti bukan satu-satunya cara dan bahkan bukan sesuatu yang disorot di AQ.
Latar belakang/ cerita yang umum diberikan adalah bahwa Qureysh keberatan dengan bersujud 8 kepada Allah, dibanding kepada berhala/ dewa dll milik mereka sendiri, namun ketika kami berpikir bahwa Muslim ahlul hadits/ fiqh bersujud 8 kepada sesuatu yang berbentuk kubus yang disebut Kakbah di Mekkah, seseorang harus bertanya apakah ada bedanya mengingat Qureysh juga nampak menghormati benda berbentuk kubus ini? Mengapa terjadi keberatan yang kuat? Bisa diberikan argumen bahwa mereka tidak setuju dengan konsep SJD kepada Allah, meskipun untuk semua niat dan tujuan itu akan tetap menghadap kepada struktur berbentuk kubus yang mereka hormati, yaitu sama persis dalam prakteknya, sehingga penjelasan ini agak tidak memuaskan dalam pandangan saya.
Adalah hal yang mungkin dan barangkali makna sujud yang bersifat fisik ini diambil dari sumber-sumber Yahudi, misalnya lihat di sini (http://binacf.org/history.php): “Dalam Amharic, Sigd berarti “membungkuk ke bawah” dan akar katanya sama dengan kata kuil (mesgid).”
Sebagai catatan tambahan, ada akar kata Arab lain yang memiliki makna sujud fisik, misalnya Kaf-Ba-Ba, Ta-Lam-Lam, Kaf-Ba-Ta, Jiim-Tha-Miim, Saad-Ra-Ayn, Siin-Tay-Ra, dan beberapa dari kata-kata ini digunakan dengan makna ini di berbagai terjemahan.
Harap dicatat, bahwa bukan berarti tindakan tubuh-fisik tidak diperbolehkan. Seorang manusia terdiri dari pikiran, tubuh dan jiwa dan seringkali tindakan tubuh-fisik dapat berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat, menganggap diri hina dan kerendahan hati, menggunakan sebagai ucapan, atau memfokuskan pikiran kita dll seperti praktek meditasi, tai chi, yoga atau berlutut ketika berdo’a kepada Allah dll. Ini hanya berarti bahwa tidak ada argumen yang kredibel bahwa SJD = sujud 8 dan karenanya sujud 8 selama menegakkan/ mendirikan sholat dapat dilakukan menggunakan Quran.
Bagian ke dua artikel ini adalah sebuah analisis tentang “masjid”.
Alat-alat/ Sumber referensi/ Buku-buku yang digunakan:
www.StudyQuran.org
Project Root List – Quran concordance, grammar and dictionary
Quranic Arabic Corpus
‘Verbal Idioms of the Quran‘ by Mustansir Mir
‘Dictionary of The Holy Quran‘ by Abdul Mannan Omar
Study Method
Pekerjaan ini tidak akan mungkin terjadi tanpa banyak orang yang telah memberikan kontribusi terhadap topik ini, dan tanpa sumber daya yang sekarang tersedia bagi siapa saja yang ingin belajar Quran secara rinci. Sebagai batu loncatan, saya benar-benar berhutang budi dan bersyukur.
PERNYATAAN PENTING:
Karya ini mencerminkan pemahaman pribadi saya, sejak tanggal 7 November 2010. Mencari pengetahuan merupakan proses yang berkelanjutan dan saya akan mencoba untuk meningkatkan pemahaman saya terhadap ayat-ayat dalam ‘bacaan’ (al quran) dan keluar dengan itu, kecuali Allah menghendaki sebaliknya. Semua informasi adalah benar bagi pengetahuan saya yang terbaik saja dan dengan demikian tidak harus diambil sebagai fakta. Seseorang harus selalu mencari pengetahuan dan memverifikasi sendiri bila memungkinkan: 17:36, 20:114, QS. 35:28, 49:6, 58:11.
Dan jangan mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua ini, akan ditanyai. [17:36]
Sumber: http://mypercept.co.uk/articles/meaning-of-SuJuD-from-Quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar