Penganalisaan ayat

Kata “junubun” di dalam Al Quran terulang sebanyak empat kali. Yaitu:

_________
1. [4:36]:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh (al ja-ril junubi), dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”
2. [28:11]:
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia” Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh (‘an junubin), sedang mereka tidak mengetahuinya, “
3. [4:43]:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub (wa la- junuban), terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.
4. [5:6]:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub (wa in kuntum junuban) maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Dalam Kamus Bahasa Arab Al Munawwir, lafazh “junubun” memiliki empat makna:
[1] Yang jauh.
[2] Orang asing.
[3] Yang tidak patuh.
[4] Yang keluar maninya.
Dalam ayat pertama yang disebutkan, terdapat lafazh “al ja-ri l junubi”. Lafazh ini diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Departemen Agama (disingkat menjadi TPDA) dengan “tetangga yang jauh” (menggunakan makna pertama). Penggunaan makna ini jelas sangat sesuai dengan konteks ayat di mana sebelum lafazh “al ja-ri l junubi” disebutkan lafazh “al ja-ri dzi l qurba-” (tetangga yang dekat). Sifat “yang dekat” tentu diperbandingkan dengan sifat “yang jauh”.
Sedang pada ayat kedua, terdapat lafazh “‘an junubin” yang oleh TPDA diterjemahkan dengan “dari jauh”. Sebenarnya, kata “junubin” merupakan kata sifat. Sehingga lafazh “‘an junubin” pada asalnya adalah “‘an maka-nin junubin” (dari tempat yang jauh). Penggunaan makna pertama ini juga sesuai dengan konteks ayat di mana pada bagian terakhirnya disebutkan “sedang mereka tidak mengetahuinya”.
Adapun dalam ayat ketiga, terdapat lafazh “junuban” yang oleh TPDA diterjemahkan dengan “dalam keadaan junub”. Kata “junub” yang digunakan TPDA ini membuktikan bahwa kata tersebut sudah menjadi kosa kata Bahasa Indonesia yang rujukan maknanya dapat dilihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam penggunaan sehari-hari, makna kata junub tidak lain adalah keadaan orang setelah berejakulasi sampai ia melakukan mandi besar.
Karena lafazh “junuban” itu manshub (yang tandanya adalah dua fathah atau berbunyiakhir “an”) sebagai keterangan mengenai keadaan sesuatu, maka lafazh tersebut kemudian diterjemahkan oleh TPDA dengan “dalam keadaan” => “junub”. Jadi keterangan “dalam keadaan” itu diketahui dari fungsi nashob lafazh “junub” itu sendiri yang menerangkan keadaan sesuatu. Di sini, penggunaan makna keempat didasari oleh alasan-alasan berikut:
Pertama, pengecualian “terkecuali sekedar berlalu saja” menerangkan bahwa maksud larangan yang ditujukan kepada “orang yang junub” tersebut adalah larangan memasuki masjid untuk menetap di dalamnya. Orang yang masuk ke masjid itu ada yang hendak menetap di dalamnya, dan ada yang hanya sekedar lewat/berlalu saja. Orang yang dibolehkan untuk menetap di dalam masjid, tentu lebih dibolehkan untuk sekedar lewat di masjid. Tapi orang yang hanya dibolehkan untuk lewat di masjid, berarti ia tidak dibolehkan untuk menetap di dalamnya. Kalau “orang yang jauh” atau “orang asing” atau “orang yang tidak patuh” diketahui tidak terlarang (dibolehkan) untuk menetap di suatu masjid, maka pengecualian dalam ayat ini menjadi tak bermakna. Sebab untuk menetap di masjid saja mereka dibolehkan, apalagi hanya sekedar lewat melalui masjid. Jelas pengecualian “terkecuali sekedar berlalu saja” tidak relevan dengan penggunaan makna pertama, kedua atau ketiga.
Kedua, telah diketahui bahwa perbuatan mandi yang ditunjuk dalam potongan “hingga kamu mandi”, hukumnya adalah wajib. Bukan mandi yang mubah atau mustahab. Sedangkan yang dikenakan mandi wajib adalah orang yang dalam keadaan “junub”, bukan semata orang yang jauh, orang asing atau orang yang tidak patuh. Kalau ditanya: bagaimana diketahui bahwa mandi yang dimaksud adalah mandi wajib? Dijawab: karena ia menjadi syarat atas sesuatu yang wajib, yaitu sholat. Sesuatu yang menjadi syarat dilakukannya sesuatu yang wajib, ia pun menjadi wajib.
Terakhir, pada ayat keempat juga terdapat lafazh “junuban” yang diterjemahkan juga dengan kata “junub”. Makna keempat yang digunakan TPDA itu sangat sesuai dengan kelanjutan “faththohharu-” yang diterjemahkan dengan “maka mandilah”. Sebenarnya, terjemahan awal kata “faththohharu-” adalah “maka bersucilah”. Pengertian “maka mandilah” diambil -salahsatunya- dari keterangan dalam ayat ketiga yang menyatakan bahwa larangan menetap di masjid bagi orang yang junub itu berlaku sampai orang yang junub itu mandi. Ini berarti bersucinya orang yang junub adalah dengan mandi. Sebab keadaan junub merupakan hadas besar yang tidak cukup disucikan hanya dengan wudhu (pada saat ada air).
Kalau kemudian kata “junuban” diartikan dengan “orang yang jauh” atau “orang asing” atau “orang yang tidak patuh”, maka tidak ada korelasi antara makna-makna ini dengan perintah bersuci. Ketiga keadaan tersebut tidak menafikan keadaan suci seseorang dari hadas, bahkan hadas kecil sekalipun. Perintah bersuci itulah yang mengantar pemahaman siapapun pada penggunaan makna keempat.
Kutipan Dan Bantahan
Kutip:
“Kata junubun bukanlah berarti keadaan kotor sesudah bercampur suami istri (bersetubuh) karena al-Qur’an sudah mempergunakan istilah la-mastumu n nisa-` (bersentuhan).”
Bantah:
Zahir ucapan di atas menerangkan bahwa alasan tidak digunakannya makna “keadaan kotor sesudah bercampur suami istri (bersetubuh)” untuk kata “junubun” adalah sudah digunakannya istilah “la-mastumu n nisa-`” (bersentuhan) dalam ayat yang sama. Kalau maksud alasan tersebut adalah ketidakmungkinan terjadinya pengulangan makna dalam satu ayat karena pengulangan makna tersebut -boleh jadi- dipandang sebagai suatu yang sia-sia (dan Al Quran suci dari hal sedemikian), maka sesungguhnya pengulangan makna dalam satu ayat itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin (bahkan pengulangan makna ini terjadi di dalam Al Quran) karena tidak semua pengulangan makna itu bersifat sia-sia.

Namun sebelum membahas hal ini lebih lanjut, ucapan di atas perlu diberikan catatan sebagai berikut: makna lafazh “junubun” dan “aw la-mastumu n nisa-`” itu tidak sama. Oleh karena itu, alasan pengulangan makna yang sama tadi menjadi tak berarti. Keadaan junub (berejakulasi) adalah akibat. Sedangkan bercampur dengan istri (maksud dari “aw la-mastumu n nisa-`) adalah sebab. Keadaan junub tidak hanya disebabkan percampuran dengan istri. Ia bisa juga disebabkan oleh mimpi. Dan percampuran dengan istri (atau lebih tepatnya: pertemuan dua kemaluan) juga tidak mesti disertai dengan ejakulasi (keadaan pertemuan dua kemaluan yang tidak disertai ejakulasi ini tetap dikenakan kewajiban mandi besar). Dengan demikian, nampak jelas bahwa kedua lafazh tersebut memiliki makna yang berbeda. Meskipun begitu, alasan ketidakmungkinan terjadinya pengulangan makna yang sama dalam satu ayat perlu disinggung lebih lanjut.
Kaidah tafsir yang perlu dipahami terlebih dahulu dalam masalah ini adalah:
Setiap ada kemungkinan untuk meniadakan sinonim dalam lafazh-lafazh Al Quran, maka peniadaan itulah yang ideal.
Sebagian Ulama berpandangan bahwa sinonimi mustahil ada dalam Bahasa. Dan sebagian yang lain berpandangan bahwa sinonimi ada dalam Bahasa, namun mustahil ada dalam Al Quran. Pandangan yang lebih kuat adalah bahwa sinonimi terdapat dalam Bahasa dan juga dalam Al Quran. Sinonimi yang dimaksud di sini adalah sinonimi dalam makna asal. Adapun dalam makna tambahan, maka setiap kata memiliki makna tambahan yang membedakannya dari kata-kata yang lain. Contoh: Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” [22:60]. Sifat ‘afuwwun (Maha Pemaaf) memiliki makna yang berbeda dari sifat ghofu-run (Maha Pengampun). Sebagian Ulama menerangkan bahwa sifat ‘afuwwun itu diperuntukkan atas perbuatan manusia meninggalkan perintah yang Allah berikan. Sedang sifat ghofu-run itu diperuntukkan atas perbuatan manusia mengerjakan larangan yang Allah berikan. Sebagian yang lain menerangkan bahwa sifat ‘afuwwun itu berarti menutupi dosa manusia dengan tidak menyegerakan hukuman (masih mungkin untuk memberikan hukuman). Sedang sifat ghofu-run itu berarti membebaskan hukuman.
Kemudian kaidah selanjutnya yang perlu dipahami adalah:
Penggunaan dua lafazh berbeda untuk menunjuk makna yang sama berfungsi sebagai penegas ditambah dengan fungsi yang lain.
Contoh: Allah berfirman:
“Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)” [9:76].
Lafazh tawallaw (mereka berpaling) dalam ayat ini ditegaskan lagi dengan lafazh wa hum mu’ridhu-n (mereka adalah orang-orang yang membelakangi). Penegasan ini nampak jelas dalam terjemah TPDA “memanglah”. Di samping penegasan tersebut ada fungsi lain yaitu penjelasan bahwa perbuatan berpaling yang diungkapkan dengan fi’il (kata kerja) tawallaw itu dilakukan oleh orang-orang pembelakang yang diungkapkan dengan isim (kata benda) mu’ridhu-n. Orang yang berpaling sekali atau dua kali tentu tak dapat dipandang sebagai pembelakang (orang yang selalu berpaling). Nah, orang-orang yang diterangkan berpaling dalam ayat ini ternyata adalah orang-orang yang selalu berpaling. Jadi fungsi penjelas (bukan penegas) dalam hal ini dapat dilihat dalam kata “selalu” di terjemahan TPDA itu.
Kutip:
“Sembahlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan apapun, dan berbuat baiklah pada ibu bapak serta kerabat dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan TEMAN SEPERJALANAN (JUNUB) dan teman sendiri dan para pejuang …” – Qs. 4/36.
Bantah:
Terjemah ayat [4:36] di atas tidak menyebutkan “tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh”. Setelah anak yatim dan orang miskin, langsung disebutkan “teman seperjalanan”. Kemudian, terjemah “teman seperjalanan” itu mestinya diperuntukkan atas lafazh “wa sh sho-hibi bi l janbi”. Namun keterangan dalam kurung (JUNUB) menunjukkan tidak demikian. Di sini nampak adanya ketidaktelitian dalam membedakan antara lafazh “junubun” dan “janbun”. Dalam Kamus Bahasa Arab Al Munawwir, lafazh “ash sho-hibi bi l janbi” itu diartikan “teman seperjalanan”. TPDA menerjemahkannya dengan “teman sejawat”. Sebenarnya, kata “janbun” (bukan “junubun”) itu sendiri berarti “samping, sisi , fihak”. Sehingga secara harfiyah, “ash sho-hibi bi l janbi” berarti “teman seseorang yang berada di sisi/sampingnya”. 
Dengan demikian lafazh “janbun” itu tidak memiliki kaitan khusus dengan makna “perjalanan”. “Ash sho-hibi bi l janbi” itu teman di sisi seseorang baik dalam perjalanan ataupun tidak. Mengkhususkan maknanya hanya sebagai teman dalam perjalanan tidaklah sesuai dengan makna umum “samping atau sisi” yang dikandung lafazh “janbun”. Di sini ada point yang kiranya penting untuk diperhatikan. Lafazh “junubun” dan “janbun” itu memiliki akar kata yang sama, yaitu “ji-m, nu-n, ba-`”. 
Namun makna keduanya dalam ayat di atas amat jauh berbeda dilihat dari sisi bahwa keduanya mengacu pada jarak. “Junubun” menunjukkan jarak yang jauh. Sedang “janbun” atau “bi l janbi” mendeskripsikan jarak yang dekat. Terjemah di atas juga perlu diberi catatan lain, yaitu: lafazh “ibnu s sabi-l” dan “ma- malakat ayma-nukum”, diterjemahkan secara berurutan dengan “teman sendiri” dan “para pejuang”. Terjemah ini keliru, namun akan ditelaah pada kesempatan lain insya Allah.
Kutip:
Istilah Junub digunakan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan Perjalanan, sebab konteks ayat ini bercerita tentang pesan Ibu Nabi Musa yang meminta kepada saudaranya untuk Berjalan mengikuti keranjang berisi bayi (yaitu Musa kecil) dari kejauhan.
Bantah:
Perbuatan saudara perempuan Nabi Musa mengikuti adiknya yang mengapung di sungai itu memang menunjukkan adanya perjalanan. Namun kata “junubun” yang berarti “jauh” tidaklah digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan keadaan yang menunjukkan perjalanan. Contoh sederhana: “rumah Ali sangat jauh dari sini”. Sifat jauh di sini tidaklah mendeskripsikan rumah Ali sebagai “dalam keadaan yang menunjukkan perjalanan”. Melainkan menerangkan jarak. Jauh atau dekat itu mengacu pada dimensi jarak. Bukan menerangkan aktivitas berjalan atau tidak berjalan. Sebab kalau jauh menunjukkan perjalanan, maka dekat tidak menunjukkan perjalanan. Padahal, baik sesuatu yang jauh atau dekat itu bisa dalam keadaan berjalan dan bisa juga dalam keadaan diam.
Kutip:
Kata JUNUB pada surah 4/43 dan 5/6 pun harus diartikan yang sama, yaitu orang yang melakukan perjalanan atau musafir.
Bantah:
Dalam ucapan di atas nampak adanya penjelasan tentang suatu keharusan. Keharusan mengartikan lafazh “junubun” dalam ayat [4:43] dan [5:6] dengan makna “orang yang melakukan perjalanan atau musafir”. Setelah dijelaskan kekeliruan pengartian tersebut dalam bantahan-bantahan yang lalu, maka sekarang diumpamakan saja bahwa pemaknaan tersebut benar. Kemudian, kedua ayat itu dianalisa dengan pemaknaan tadi.
Dalam ayat [4:43], Allah menjelaskan bahwa hilangnya sifat “suka-ro-” (mabuk) adalah ketika orang yang mabuk itu sudah mengetahui atau menyadari apa yang ia katakan. Redaksinya adalah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Potongan yang digarismiring adalah keterangan tentang batas berlakunya sifat mabuk pada seseorang. Kalau seseorang mengerti apa yang dia ucapkan, berarti dia dalam keadaan tidak mabuk. Cara menyimpulkan batasan antara keadaan mabuk dan tidak mabuk dari keterangan ayat ini diberlakukan pada potongan ayat selanjutnya: “(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. Potongan yang digarismiring tidak lain adalah keterangan tentang batas berlakunya sifat junub pada seseorang. Kalau orang sudah mandi, maka dia tidak lagi dalam keadaan junub. Sekarang kita ganti kata junub ini dengan “orang yang melakukan perjalanan/musafir”. Maka muncullah kalimat:
“Kalau orang sudah mandi, maka dia tidak lagi melakukan perjalanan”.
Atau:
“Kalau orang sudah mandi, maka dia tidak lagi dalam keadaan musafir”.
Kalau kata junub itu harus diartikan dengan “orang yang melakukan perjalanan” atau “musafir”, maka kesimpulan yang diambil dari keterangan ayat [4:46] itu adalah dua kalimat di atas.
Dan keduanya adalah batil. Sebab seseorang yang melakukan perjalanan, hanya akan dikatakan tidak lagi melakukan perjalanan setelah ia sampai di tujuan, atau setelah ia kembali ke tempat asal. Bukan setelah ia mandi. Kebatilan seperti ini tidak mungkin diajarkan di dalam Al Quran. Kalau demikian, maka kebatilan tersebut tentu berasal dari kebatilan pemaknaan kata junub dengan “orang yang melakukan perjalanan” atau “musafir”.
Kemudian dalam ayat [5:6], keterangan “dan jika kamu junub maka mandilah” akan dipahami dengan makna “jika kamu dalam perjalanan maka mandilah”. Nampak betapa sulitnya ajaran yang diberikan Allah dalam kitab suci-Nya. Setiap muslim yang berada dalam keadaan safar, diharuskan untuk mandi sebelum melakukan sholat. Perintah “mandilah!” dalam ayat ini tentu harus dipahami sebagai perintah wajib, kecuali kalau ada pengalih yang menganulir sifat wajib itu menjadi sunnah.
Makna “musafir” untuk lafazh “junubun” itu tidak terdapat di dalam kamus-kamus Bahasa Arab. Sehingga mengartikan “junubun” dengan makna “musafir” sungguh merupakan perbuatan yang sangat lancang terhadap firman-firman Allah. Bagaimana lagi dengan sikap mengharuskan pemaknaan tersebut seperti yang tertera dalam kutipan di atas.
Walla-hul muwaffiq.