Sains dalam Samudera al-Fatihah: Studi Terhadap Tafsir Samudera al-Fatihah Karya Bey Arifin
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh
alam (universal). Di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk bagi umat
manusia, khususnya umat Islam. Namun, yang menjadi permasalahan tidak
semua petunjuk (ayat) dalam al-Qur’an dapat dipahami secara langsung
oleh manusia. Oleh karenanya, pada waktu itu Nabi selalu menjelaskan
ayat-ayat atau wahyu yang turun, apa sebenarnya makna dan maksud dari
ayat tersebut.
Akan
tetapi, sepeninggal Nabi Muhammad SAW, tidak ada lagi sosok yang dapat
menjelaskan kandungan dan maksud al-Qur’an seperti beliau. Sedangkan
kebutuhan akan hal tersebut semakin mendesak seiring dengan semakin
luasnya manusia yang memeluk agama Islam. Mereka membutuhkan jawaban
terhadap persoalan-persoalan yang ada yang belum sempat dijelaskan oleh
Nabi. Oleh karenanya kemudian timbullah kebutuhan akan praktek
penafsiran terhadap al-Qur’an, yang pada mulanya ditangani oleh golongan
sahabat dan tabi’in.
Sampai
saat ini, prakek penafsiran al-qur’an telah menempuh perjalanan waktu
yang sangat panjang. Dan hingga saat ini pula kebutuhan terhadap praktek
penafsiran masih ada. Hal ini dipengaruhi oleh faktor zaman (pasti
terjadi perbedaan antara masa yang satu dan yang lainnya, baik dari segi
keilmuan maupun tradisi) dan faktor geografis (pasti terjadi perbedaan
tradisi dan budaya antara tempat yang satu dan yang lain). Problem yang
dihadapi manusia antara masa atau tempat yang satu dan yang lain inilah
yang harus dijawab oleh al-Qur’an (karena prinsip-prinsip yang dikandung
al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan).1 Maka, praktek penafsiran tentunya tidak boleh berhenti.
Dan
dalam perjalanannya, penafsiran terhadap al-Qur’an telah mengalami
perkembangan-perkembangan yang dicapai, muali dari metode-metodenya
hingga corak penafsirannya. Terbukti dengan banyaknya produk-produk
tafsir dengan ragam metode dan ragam corak yang bermunculan sampai saat
ini. Sebut saja di antaranya al-Tafsir al-Wadhih (maudhu’i), Tafsir al-Jalalayn (ijmali), Ahkam al-Qur’an (corak fiqih), Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (ma’tsur), al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an (corak ilmiy), dan produk-produk tafsir lainnya. Nah, salah satu yang muncul dalam perkembangan penafsiran tersebut adalah corak tafsir ilmiy atau tafsir ilmu pengetahuan. Untuk selanjutnya tulisan ini akan lebih memfokuskan diri pada corak tafsir ilmiy tersebut.
Sekilas Tentang Corak Tafsir Ilmiy
Tafsir ilmiy
(corak ilmu pengetahuan) adalah tafsir yang menggunakan teori-teori
ilmu pengetahuan atau hasil temuan-temuan ilmiah sebagai pendekatan
dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam corak tafsir ilmiy ini seorang mufassir dalam melengkapi penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori sains.
Asumsi
mendasar yang mendorong munculnya tafsir corak ini adalah sesungguhnya
al-Qur’an memuat berbagai macam ilmu pengetahuan secara global (baik
yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan).2
Tidak hanya memuat tentang panduan atau ilmu-ilmu agama, di dalam
al-Qur’an juga terkandung ilmu-ilmu lainnya, termasuk sains. “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk.”3
Selain itu, upaya para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan ilmu pengetahuan didasarkan adanya perintah Allah untuk
menggali pengetahuan terkait dengan tanda-tanda (kekuasaan Allah) pada
alam semesta yang banyak dijumpai dalam al-Qur’an.4
Salah satu tokoh (mufassir) yang agaknya setuju dengan pendapat ini adalah al-Ghazali. Dalam kitabnya, Jawahir al-Qur’an,
al-Ghazali mengajarkan bahwa semua ilmu secara umum bersumber dari
al-Qur’an. Ia kemudian menegaskan bahwasanya al-Qur’an hanya akan
menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali
darinya (al-Qur’an).5 Terlihat ketika ia menjelaskan ayat “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” Lebih
lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwasnya untuk memahami ayat ini
dibutuhkan adanya ilmu bantu yakni ilmu kedokteran, yakni bagaimana
mekanisme suatu penyakit dan bagaimana cara penyembuhannya.6
Tokoh lain yang senada dengan al-Ghazali adalah Yahya Ahmad ad-Dardiri dengan karyanya Makanat al-Ilm fi al-Qur’an.
Dalam tafsirnya ad-Dadiri menyebutkan bahwa dari kisah al-qur’an
bagaimana adam mempelajari nama segala sesuatu dan nama bintang-bintang
(Q.S. al-Baqarah:28-31), ia menyimpulkan bahwa keterwakilan manusia atas
dunia ini hanya dijustifikasi oleh pengetahuannya. Ia menambahkan bahwa
manusia harus terus menerus berusaha memperluas pengetahuannya
mengenai alam dan bagaimana alam diciptakan oleh tuhan.7
Akan tetapi, tidak semua ulama atau mufassir setuju terhadap model tafsir ilmiy
ini. Beberapa ulama lain justru menolak terhadap penafsiran al-Qur’an
bercorak ilmu pengetahuan ini. Sebut saja salah satunya adalah Musa
al-Syatibi. Alasannya adalah bahwa terdapat banyak orang yang terlalu
berlebihan dan memaksakan diri untuk mengaitkan ayat al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan. Ia menegaskan bahwasanya dalam paya memahami al-Qur’an kita
hanya diperkenankan bertumpu pada pengetahuan apa saja yang terkait
dengan bangsa arab khususnya. Siapa saja yang mencarinya dengan alat
yang bukan sarananya ia akan mendapati dirinya dalam kesesatan dan
terjerembab dalam penyimpangan tafsir. Kita tidak diperkenankan
menambahkan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh al-Qur’an, dan
sebagaimana pula tidak dibenarkan menolak apa yang dikehendaki
al-Qur’an.8
Sebagai contoh corak tafsir ilmiy, yakni penafsiran terhadap Q.S. al-Mursalat: 30 oleh al-Marasi.
انْطَلِقُوا إِلَى ظِلٍّ ذِي ثَلَاثِ شُعَبٍ
“Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga cabang”
Menurut
al-Marasi, sesuai dengan hukum yang berlaku dalam geometri bahwa bentuk
segitiga tidak memiliki bayangan (karenanya tidak dapat dijadikan
tempat bernaung).9
Sekilas Tentang al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia
Indonesia
merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Setelah masuk melewati Serambi Mekah, sebagai gerbang masuknya Islam ke
Nusantara, kini agama Islam telah menyebar ke seluruh Nusantara, nari
ujung barat hingga ujung timur. Masih terjadi perbedaan pendapat memang
tentang kapan dan siapa yang membawa Islam ke nusantara. Tapi yang pasti
indonesia telah menjelma menjadi negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam bahkan negara yang pemeluk agama Islamnya paling banyak
di dunia. Begitu pula dengan al-Qur’an. Dengan masuknya Islam ke
Nusantara, masuk pula aturan-aturan, petunjuk, dan nilai moral al-Qur’an
yang harus dijalankan.
Dalam
penerapan pembelajaran al-Qur’an di Nusantara, analisis Mahmud Yunus
tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia memperlihatkan
bagaimana al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap muslim sejak
dini/sejak masih kecil melalui kegiatan “Pengajian al-Qur’an” di surau,
langgar, mupun masjid. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Karel A.
Steenbrink. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwasanya pengajaran al-Qur’an
ini merupakan pelajaran membaca terhadap al-Qur’an. Sebagai permulaan
biasanya pelajaran diawali dengan belajar membaca surah al-Fatihah dan
kemudian dilanjutkan dengan membaca suruat-surah pendek juz amma. Dan di sela-sela pengajia al-Qur’an ini biasnya juga diajari-tata cara sholat, bersuci, dan berdo’a.10
Namun,
ketika kita berbicara al-Qur’an pastinya kita tidak akan melewatkan
tema seputar wacana tafsir al-Qur’an di Indonesia. Tentunya, perjalanan
penafsiran al-Qur’an di Indonesia telah melewati perjalanan yang panjang
serta mengalami proses dan dinamika keilmuan. Betapa tidak, nusantara
yang terdiri dari bermacam suku, budaya, dan tradisi tentunya
memunculkan penafsiran yang beragam pula, sesuai dengan tardisi dan
keilmuan masing-masing daerah.
Di
jawa sendiri yang notabene penduduknya terdiri dari bermacam suku,
tradisi, watak dan budaya, juga akan memunculkan beragam corak tafsir
sesuai dengan kondisi wilayah dan tradisinya. Para wali (wali songo)
adalah salah satunya yang dapat mentransformasikan nilai-nilai al-Qur’an
kepada masyarakat jawa yang pada waktu itu masih memeluk agama lokal
(Hindu-Budha) dengan tanpa mencederai tradisi-tradisi lokal. Salah satu
bentuknya adalah syair molomo, syair tombo ati, wayang (semar, petruk,
gareng, bagong), syair lir-ilir dan gamelan. Dengan menggunakan budaya
tersebut, yakni sebagai jembatan untuk mentransformasikan nilai-nilai
Islam di Jawa, mereka (wali songo) berhasil “mengislamkan” tanah Jawa.
Seperti inila bentuk awal dari suatu penafsiran terhadap al-Qur’an di
nusantara, yakni penyampaian pesan-pesan al-Qur’an dalam bahasa setempat
namun belum menjadi suatu kajian tafsir secara mandiri.
Sains dalam Samudera al-Fatihah
Dalam
perjalanannya, tafsir sudah menjadi suatu kajian keilmuan mandiri.
Tercatat yakni pada abad ke 16 telah ada proses penulisan tafsir,
terbukti dengan adanya manuskrip Tafsir Surah al-Kahfi yang diduga dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), tafsir lengkap pertama yakni Tarjumanul Mustafid
karya Abdurrauf Assinkili (1615-1693 M) dan beberapa karya tafsir
lainnya. Tidak hanya sampai di situ, dalam perkembangannya tafsir-tafsir
tersebut dapat klasifikasikan dilihat dari metode dan kecenderungannya.
Semisal Tafsir al-Hijri dan Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya (yang bernuansa sosial), Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur’an (yang bernuansa teologis), dan Samudera al-Fatihah dan Memahami Surah Yasin (yang bercorak ilmiy). Namun, seperti yang sudah dikatakan di atas, tulisan ini akan memfokuskan diri pada corak tafsir ilmiy, tepatnya Samudera al-Fatihah karya Bey Arifin (1968). Tulisan ini selanjutnya akan memfokuskan untuk membahas tafsir yang disebut terakhir, yakni Samudera al-Fatihah karya Bey Arifin.
Bey
arifin dalam pengantarnya menjelaskan bahwasanya Allah telah menciptakan
alam semesta beserta isinya, dan salah satu makhluk ciptaannya adalah
manusia (makhluk yang dikaruniai akal dan pengetahuan oleh Allah).
Meskipun demikian akal fikiran manusia sangatlah terbatas. Pengetahuan
manusia hanya mampu menjangkau sedikit dari alam benda yang sangat luas.
Selain itu, dibalik alam benda masih ada lagi alam ghaib, alam akhirat,
maupun alam roh yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan
manusia. Hal ini dijelaskan allah dalam firmannya; Dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Isra’:85).
Oleh
karenanya, allah kemudian memberikan informasi tentang sesuatu yang
diketahui oleh manusia dengan jalan menurunkan wahyu atau kitab suci
lewat utusan atau rasulnya. Semisal kitab Zabur, Taurat, Injil (yang
diyakini telah hilang) dan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci
terakhir yang diturunkan oleh Allah melalui utusannya yang terakhir,
yakni Muhammad SAW, yang dikatakan sebagai kitab suci terakhir yang
masih terjaga keotentikannya. Di dalamnya termuat juga kitab-kitab Allah
sebelumnya (Zabur, Taurat dan Injil) yang diyakini sudah hilang. Jadi,
boleh dikata kitab suci al-Qur’an merupakan kesimpulan dasri semua kitab
suci yang pernah diturunkan Allah kepada utusan-utusannya sebelum
Muhammad SAW11
Selanjutnya,
ia meneruskan, al-Qur’an terdiri dari 114 surah yang kesemuanya terdiri
dari 6236. Keseluruhan ayat yang terdiri dari 6236 ayat tersebut
kemudian oleh Allah dalam satu surah pendek , yakni surah al-Fatihah.
Oleh sebab itu surah ini dinamai allah dengan ummul kitab.
Dalam
kesehariannya, seorang muslim pastinya tidak pernah lepas dan selalu
membaca surah al-fatihah sedikitnya 17 kali (sesuai dengan shalat 5
waktu yang keseluruhannya adalah 17 rakaat). Hal ini menunjukkan betapa
istimewanya kandungan yang terdapat dalam surah al-Fatihah. Namun, akan
sangat menyedihkan apabila surah al-Fatihah yang selalu dibaca tersebut
tidak dipahami isi dan kandungannya. Inilah yang melatar belakangi
ditulisnya kitab tafsir Samudera al-Fatihah. Dalam pengantar kitab tersebut bey arifin mengatakan kitab tafsir Samudera al-Fatihah
ini dikarang adalah untuk menyelami sedalam mungkin samudera al-Fatihah
yang maha luas kandungannya. Dan dengan memahami sedikit kandungan
al-Fatihah tersebut dapat menambah dan mempertebal iman kita.
Yang sangat unik dari tafsir Samudera al-Fatihah ini adalah model tafsirnya yang bercorak tafsir ilmiy atau
ilmu pengetahuan (terlepas dari kontroversi ulama dalam menerima corak
tafsir tersebut). Hal ini sangat berbeda sama sekali dengan kebanyakan
tafsir yang ada di Indonesia ketika menafsirkan al-Fatihah. Inilah yang
menyebabkan penulis memilih tafsir Samudera al-Fatihah karya Bey Arifin untuk dikaji.
Seperti yang telah dijelaskan di atas tafsir ilmiy
adalah tafsir yang menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan atau hasil
temuan-temuan ilmiah sebagai pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dalam corak tafsir ilmiy ini seorang mufassir dalam melengkapi
penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan teori-teori sains.
Usaha yang dilakukan untuk menjelaskan al-Qur’an ini rasanya bisa
dipahami mengingat di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak isyarat
ilmiah. Begitu juga dengan Samudera al-Fatiah, Bey Arifin
menggunakan temuan-temuan sains untuk menjelaskan salah satu ayat dalam
surah tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika ia menafsirkan ayat pertama
dari surah al-Fatihah, yakni:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Alam Semesta (al-‘alamin)
Dalam menjelaskan kata al-alamin
inilah Bey Arifin menggunakan temuan-temuan sains untuk melengkapi
penafsirannya. Ia menjelaskan, bagaimanapun hebatnya ilmu pengetahuan
yang telah dicapai manusia, tentunya masih sangat sedikit dibandingkan
dengan luasnya alam raya ini. Masih banyak sekali yang belum diketahui
manusia jika dibandingkan dengan apa yang sudah diketahui.
Bahkan
pengetahuan tentang manusia sendiri pun masih sangat sedikit, apalagi
tentang alam raya, tentang bumi, tentang planet-planet, bintang dan
ruang angkasa secara keseluruhan (walaupun ilmu pengetahuan manusia yang
sudah dicpai saat ini jauh melampaui dan lebih maju dari masa-masa
sebelumnya). Seperti yang terdapat dalam firmannya Q.S. al-isra’: 85
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”
Selanjutnya, untuk menjelaskan kata al-alamin,
Bey Arifin dalam tafsirnya membagi alam menjadi dua yakni alam nyata
dan alam ghaib, namun pembahasan ini lebih memfokuskan pada yang
pertama, yakni alam nyata. Alam nyata adalah semua alam yang dapat
ditangkap dengan panca indera manusia, yakni semua alam yang terdiri
dari benda, baik padat, cair, maupun gas.12 Alam nyata juga terbagi menjadi dua yakni alam kosmos (alam raya) dan alam mikros (alam halus). Dalam menafsirkan kata al-alamin inilah akan terlihat dengan jelas pendekatan ilmiy yang digunakan Bey Arifin untuk menafsirkan al-Fatihah.
Alam Kosmos
Seluruh
alam yang dapat kita tangkap dengan panca indera ini dinamai dengan
“kelompok matahari”, karena mataharilah yang menjadi induk, dari tata
surya galaksi bima sakti. Mataharilah yang memberi penerang bagi bumi
ini, bila matahari terbit bumi yang diselimuti gelap malam menjadi
terang benderang. Selain itu, matahari pulalah yang menjadi sumber
kehidupan seluruh makhluk hidup di bumi. Betapa tidak, jika tidak ada
matahari maka tidak ada kehidupan bagi tumbuhan (yang membutuhkan sinar
matahari untuk berfotosintesis). Begitu juga dengan kehidupan binatang
dan manusia, karena jika tidak ada sinar matahari pastinya kehidupan di
bumi akan mati terkubur oleh es.
Selain
itu, disekitar matahari masih terdapat 9 planet (yang di antaranya
adalah bumi) dan 22 satelit yang masing-masing berputar mengelilingi
matahari dengan jarak yang berbeda-beda.13
Kesemuanya itu berputar mengelilingi matahari dalam garis edarnya
masing-masing dengan sangat teratur mengikuti hukum yang telah
ditentukan Allah. Seperti dalam firman-Nya Q.S. Yasin: 38
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Terasalah
bagi kita bagaimana hebatnya ilmu dan hukum-hukum Allah yang berlaku
pada dunia ini khususnya planet-planet yang berputar di garis edarnya
dengan sangat teratur tanpa terjadinya tabrakan dengan planet lain.
Semuanya bergerak dan beredar dalam masa yang berabad-abad lamanya,
tetap tidak berubah dalam jarak tertentu.
Alam Mikros
Belum
habis ketakjuban kita melihat kuasa dan ilmu allah yang terhampar dalam
alam kosmos (alam raya), kita juga akan takjub ketika kita melihat ilmu
Allah yang ada pada alam mikros (alam halus). Salah satu penafsirannya
tentang alam mikros ini dijelaskan dengan proses penciptaan manusia
yakni proses percampuran antara sperma dan ovum.
Proses
percampuran antara sperma (cairan yang sedikit kental dan
keputih-putihan yang keluar dari alat kelamin laki-laki) dan ovum atau
sel telur terjadi saat persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Sperma masuk lewat alat kelamin wanita untuk kemudian bercampur dengan
sel telur atau ovum yang terdapat dalam rahim wanita.
Sperma
terdiri dari 100 sampai 500 miliar makhluk-makhluk halus yang dinamai
spermatozoa. Masing-masingnya adalah berupa makhluk-makhluk hidaup yang
panjangnya 0.05 mm, mempunyai leher, badan, kepala dan ekor yang
bergerak dengan kecepatan 2 sampai 3 mm permenit. Ia bergerak memasuki
sebuah saluran dalam vagina menuju peranakan (uterus) untuk bercampur
dengan ovum.14
Apabila
satu saja sel sperma sudah bercampur dengan ovum atau sel telur, maka
terjadilah yang namanya proses pembuahan atau kehamilan. Sperma dan ovum
yang sudah menjadi satu itu dari hari ke hari kemudian berkembang dan
berubah menjadi janin atau bakal manusia. Dan sesudah berjalan waktu
selama 9 bulan 9 hari (umumnya), maka lahirlah kemudian bayi manusia.
Seperti yang terdapat dalam firman-Nya Q.S. at-Thariq: 6-7
خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ . يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
“Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Dari tafsirannya terhadap kata al-alamin di atas, terlihat dengan jelas sekali pendekatan ilmiy (ilmu
pengetrahuan) yang digunakan Bey Arifin untuk menafsirkan al-Fatihah.
Ia menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan atau hasil temuan-temuan
ilmiah sebagai pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam tafsirnya
Bey Arifin melengkapi penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan
teori-teori sains.
Kesimpulan
Terlepas dari kontroversi ulama terhadap corak tafsir ilmiy, tidak dapat dipungkiri memang banyak bertebaran dalam al-Qur’an yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (ayat kauniyah).
Salah satunya seperti adalah tentang alam semesta, yakni perputaran
matahari, bumi, serta planet-planet lain dalam garis edarnya secara
teratur, dan ayat tentang proses penciptaan manusia, yakni percampuran
antara sperma dan ovum.
Begitu
pula dengan apa yang dilakukan oleh bey arifin untuk menafsirkan
al-Fatihah. Ia menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan atau hasil
temuan-temuan ilmiah sebagai pendekatan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dalam tafsirnya Bey Arifin melengkapi penafsirannya terhadap ayat-ayat
al-Qur’an dengan teori-teori sains. Dam seperti yang kita tahu,
al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan dengan temuan-temuan sains.
Seperti yang dikatakan oleh Quraish Shihab, “membahas hubungan antara
al-qur’an dan ilmu pengetahuan bukan melihat, misalnya, adakah teori
telativitas atau pembahasan tentang luar angkasa tercantum di dalam
al-Qur’an, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa atau
nilai-nilai al-Qur’an yang menghalang-halangi terhadap ilmu pengetahuan
atau sebaliknya.”
Penulis
sendiri lebih suka memposisikan diri pada wilayah yang cenderung
“netral” karena tidak dapat dipungkiri al-Qur’an tidak pernah
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Penulis sangat setuju dengan apa
yang seperti disampaikan Pak Quraish Shihab di atas. Selain itu,
terlepas dari kontroversi itu pula, dengan wajah tafsir ilmiy
ini kekayaan pengetahuan kita dalam memahami al-Qur’an akan lebih
beragam. Dan yang terpenting adalah dengan memahami ayat-ayat Allah yang
tersebar dalam ayat kauniyahnya semakin menambah dan mempertebal keimanan kita. Amiin.
________________________
Daftar Pustaka
Arifin, Bey. Samudera al-Fatihah. Surabaya: Bina Ilmu. 1987
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideolgi. Bandung: Teraju. 2003
J.J.G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. Yogyakarta: Tiara Wacana
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka. 2003
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008
Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metode Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika. 2002
1Al-Qur’an
adalah kitab suci (terakhir) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. (sebagai penutup para nabi), sehingga tidak akan turun lagi kitab samawi setelah al-Qur’an. Adalah sangat logis, jika prinsip-prinsip universal al-Qur’an akan shalih li kulli zaman wa makan. Lebih lanjut, lihat: Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag. Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008) hlm. 76
2Dr. Abdul Mustaqim, M.Ag., Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka. 2003) hlm. 86
3 Al-Qur’an dan Terjemahannya: Q.S. an-Nahl (16:89)
4 Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metode Tafsir. (Bandung: Pustaka Islamika. 2002) hlm. 314
5 J.J.G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. (Yogyakarta: Tiara Wacana) hlm. 61
6 Ibid.
7 Ibid. 67-68
8 Khoiron Nahdiyyin (terj.) Metode Tafsir Sasra (Yogyakarta: Adab Press. 2004) hlm. 38
9 Op. Cit. Supiana hlm. 316
10 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideolgi. (Bandung: Teraju. 2003) hlm. 42
11 Bey Arifin, Samudera al-Fatihah, (Surabaya: Bina Ilmu. 1987) hlm. 14
12 Bey Arifin, Samudera al-Fatihah, (Surabaya: Bina Ilmu. 1987) hlm. 111
13 Ibid. hlm. 112
14 Ibid. hlm. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar