Informasi

Dr. Muhaimin, M.A.

Resume Buku
ARAH BARU PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
WAWASAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pola Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Kajian Historis)
Masalah perkembangan aktivitas kependidikan Islam di Indonesia pada dasarnya sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang dan hingga yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya program dan praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan di nusantara. Buchori (1989) memetakan struktur internal pendidikan Islam Indonesia, jika ditilik dari aspek program dan praktik pendidikannya kedalam 4 (empat) jenis, yaitu: (1) pendidikan pondok pesantren (2) pendidikan Madrasah (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam dan (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Penulis menambahkan dengan (5) pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim dan institusi-institusi lainnya yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat. Jenis kelima tersebut biasa disebut dengan pendidikan Islam luar sekolah (pendidikan Islam nonformal).Kelima jenis pendidikan tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang utuh, bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan atas dasar hasrat, motifasi, niat (rencana yang sungguh-sungguh) dan semangat untuk memanifestasikan dan mengejawantahkan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam visi, misi, tujuan maupun program pendidikan dan pelaksanaannya sebagaimana tercakup dalam lima program dan praktik pendidikan Islam tersebut diatas.
Menurut asumsi penulis, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945) agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode-periode tersebut diduga muncul berbagai problem dan isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama dikalangan para pemikir, pengembang dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia.

1. Format Pengembangan Pendidikan Sebelum Indonesia Merdeka
Pada awal abad 20M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu: (1) pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama, dan (2) pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Atau menurut istilah Wirjosukarto (1985) pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat di pondok pesantren dan corak baru dari perguruan (sekolah-sekolah) yang didirkan oleh pemerintah Belanda.
Ciri-ciri dari corak lama adalah (1) menyiapkan calon kiai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata; (2) kurang diberikannya pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan; (3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap nonkooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau Barat dan aliran kebangunan Islam tidak leluasa untuk bisa masuk karena dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda. Sedangkan ciri-ciri corak baru adalah: (1) hanya menonjolkan intelek dan sekaligus hendak melahirkan golongan intelek; (2) pada umumnya bersifat negatif tehadap agama Islam; (3) alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang berbeda itu, tentunya tidak akan menguntungkan perkembangan masyarakat Indonesia yang akan datang, bahkan akan merugikan masyarakat muslim sendiri. Karena itu, perbedaan tersebut perlu dihilangkan atau setidak-tidaknya dikurangi supaya tidak tajam dengan jalan: (1) mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum diajarkan bersama-sama; (2) memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler.
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa di samping kedua corak tersebut, juga terdapat corak pendidikan ketiga yang merupakan sintesa dari corak lama dan corak baru. Ia berusaha memasukkan pendidikan umum pada sekolah agama dan memasukkan pendidikan agama pada sekolah umum, yang secara embrional merupakan upaya dari penyiapan calon-calon ulama-intelek dan/atau intelek-ulama.

2. Model-Model Pengembangan Pendidikan Islam
Hasil kajian Wirjosukarto menunjukkan bahwa tujuan umum pendidikan pondok pesantren adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya hanya menguasai masalah agama semata. Rencana Pelajaran (kurikulum) ditetapkan oleh kiai dengan menunjuk kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Penggunaan kitab dimulai dari kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas ditandai dengan bergantinya kitab yang ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya.
Pandangan-pandangan tersebut dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusisa adalah sebagai ‘abd Allah yang senantiasa mengadakan hubungan vertikal dengan Allah guna mencapai kesalehan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Untuk merealisasikan hubungan tersebut diperlukan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Dari berbagai uraian diatas dapat ditegaskan bahwa pada periode sebelum Indonesia merdeka terdapat berbagai pola pengembangan pendidikan Islam, yaitu:

a. Isolatif-tradisional, dalam arti tidak mau menerima apa saja yang berbau Barat (kolonial) dan terhambatnya pengaruh pemikiran-pemikiran modern dalam Islam untuk masuk ke dalamnya, sebagaimana tampak jelas pada pendidikan pondok pesantren tradisional yang hanya menonjolkan pada ilmu-ilmu agama Islam dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan. Hakikat pendidikan Islam adalah sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan khazanah pemikiran ulama terdahulu sebagaiman tertuang dalam kitab-kitab mereka. Tujuan utama pendidikannya adalah menyiapakan calon-calon kiai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata.

b. Sintesis, yakni mempertemukan corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat) yang berwujud sekolah atau madrasah. Dalam realitasnya, corak pemikiran sintesisi ini mengandung beberapa variasi pola pengembangan pendidikan Islam, yaitu: (1) pola pengembangan pendidikan Madrasah mengikuti format pendidikan Barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam. Sebagaimana dikembangkan pada Madrasah Sumatera Thawalib dan Madrasah Tebu Ireng pimpinan KH Hasyim Asy’ari; (2) pola pengembangan pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran agama, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas juga diberikan, seperti yang dikembangkan oleh Madrasah Diniyah Zainuddin Lebay el-Yunusiy dan Madrasah Salafiyah Tebu Ireng pimpinan KH. Ilyas; (3) pola pengembangan pendidikan madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan nonkeagamaan, seperti yang dikembangkan oleh Pondok Muhammadiyah; dan (4) pola pengembangan pendidikan sekolah yang mengikuti pola gubernemen dengan dtitambah beberapa mata pelajaran agama, sebagaimana dikembangkan oleh Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) dan Sekolah Muhammadiyah.

c. Berbagai model dan pola pengembangan pendidikan Islam tersebut pada dasarnya bermaksud untuk mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja mereka memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam memahami dan menjabarkan hakikat pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Hal ini berimplikasi pula terhadap rumusan-rumusan tujuan pendidikan, isi/materi pendidikan Islam maupun aspek metodologinya.

B. Perbincangan Pendidikan Islam di Indonesia

Dalam realitas sejarahnya, sejak awal kemerdekaannya bangsa Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan yang relatif tinggi terhadap sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini di samping merupakan prestasi tersendiri yang telah diraih umat Islam, juga sekaligus merupakan tantangan yang memerlukan respon positif dari para pemikir dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis (sistem pendidikan Islam dan kolonial), ternyata tidak memberika prioritas kepada salah satunya, tetapi berusaha mengintegrasikan keduanya menjadi “satu sistem pendidikan nasional”. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional mendapat dasar hukumnya yang mantap, baik dari aspek kelembagaan maupun dari isi kurikulumnya, di mana setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan agama (Islam).

Diskursus pengembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian dari para pengembang dan pemikirnya, baik yang menyangkut dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunculkan isu Islamisasi ilmu pengetahuan, masalah kualitas pendidikan agama Islam di sekolah atau perguruan tinggi umum, upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu, dan upaya penggalian konsep filosofis pendidikan Islam dan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam sejak periode klasik hingga periode modern, baik dari dalam maupun dari luar negeri, agaknya semakin memperkaya khasanah pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, dan sekaligus akan lebih mendukung dan semakin mempertajam serta memperkokoh eksistensi bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

C. Arah Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah Ikhtisar)

Hasil kajian menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam yang berkembang pada dasarnya mengarah pada lima tipologi, yaitu perenial-esensialis salafi, perenial-esensialis mazhabi, modernis, perenial-esensialis kontekstual falsifikatif dan rekonstruksi sosial.

Perenial-esensialis salafi bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai era salaf, serta berwawasan kependidikan Islam yang berorientasi pada masa silam (era salafi). Perenial-esensialis mazhabi bersikap regresif dan konservatif dalam mempertahankan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya, mengikuti aliran, pemahaman, dan pemikiran terdahulu yang dianggap mapan, serta berwawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berorientasi masa silam. Tipologi modernis menekankan perlunya berfikir bebas dan terbuka dengan tetap terikat oleh nilai-nilai kebenaran universal sebagaimana terkandung dalam wahyu Ilahi; progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon kebutuhan lingkungan atau zaman; serta berwawasan kependidikan Islam kontemporer.

Perenial-esensialis kontekstual falsifikatif menekankan perlunya sikap regresif dan konservatif terutama dalam konteks pendidikan agama yang menghormati dan menerima konsep pendidikan tradisional yang sudah mengakar dalam kehidupan umat Islam dengan melakukan kontekstualisasi dan falsifikasi serta berwawasan kependidikan Islam yang concern terhadap kesinambungan pemikiran pendidikan Islam dalam merespon terutama dalam perkembangan iptek dan perubahan sosial yang ada. Rekonstruksi sosial, di samping menekankan perlunya sikap progresif dan dinamis, juga sikap proaktif dan antisipatif dalam menghadapi perkembangan iptek, tuntutan perubahan, dan berorientasi ke masa depan.




BAB II

PEMBERDAYAAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM



A. Pengembangan Pendidikan Agama dalam Konteks Pluralisme

1. Keanekaragaman Pemahaman Teks Agama dan Implikasinya

Keragaman pemahaman dan penafsiran memunculkan pola-pola artikulasi keberagaman menurut Azra (1999) dikelompokkan ke dalam 3 tipologi, yaitu: (1) Substansialisme yang lebih mementingkan substansi /isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit; (2) Formalisme/Legalisme yang cenderung sangat literal, dan/ketaatan formal dan hukum agama diekspresikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan; dan (3) Spiritualisme yang lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah melalui keikutsertaan dalam kelompok spiritual-mistik, tasawuf atau tarekat, bahkan kelompok kultus (cult).

2. Perlunya Kesadaran Pluralisme

Klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbollik yang cukup menarik bagi setiap pengikutnya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran agamanya, memiliki semangat dededikasi dan bahkan berjuang serta berkorban untuk agamanya.

Akan tetapi, jika klaim kebenaran dipahami secara mentah-mentah dan emosional, maka akan menimbulkan banyak masalah, karena walaupun agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia akan pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil, tetapi kehidupan manusia itu sendiri penuh diwarnai dengan perubahan-perubahan, ketidakstabilan dan ketidak menentuan. Sejarah menunjukkan bahwa adanya perselisihan, pertikaian, konflik dan peperangan antar komunitas agama baik di kawasan Asia, Afrika, Eropa maupun Amerika antara lain merupakan akibat dari klaim kebenaran yang melebar memasuki wilayah sosial politik yang bersifat prraktis empiris.

3. Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Masa Depan

Pengembangan Pendidikan agama di sekolah, madrasah, pesantren ataupun di masyarakat berpotensi untuk mengarah pada sikap toleran atau intoleran, berpotensi untuk mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) dan disintegrasi (perpecahan) dalam kehidupan masyarakat. Fenomena ini banyak ditentukan setidak-tidaknya oleh: (1) pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut; (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya; (4) peranan dan pengaruh pemuka agama, termasuk guru agama, dalam mengarahkan pengikutnya.

B. Performa Pendidik Agama Islam Jenjang Pendidikan Dasar

Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah/madrasah pada dasarnya merupakan pewaris para Nabi, serta pewaris dan pelanjut dari usaha-usaha para pendahulunya untuk mempertahankan dan mengembangkannya dalam pendidikan formal di Sekolah /Madrasah, sehingga masyarakat religius (yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa), yang menjadi cita-cita pembangunan bangsa dan negara Indonesia, tetap eksis dan bahkan berkembang meluas kedalam berbagai sektor kehidupan.

Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru dituntut untuk menjadi guru profesional yang melakukannya secara efektif. Adapun ciri-ciri guru yang efektif adalah: (1) memiliki pengetahuan yang terkait dengan iklim di kelas; (2) kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran; (3) memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan; (4) memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri.




C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Melalui Pendekatan Teknologik dan Non-Teknologik

Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan teknologik, bila mana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan dan menilainya. Disamping itu, pendekatan teknologik ingin mengejar kemanfaatan tertentu dan menuntut peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu, sehingga proses dan hasilnya diprogram sedemikian rupa., agar pencapaian hasil pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan terkontrol. Dari rancangan proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien dan memiliki daya tarik.

Pendidikan teknologik ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun produknya. Karena adanya keterbatasan tersebut, maka dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak selamanya dapat menggunakan pendekatan teknologik

D. Pemberdayaan sarana pembelajaran pendidikan Agama Islam

Pemanfaatan media belajar juga perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) tujuan pembelajaran (aims, goals, objective) pendidikan agama; (2) tahap perkembangan jiwa pebelajar agama; (3) kondisi sosio-psiko-antropo-kultural peserta didik dan wali murid sebagai warga masyarakat setempat; (4) faktor-faktor orientasi di balik benda yang menjadi media pembelajaran: (5) ciri karakteristik dan sifat bahan pendidikan agama, merupakan acuan penting dalam pembelajaran pendidikan agama

Landasan yuridis pemberdayaan sarana Pendidikan Agama Islam:

1. Undang-Undang Nomor 20 /2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar

3. Undang-Undang Nomor 22/1999 Tentang Pemerintah Daerah

4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan Kewenangan Popinsi sebagai Daerah Otonom



Adapun tujuan pemberdayaan sarana pembelajaran pendidikan agama Islam adalah untuk:

1. Dapat memperjelas, mempermudah, meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam secara utuh dan optimal

2. Dapat meningkatkan kemampuan belajar dan motivasi belajar peserta didik

3. Dapat menumbuhkan kesempatan belajar yang lebih banyak dan lebih baru

4. Dapat mengurangi ketergantungan kepada guru pendidikan agama Islam

5. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam beragama di era globalisasi dan mengkokohkan pengalaman dan pengamalan beragama dalam kehidupan sehari-hari



Pemberdayaan sarana pembelajaran Pendidikan Agama Islam memerlukan keterlibatan semnua pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah ataupun madrasah guna mendukung tercapainya pembelajaran PAI. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah:

1. Pemerintah Daerah

Dalam rangka pemberdayaan sarana pembelajaran PAI di sekolah umum atau madrasah, maka Pemerintah Daerah perlu melakukan hal-hal berikut:

a. Merencanakan dan menyediakan bantuan pengadaan sarana pembelajaran pendidikan agama (PAI) di sekolah umum dan madrasah, baik yang berupa hardware dan software.

b. Merencanakan dan mengadakan kegiatan pelatihan pemanfaatan sarana pembelajaran PAI di sekolah umum dan madrasah.

2. Kepala Sekolah / Madrasah

Kepala Sekolah atau Madrasah perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Merencanakan, mengadakan, mengelola atau merawat dan mengembangkan sarana Pendidikan Agama Islam sesuai kebutuhan dan perkembangan iptek.

b. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru Pendidikan Agama Islam dalam menggunakan dan mengembangkan sarana pembelajaran pendidikan agama.

c. Mengembangkan partisipasi orang tua atau masyarakat dalam pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama.

d. Mengadakan evaluasi efisien dan efektivitas pemanfaatan dan pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama.

3. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI)

Guru PAI perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Merencanakan, membuat, dan mengembangkan bahan, media dan alat pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran pendidikan agama di sekolah atau madrasah dan masyarakat.

b. Memanfaatkan dan mengelola penggunaan sarana pembelajaran pendidikan agama secara efektif dan efisien.

c. Meningkatakan kemampuan dan keterampilan dalam mengembangkan dan menggunakan sarana pembelajaran pendidikan agama.

d. Mengembangkan partisipasi siswa, orang tua dan masyarakat dalam pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama.

e. Mengembangkan visi dan wawasan kependidikan serta menerapkannya melalui kegiatan belajar-mengajar pendidikan agama.

4. Orang Tua/Masyarakat Setempat/Pengusaha atau Stake-Holders

Orang tua, warga masyarakat dan/atau para pengusaha perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Mendukung pengadaan dan pengembangan sarana pembelajaran pendidikan agama di sekolah/ madrasah.

b. Melakukan quality control terhadap pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah/ madrasah.






BAB III

WAWASAN PENGEMBANGAN

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Life Skill

1. Karakteristik Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Di dalam teori kurikulum, terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum:

a. Pendekatan subyek akademik

b. Pendekatan humanistik

c. Pendekatan teknologik

d. Pendekatan rekonstruksi sosial

Untuk mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

a. Perlu upaya mengidentifikasi kompetensi dengan menetapkan dan mendeskripsikan ciri-ciri jenis dan mutu kompetensi yang harus dimiliki.

b. Perlu merumuskan tujuan pendidikan dengan memperlakukan kompetensi yang telah diidentifikasi sebagai tujuan institusional.

c. Perlu menetapkan topik dan sub topik yaitu mengidentifikasi pokok bahasaan (materi pembelajaran) dan sub pokok bahasan (uraian materi pembelajaran).

d. Perlunya menyusun pengalaman belajar untuk mewujudkan dan mencapai kemampuan dasar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

e. Perlunya menyusun dan menetapkan evaluasi pembelajaran yang berupa bukti-bukti hasil belajar dengan indikator-indikator yang jelas.

f. Perlunya menetapkan waktu yang diperlukan untuk mencapai kompetensi dan kemampuan dasar tersebut, mulai dari topik, sub topik, dengan berbagai pengalaman belajarnya sampai pada evaluasi.

g. Menetapkan bahan-bahan referensi yang relefan dan signifikan sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan dapat berupa buku-buku teks, buku-buku pelajaran (sesuai dengan kurikulum), jurnal, majalah, hasil penelitian dan sebagainya.

2. Antara Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Life Skill

Program pendidikan selayaknya tidak hanya dikembangkan dengan berbasis kompetensi, tetapi juga perlu dikembangkan dengan berbasis life skill, Kurikulum berbasis nkompetensi dikembangkan bertolak dari analisis kebutuhan pekerjaan atau kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Sedangkan kurikulum berbasis life skill dikembangkan bertolak dari kebutuhan, kemampuan, minat dan bakat dari peserta didik itu sendiri.

Kemampuan menjalankan tugas atau pekerjaan tertentu, sebagimana ide dasar kurikulum berbasis kompetensi, merupakan bagian dari life skill, bukan satu-satunya. Melalui pengembangan kurikulum berbasis life skill ini diharapkan para peserta didik atau para lulusan (out put) memiliki dan mampu mengembangkan kecakapan-kecakapan untuk mau hidup dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.

3. Model Pengembangan Kurikulum Berbasis Life Skill

Kecakapan-kecakapan hidup meliputi:

a. Kecakapan belajar sepanjang hayat

b. Kecakapan berfikir kompleks

c. Kecakapan berkomunikasi yang efektif

d. Kecakapan kolaborasi

e. Kecakapan warga negara yang bertanggung jawab

f. Kecakapan dapat dipekerjakan




B. Nilai-Nilai Life Skill dalam Pelaksanaan Ajaran Islam

Nilai-nilai life skill dalam pelaksanaan ajaran Islam dapat ditanamkan dalam berbagai perbuatan, seperti:

1. Ibadah puasa

Ibadah puasa dapat melatih kesadaran diri (self conciousness or self awareness) dan mempertajam kepekaan ruhaniah manusia akan kehadiran Tuhan pada dirinya. Puasa juga sebagai sarana pelatihan untuk memperbaiki kualitas diri manusia. Ketika seseorang tidak atau belum terlatih untuk mengendalikan diri dari nafsu perut dan nafsu seksual, maka hidupnya akan dikuasai atau diarahkan oleh kepentingan-kepentingan jasmaniah yang bersifat material, sementara dan kekinian. Orang yang demikian biasanya tak pernah merasa puas bahkan tamak (rakus), yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pada sikap mentalnya (perasaan, pikiran dan kemauannya).

2. Melatih kecakapan menghadirkan Tuhan melalui puasa

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka segala dosa yang lalu akan diampuni (oleh Allah).”

Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

a. Ibadah puasa harus dilakukan dengan iman, atau dengan percaya dan mempercayakan diri kepada Allah SWT sebagai Pembuat syariah.

b. Orang yang melakukan puasa perlu ihtisab, introspeksi diri atau koreksi diri.

c. Dengan kedua proses diatas, maka akan terwujud “ ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi”, yakni orang berpuasa di bulan Ramadhan yang benar-benar beriman dan berhasil melakukan kritik dan koreksi diri, maka segala dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah.

3. Membaca sebagai basic skill

Dapat dibuktikan bahwa ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah berupa perintah untuk membaca sebagaimana yang terkandung dalam QS al-Alaq ayat 1-5. Perintah ini merupakan perintah berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia, karena ia adalah jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna.

4. Melatih kecakapan sosial melalui zakat, infaq dan shadaqah

Salah satu kecakapan hidup yang perlu dikembangkan oleh seseorang adalah social skill, yakni pengembangan rasa persaudaraan, kebersamaan dan hubungan kekeluargaan antar sesama, serta menghargai terhadap yang lain. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial. Menurut pandangan Islam, manusia memiliki fitrah sosial yang antara lain diaktualisasikan dalam bentuk kewajiban membayar zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan. Bahkan bayi yang baru lahir pada detik terakhir dalam bulan Ramadhan dan menikmati beberapa detik malam lebaran, juga dianjurkan menunaikan zakat fitrah. Hal ini merupakan lambang kesediaan setiap muslim untuk memberi hidup dan kehidupan kepada yang lain.

5. Melatih kecakapan mengenal diri melalui mudik lebaran

Dalam konteks Teologis, hidup manusia akan kembali kepada asal, yaitu asal mula manusia diciptakan dan kembali kepada sang Penciptanya. Karena itu, mudik pasti akan terjadi kepada setiap orang kapanpun dan dimanapun, dikehendaki atau tidak. Manusia diciptakan oleh Allah terdiri atas jasad dan ruh. Jasad manusia berasal dari materi atau tanah (zat-zat makanan dan minuman yang berasal dari tanah), sehingga ia selalu terdorong untuk memenuhi kebutuhan jasmani, yaitu makan, minum, hubungan seksual dan sebagainya. Jasad yang berasal dari materi itu akan kembali ke alam materi/tanah (kuburan).

C. Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Kompetensi di Madrasah

Adapun pesan-pesan besar Pendidikan Agama Islam yang ingin dikembangkan dalam kurikulum adalah:

1. Berusaha menjadikan PAI sebagai mata pelajaran yang dapat menjaga dan memperkokoh akidah siswa.

2. Menjadikan PAI sebagai mata pelajaran yang mengajarkan agama dengan baik, dalam pengertian bahwa dalam konteks bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika, pengembangan pendidikan agama diharapkan agar tidak sampai:

a. menumbuhkan semangat fanatisme buta

b. menumbuhkan sikap intoleran di kalangan peserta didik dan kalangan masyarakat Indonesia

c. memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional.

3. Menjadikan PAI sebagai mata pelajaran yang dapat memacu siswa untuk menjadi rajin dan pintar, serta kreatif, kritis dan inovatif.

4. Menjadikan PAI sebagai mata pelajaran yang bisa membina etika sosial siswa, yakni ada keterpaduan antara personal religiousity dengan social religiousity, keterpaduan antar sikap keberagaman di masjid/rumah ibadah dengan tingkah laku.

5. Menjadikan PAI sebagai mata pelajaran yang bisa mencetak siswa yang bertanggung jawab dalam hidup dan kehidupannya.

Dalam konteks pengembangan kurikulum PAI (Al-Qur’an, Hadits, Akidah/Akhlaq, Fiqih, Sejarah dan Kebudayaan Islam, serta Bahasa Arab) berbasis kompetensi, maka Guru Pendidikan Agama Islam di Madrasah memiliki tugas dan tanggung jawab tertentu, yaitu:

1. Mempelajari dan memahami kurikulum PAI di Madrasah.

2. Menyusun silabus PAI yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi Madrasah.

3. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar PAI sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.

4. Mengumpulkan berbagai gagasan dengan sesama guru mengenai perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar PAI.

5. Menghadiri pertemuan-pertemuan ditingkat madrasah, KKG/MGMP PAI tingkat kecamatan, kabupaten atau kota dan provinsi

6. Menyelesaikan tugas-tugas administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar PAI, termasuk di dalamnya melakukan penilaian hasil belajar siswa.



D. Kesiapan Madrasah dalam Menghadapi Peradaban Global

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada periode H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI), ia menawarkan konsep alternatif pengembangan Madrasah melalui kebijakan SKB 3 Menteri, yang berusaha mensejajarkan kualitas madrasah dengan non madrasah, dengan porsi kurikulum 70% umum dan 30% agama. Pada periode Menteri Agama Munawir Sadzali menawarkan konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Dan pada periode Menteri Agama RI H. Tarmizi Taher menawarkan konsep Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, yang sedang berjalan hingga sekarang.

Pendidikan di Madrasah sebenarnya hendak memenuhi tiga kepentingan utama sekaligus, yaitu:

1. Sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman.

2. Memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah.

3. Berusaha merespon tuntutan masa depan.

Di samping itu, kurikulum Madrasah perlu dikembangkan secara terpadu, dengan menjadikan ajaran dan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan mata pelajaran-mata pelajaran umum, yang operasionalnya dapat dikembangkan dengan cara memasukkan sebagian topik atau pokok-pokok bahasan mata pelajaran al-Qur’an dan al-Hadits, Aqidah-Akhlaq, dan sub mata pelajaran Pendidikan Agama Islam lainnya ke dalam IPS, IPA dan sebagainya, sehingga kesan dikotomis tidak terjadi. Model pembelajarannya dilakukan melalui team teaching, yakni guru IPS, IPA atau lainnya bekerjasama dengan Guru Pendidikan Agama Islam untuk menyusun desain pembelajaran secara konkrit dan detail, untuk diimplementasikan ke dalam pembelajaran.


E. Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)

Pengembangan kurikulum PTAI menekankan pada:

1. Upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang dilandasi oleh keilmuan yang kokoh.

2. Upaya pemberian basic competencies ilmu-ilmu keislaman sebagai ciri khas dari perguruan tinggi Islam, sekaligus sebagai landasan dan dasar bagi pengembangan bidang-bidang studi yang dikembangkan pada jurusan/program-program studi yang ada.

3. Upaya penyaluran bakat, minat dan kemampuan dalam pengembangan bidang-bidang atau konsentrasi studi yang bermanfaat bagi pembangunan masyarakat.

4. Upaya pencegahan timbulnya pengaruh negatif dari perkembangan iptek dan seni serta pengaruh negatif dari globalisasi baik dibidang budaya, etika maupun moral.

5. Upaya pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya bangsa yang memiliki kemampuan dan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global.

6. Upaya mewujudkan pendidikamn sepanjang hayat




BAB IV

PENGEMBANGAN

PERGURUAN TINGGI ISLAM



A. Penyiapan Ulul Albab Alternatif Pendidikan Tinggi Islam Masa Depan

Ulul albab adalah sosok manusia yang diharapkan mampu berkiprah diseluruh kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dalam arti, agar lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam mampu berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas, meliputi penyiapan calon-calon Ulul Albab dalam bidang teknologi, psikologi, budaya atau sastera, ekonomi, sosiologi, sains dan lain-lainnya. Dengan demikian, mereka tidak hanya bisa mengucapkan masya Allah ketika terkagum dengan temuan iptek, atau mengucapkan astaghfirullah ketika temuan iptek membuat malapetaka.

Kehadiran ulul albab juga diharapkan mampu menjadi pelopor dalam penciptaan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yang memiliki kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan pribadi mengandung makna seseorang muslim yang baik, yang memiliki komitmen untuk memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya sekaligus meningkatakan kualitas keimanan dan ketakwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan kesalehan sosial mengandung makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosialnya dan sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi oleh tingginya kualitas iman dan takwa terhadap Allah SWT.

B. Arah Pengembangan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas/ Jurusan Tarbiyah

Aspirasi umat Islam dalam pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan:

1. Untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggisecara lebih sistematis dan terarah.

2. Untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam

3. Untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan dan sebagainya.



C. Paradigma Pengembangan Program Studi Manajemen Pendidikan Islam

Manajemen pendidikan Islam dalam praktiknya dapat berwujudmanajemen yang diterapkan dalam pengembangan:

1. Pendidikan Pondok Pesantren.

2. Pendidikan Madrasah (Negeri/Swasta), UIN, IAIN, STAIN, atau PTAIS.

3. Sekolah atau Perguruan Tinggi Umum yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah yayasan atau organisasi Islam.

4. Pelajaran agama Islam atau Pendidikan Agama Islam sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah dan/atau program studi.

5. Pendidikan di dalam keluarga, di tempat-tempat ibadah, forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim atau pada institusi-institusi lainnya yang sekarang sedang digalakkan masyarakat seperti di Rumah Sakit, Lembaga Pemasyarakatan, Perusahaan dan sebagainya.

Nilai-nilai Islam yang terkait dengan pengembangan manajemen pendidikan Islam, antara lain:

1. Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya adalah bahwa hamba mendekati dan memperoleh ridla Allah melalui kerja atau amal saleh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepada-Nya.

2. Adanya nilai-nilai esensial yang perlu ditegakkan atau dijadikan watak, sikap dan kebiasaan seseorang atau kelompok dalam bekerja (termasuk dalam manajemen pendidikan Islam), yaitu: “ bekerja (memanej pendidikan Islam) adalah sebagai ibadah yang harus dibarengi dengan niat yang ikhlas karena mencari ridla Allah”.




Skema Paradigma Pengembangan Keilmuan Manajemen Pendidikan Islam












Dengan berkembangnya era globalisasi tidak bisa dipungkiri akan menculnya berbagai Multi-National Enterprise (MNE), yang pada gilirannya akan merambah pada Multi National Higher Education Enterprise (MNHEE). Bertolak dari pemikiran tersebut, maka pengembangan lembaga pendidikan Islam, termasuk Perguruan Tingginya perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlunya internasionalisasi pendidikan Islam.

2. Perlunya manajemen pendidikan Islam yang berdasarkan kebutuhan pasar kerja.

3. Perlunya manajemen pendidikan Islam secara terpadu antara pendidikan formal dan non formal, keterpaduan antara riset, pengajaran dan pelayanan.

4. Perlunya mengembangkan keterampilan terjual, dalam arti mampu menciptakan dan menawarkan jenis pelatihan dan konsultasi yang sangat diperlukan oleh institusi-institusi terkait, users (para pengguna lulusan) atau stake holders pada umumnya.

5. Perlunya komersialisasi riset dalam arti untuk menghimpun sumber daya yang ada guna kepentingan masyarakat.

6. Agar lembaga pendidikan Islam mampu memacu dan memasuki abad persaingan yang semakin ketat, maka perlu mengembangkan program khusus/spesifik sesuai dengan potensi yang dimilikinya.




BAB V

REDEFINISI ISLAMISASI PENGETAHUAN

IMPLIKASINYA TERHADAP

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM



A. Gagasan Awal Islamisasi Pengetahuan

Gagasan ”Islamisasi Pengetahuan” kalau tidak salah muncul pada saat diselenggarakan sebuah Konperensi Dunia yang pertama tentang pendidikan Muslim di Mekkah pada tahun 1977. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut rekomendasi Islamisasi Pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi.

Al-Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat. Dan menurut Al-Faruqi bahwa sistem Pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia di pandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat.

Jika difahami dari gagasan awalnya, paradigma Islamisasi Pengetahuan rupanya lebih melihat pemikiran dan pandangan non muslim, terutama pandangan ilmuwan Barat, sebagai ancaman yang sangat dominan dan orang-orang Islam harus berlindung menyelamatkan identitas dan otentitas ajaran agamanya.

Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan pengkudusan/penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.




B. Islamisasi Pengetahuan: Upaya Pencarian Definisi

Dalam realitas sejarahnya, Nabi Muhammad pertama kali mendakwahkan ajaran keimanan (tauhid) dan memperbaiki moralitas (akhlaq) umat manusia, untuk memberantas segala mitos dan keyakinan hidup yang tidak mempunyai dasar yang kokoh, serta membangun sikap mental mereka agar tidak terbelenggu dan terpenjara oleh segala sesuatu yang selain Allah. Beliau juga mengajarkan kepada umatnya agar berani menyatakan kebenaran secara obyektif sekalipun pahit akibatnya ( Qul al-haq walau kana murran - H.R. Ibnu Hibban).

Islam tidak pernah membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan)dan tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian dalam realitas sejarahnya justeru supremasi lebih diberikan kepada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan.

Islamisasi Pengetahuan dapat dipahami sebagai upaya untuk membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannnya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis, yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.



C. Redefinisi Islamisasi Pengetahuan dan Model-Model Pengembangannya

Anshari (1986) mengemukakan bahwa sikap yang proporsional terhadap kebudayaan adalah sebagai berikut:

1. Memelihara unsur nilai dan norma kebudayaan yang sudah ada, yang bersifat positif.

2. Menghilangkan unsur nilai dan norma kebudayaan yang walaupun sudah ada namun nilainya negatif.

3. Menumbuhkan unsur nilai dan norma kebudayaan yang belum ada yang bersifat positif.

4. Bersikap receptive (menerima), selective, digestive (mencernakan), asimilative (menggabungkan dalam suatu sistem), dan transmissive, terhadap kebudayaan pada umumnya.

5. Menyelenggarakan pengkudusan/penyucian atas kebudayaan, agar ia sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma Islam.



Uraian tersebut di atas menggaris bawahi adanya berbagai model Islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globalisasi, yaitu antara lain: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernis.

Ajaran model perifikasi mengandung makna bahwa setiap ilmuan muslim dituntut untuk menjadi actor beragama yang loyal, concern dan comitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.

Makna Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan oleh model modernisasi Islam adalah membangun semangat umat Islam untuk selalu modern, progressif, terus menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya agar terhindar dari keterbelakangan dan ketertinggalan dibidang iptek.

Islamisasi dalam arti neo-modernis, bertolak dari landasan metodologis sebagai berikut:

1. Persoalan-persoalan kontemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah.

2. Bila dalam tradisi tidak ditemukan jawabannya yang sesuai dengan tuntutan masyarakat kontemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historik dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut.

3. Melalui telaah historis ajan terungkap pesan moral al-Qur’an yang sebenarnya, yang merupakan etika sosial al-Quran.

Islamisasi pengetahuan berarti mengandung makna mengkaji dan mengkritisi ulang terhadap produk ijtihad dari para ulama dan juga produk ilmuwan non muslim terdahulu dibidang ilmu pengetahuan, dengan cara melakukan verifikasi atau falsifikasi agar ditemukan relevan atau tidaknya pandangan, temuan, teori dan sebagainya dengan konteks ruang dan zamannya, serta berusaha menggali dan mencari alternatif yang baru terhadap produk kajian sebelumnya yang dipandang tidak relevan lagi dalam konteks sekarang.

D. Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam

Dari ketiga model pengembangan pendidikan Islam ( Model Purifikasi. Model Modernisasi Islam dan Model Neo-Modernis ) merupakan upaya pencarian atau penggalian ilmu pendidikan dalam perspektif Islam, atau upaya Islamisasi Ilmu Pendidikan itu sendiri yang diharapkan mampu memberikan kontribusi dan corak atau warna sistem pendidikan yang berkembang selama ini.

Dalam konteks pengembangan pendidikan Islam misalnya, dapat dikembangkan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Pragmatis, yakni mengembangkan pemikiran rasional dan pengalaman empirik kependidikan untuk selanjutnya pada titik tertentu berusaha menjadikan nash-nash sebagai alat justifikasi konsep pemikiran dan pengalaman empirik tersebut.

2. Vertikal-lateral independent, yakni konsep pemikiran dan/atau pendapat ahli kependidikan (muslim atau noon muslim) didudukkan dalam posisinya tersendiri tanpa adanya sharing ideas di antara mereka dalam menjawab persoalan pendidikan Islam, sedangkan nash berfungsi sebagai alat justifikasi

3. Vertikal-horisontal lateral, yakni menjadikan pemikiran dan/atau pendapat para ulama atau ahli kependidikan (muslim) sebagai produk pemahaman nash yang didudukkan dalam posisi yang sederajat, dan terjadi sharing ideas atau tidak di antara mereka dalam menjawab persoalan-persoalan pendidikan Islam.

4. Vertikal-horisontal trans-lateral, yakni menjadiakn pemikiran para ulama (muslim) sebagai produk pemahaman nash, dan mendudukannya dalam posisi sederajat serta mempertimbangkan pemikiran dari para ahli pendidikan non-muslim, yang terjadi sharing ideas atau tidak di antara mereka dalam menjawab persoalan-persoalan pendidikan Islam.

5. Vertikal-linier, yakni menjadikan pemikiran para ulama (muslim)dan ahli non muslim dalam posisi yang sederajat dan terjadsi sharing ideas di antara mereka, untuk selanjutnya dikomunikasikan kepada nash/wahyu Ilahi (vertikal)sebagai hudan dalam menjawab persoalan-persoalan pendidikan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar